Friday, December 29, 2017

Tri Hita Karana, Intro to International People's Project in Sidemen, Karangasem, Bali

Sebelum memulai salah satu program CISV yang saya ikutin tahun ini, International People's Project (IPP) di Bali, kami para staff mencari tema dan berembuk soal nama camp. Tujuannya tentu supaya bisa sejalan dengan kegiatan di lokasi Sidemen dan juga tema besar CISV.

Kilas balik bagaimana akhirnya ditemukan tema 'Tri Hita Karana' ada beberapa temuan menarik yang ingin saya bagi di sini. Ilmu baru soal perjalanan manusia, sifatnya spiritual tetapi masih terkait dengan duniawi.

Ada empat tahapan pencarian manusia yang saya coba pahami dan saya coba bahasakan ulang.


1. Mencari materi.
Mereka yang ada di tahap ini adalah para pencari pegangan secara finansial untuk keberlangsungan hidup. Akan ada di sini terus sampai kebutuhannya terpuaskan.

2. Mencari ilmu
Tahap ini mencari bentuk aksi yang tidak lagi dinilai dengan uang atau materi. Di sini manusia mencoba meraih ilmu atau yang sifatnya keahlian atau pengetahuan.

3. Mencari masyarakat
Setelah ilmu didapat tentu sebaikbaiknya ilmu adalah yang diamalkan, maka temukanlah mereka yang membutuhkan. Tujuannya supaya ada rotasi ilmu pengetahuan dan juga regenarasi perguruan.

4. Mencari nibanna/kedekatan pada Tuhan
Ketika tahapan duniawi telah dilewati tidak ada yang lebih penting lagi daripada hubungan dengan Pemilik Semesta dan ketenangan hakiki. Tahapan ini juga yang saya percaya tidak bisa ada campur tangan mahluk lainnya.

Berdasar empat tahap di atas, elemen-elemen manusia dengan semesta dan pencipta plus dengan diri sendiri jadi penting. Keseimbangan tersebut disimbolkan lewat tri hita karana.

Kisah lebih detail dan panjangnya, nanti di postingan terpisah ya :)



Lets Make Harmony and Empathy Great Again

Tahun 2017, terlalu banyak pematik yang membuat hubungan antar ras dan agama cukup mengalami gesekan. Lewat diskusi yang panas atau bahkan hujat menghujat di area publik. Beberapa dari mereka nampaknya resah dan mencoba menggali bagaimana kembali membangun harmoni bersisian antar agama. Salah satunya Wisata Rumah Ibadah yang diadakan oleh Komunitas Bhinneka bulan puasa lalu.

Jadi awalnya tahu acara ini pas kalo gak salah bulan April lalu diadakan di Bandung, pesertanya anak-anak usia SD. Penasaran, gak kebayang anak usia village itu ikut acara kaya gitu, gimana kontennya? Gimana fasilitasinya? Lebih utama lagi, gimana pemuka agama menjelaskannya?

Terus gak lama banyak bermunculan acara serupa dengan peserta orang dewasa, tapi udah kelewat jadwalnya. Awal puasa dapet info acara ini ada lagi dan pesertanya anak remaja. Ngirim email, intinya mau ikut acara kalo boleh jadi observer atau fasilitator (kalo ada posisinya.) Sempat dikira ortu yang mau mendampingi anak.,terus ditolak-tolakin, karena kapasitas penuh. Maksa sih gue, intinya gue mau bantu juga. Jelasin panjang lebar objektifnya dan organisasi yang gue ikuti seperti apa latar belakangnya.

Akhirnya diajak ikut techmeet hari itu juga. Ngepas-pasin jadwal biar tetep bisa nongolin muka. Alhasil, boleh ikut bantuin panitia karena mereka kurang voluntir juga.





Acara mulai jam 08.30an di Immanuel, lanjut ke Katedral dan Istiqlal sampai break makan siang. Alokasi waktu cukup molor karena di Istiqlal lama diskusi dan tanya jawab sm imam besar. Lanjut ke Kuil Houseji, kuil Buddha Nichiren yang super megah dan ditutup buka puasa di Pura Aditya Jaya. Secara keseluruhan acara ini memang soal mengenal agama lain, bukan mengajarkan agama lain. Tujuannya, respect dalam perbedaan.























ini sangat smooth, terlalu smooth malah. Peserta memang dari sekolah swasta (mostly Islam dan Kristen). Mereka sudah ada bekal tentang latar belakang agama2 ini dan terekspos dengan perbedaan. Menariknya, pertanyaan ke Islam sangat kontekstual sedangkan mostly yg ke Kristen Katolik Hindu berkisar historis atau ritual walaupun yang nanya dari agama itu sendiri. Hal yang bikin gue degdegan sebenernya gimana ketika ulama Istiqlal jelasin soal Islam dan pertanyaan-pertanyaan soal Kafir atau Jihad. Ternyata jawabannya adem banget!



Kalo dr obrolan insider, mereka pengen banget bisa ngelibatin rohis anak sekolah negeri karena tentu akan sangat berbeda. Trs juga masih degdegan pas denger abis kunjungan kuil ada anak yang bilang "Wah abis ini mau ikut REACH (camp retreat Buddhis) ah!". Gemes pas tau fasilitator ada yang cuek sama anak-anak padahal mereka udah seru dipancing diskusi. Plus bully dari orangtua/netizen yang mencerca acara ini dengan dalil ayat tertentu.

Fix mau ikutan lagi, pengen tau gimana kalo anak-anak usia lebih muda yang ikutan. Mereka tentu lebih kosong kanvasnya atau bisa jadi lebih kritis!

Pertanyaannya: Apakah kalian akan mengizinkan anak-anakmu ikutan acara semacam ini di luar agamamu?

The Most Terrifying Thing That Could Happen To Human Being, What's Yours?

Apa hal yang terburuk yang bisa terjadi pada manusia?

Kematian, mungkin salah satu jawabannya.

Sejak lima tahun lalu, persepsi kematian bagi saya berubah-ubah. Tepatnya saat Bapak meninggal.

Yang saya pikirkan karena sakit berkepanjangan atau kritis, tetapi tidak dengan Bapak saya. Meskipun beberapa kali dirawat sampai ICCU, Ia 'memilih' pergi di rumahnya sendiri. Menyusul ibunya setelah jeda 7 tahun.

Lalu dalam dua tiga tahun, bertubi-tubi orang terdekat saya pergi dengan cara yang hampir sama dengan Bapak. Ada juga yang memang sudah sakit.

Sampai kemarin, eyang kakung, ayahnya Bapak saya, menyusul istri dan anak ketiganya. Tidak dirawat rumah sakit, tetapi di rumah Yogyakarta. Setelah sore dan malamnya masih mengaji di mesjid dekat rumah dan makan di kamarnya sendiri.

Kaget tentu! Tetapi melihat umurnya yang sudah 83 tahun, ia sudah diberi cukup umur panjang sama Tuhan.

Dengan beberapa tahun membuat persepsi soal kematian, saya percaya kalau tugas di dunianya sudah (hampir) selesai maka Tuhan memanggilnya. Selanjutnya tugas yang hidup buat melanjutkan apapun perjuangan yang ditinggalkan.

Jelas, tidak mudah jadi orang yang ditinggalkan. Menata kembali hidup setelah sekian lama ada orang yang melakukan 'tugas' itu buat kita. Banyak PR. Tapi jadi banyak belajar. Apalagi dalam kasus saya adik semua masih sekolah dan selang beberapa bulan, Yangkung, bapaknya Ibu saya menyusul bapak saya. Dua tahun kemudian om saya, adik laki-laki Ibu satu-satunya juga dipanggil. Nggak kebayang rasanya Ibu kehilangan tiga laki-laki dalam hidupnya. PR makin menumpuk.

Kembali lagi, soal ketakutan tadi. Mungkin kalau ditelusuri lagi, ketakutan bukan soal mati-tidak bernyawa lagi. Tapi soal perpisahan dan keberlangsungan.

Bagaimana bisa berpisah dan melepaskan dengan ikhlas orang terdekat? Bagaimana cara bertahan dan yang hidup masih bisa melanjutkan perjalanannya sekaligus perjuangan pendahulunya?

PR bukan melulu soal beban tanggungan finansial atau moril saja tetapi bagi saya seperti meditasi. Berdiam sejenak, memindai keseluruhan badan dan pikiran, hubungan dengan yang ditinggalkan, apa yang bisa diperbaiki, apa yang memang harus dilepaskan. Tetap harus bernafas, membiarkan energi baik masuk dan melepas energi negatif. Pada akhirnya, ini soal acceptance (dan saya gak tau padanan kata paling pas untuk ini.

Foto dari pemakaman kemarin di Jogja. Saya tidak pernah tahu kalau Eyang Kakung ini masih veteran perang dulu. Yang saya tahu, almarhum memberi saya kenangan baik dan manis selama saya kecil di rumahnya dan menurunkan dalam hubungan dia ke Bapak dan tentunya saya ke Bapak.

Yang tenang di sana yang, salam buat Bapak, Eyang Uti, Yangkung, Momo dan Doni ya!

                               Foto terakhir bersama Eyang Kakung pas Lebaran 2017 di Jogja.
                                                                         ❤❤❤❤❤❤

PS: I try to move some of my writings (that scattered in another social media) to blog, just to keep it on track and archived.