Tuesday, June 23, 2015

Jakarta dan Hangatnya yang Alpa.

Hari ini di timeline Path saya mendadak ramai posting pakai pakaian Abang None, atau ondel-ondel. Baru ngeh, hari ini tanggal 22 Juni hari ulangtahun ibukota Jakarta. Sesaat saya sempat berhenti
sejenank dan berpikir,  apa yang bisa saya ucapkan untuk kota tempat saya tinggal 28 tahun terakhir ini? Tidak macet, tidak banjir, jadi tujuan turistik? Ah, rasanya i can live with that. Entah saya mati rasa atau berusaha legowo menerima kekurangan Jakarta ini.Saya jadi ingat, kira-kira obrolan dengan seorang teman yang menghabiskan masa kuliahnya di Jogja. Ia terkaget-kaget ketika tahu saya asli Jogja dan selalu ke Jogja tiap Lebaran. Bukan, bukan karena ternyata kami berasal dari kota yang sama. Keheranan dia muncul karena saya tidak pernah mencicipi kota pelajar tersebut. Bagaimana
tidak heran, saya cuma datang ke Jogja lewat Adi Sutjipto atau Tugu, langsung menuju rumah nenek di Tamsis, melewati 4-5 hari dengan makan gudeg dan ayam goreng yang saya tidak pernah tahu namanya, belanja di Malioboro dan makan Bakmi Kadin. "Yakin orang Jogja? Kok destinasinya turis banget?" Ada nada judgmental di situ, tapi sayangnya saya tidak bisa membantah. Lebih dari 20 tahun hanya  bisa merasakan jadi anak Jakarta dengan segala stereotipenya. Bahkan, tiga tahun lalu plesiran ke Bali, teman dekat saya berkomentar tentang kunjungan saya ke Potato Head dan Nasi Pedas Bu Andika, "Anak Jakarta banget ya jalan-jalannya!"

Saya mencoba menelan kembali, apa yang salah jadi anak Jakarta? Saya memang tidak pernah keluar dari kota ini. Saya lahir, besar, sekolah, kuliah dan bekerja di sini. Hampir penjuru kota ini saya
eksplorasi demi mengabaikan kepenatan atau kebosanan yang dikeluhkan teman seperjuangan yang mencari nafkah di kota ini. Sampai sekitar tiga tahun lalu, saya mencoba cari tahu, ada rasa apa di luar Big Durian ini? Mengapa seolah-olah rasa campur aduk di Jakarta ini masih terasa 'kurang'? Memang sempat saya begitu terobsesinya dengan traveling, jalan ke sana ke mari. Namun,
rasanya lain. Saya berjalan sebagai pendatang, dengan tulisan turis di dahi saya. Sampai akhirnya ada perjalanan hampir dua minggu di Jogja, saya berusaha melebur dengan lokal. Tidak, mereka juga bukan sepenuhnya orang asli. Saya pun coba lagi mampir ke kota-kota dekat yang dulu saya anggap tidak menarik, Solo, Makassar, bahkan Kendari. Saya buang jauh-jauh itinerary panjang tujuan liburan saya. Pilihan duduk di teras rumah atau warung kopi terdekat justru agenda paling menarik. Ini juga akhirnya yang mengurungkan niat saya lebih sering traveling. Saya kehilangan esensi kehangatan perjalanan itu sendiri.

Kembali soal Jakarta, akhirnya saya mulai paham kenapa orang begitu rindu Jogja, sejuknya Bandung atau Malang, nikmatnya Solo atau tenangnya Bali. Saya mulai paham, mengapa warga Jakarta mudah tersulut berkomentar di sosial media atau di lingkungan terdekatnya tentang hal sepele yang justru bikin panas telinga. Bukannya saya menikmati macet atau kekhilafan warganya yang serba seenaknya, mungkin saya sudah mencapai tahap 'nrimo' dengan kondisi ini. Saya percaya, kadang bukan keinginan sendiri untuk mengadu nasib di kota ini. Ada beberapa kejadian yang saya alami akhir-akhir ini juga sempat membuat saya termenung. Bulan Mei lalu, saya main ke Purbalingga untuk menghadiri sebuah festival film. Pagi-pagi, kami main ke pasar. Tiba-tiba ada seorang bapak menegur, "Mbak dari Jakarta?" Saya kaget, tahu darimana dia? Saya pun mengangguk sambil tersenyum, Ya pak. "Saya dulu kerja mbak di Jakarta, mbak Jakartanya mana? Saya dulu jadi teknisi gedung.." Cerita si bapak pun bergulir, saya mencoba mencerna. Saya lihat dia berjualan -
saya lupa, entah batu akik atau perkakas dapur biasa. Nampak senang berbaur dengan ramainya pasar. Terbersit juga, dengan hidupnya yang cukup di Purbalingga, kenapa dia harus ke Jakarta? Apakah Jakarta menjamin hidupnya layak seperti di desa? Apakah Jakarta menjamin ia
bisa tersenyum lebar dan menghirup udara segar tiap pagi tanpa polusi dan macetnya? Lagi-lagi, saya masih alpa mencari eksotisme Jakarta bagi pendatang semacam bapak itu.

Lalu, apakah dengan ini semua saya memutuskan untuk meninggalkan ibukota? Bukan, bukan karena ingin tinggal dan menikmati nyamannya negara lain seperti yang diidam-idamkan kebanyakan orang di sekitar saya. Kalau ya, mungkin saya perlu mengutip omongan Seno Gumira Ajidarma, saya tidak ingin punya memori masa tua tentang kemacetan soal Jakarta dan membesarkan keluarga di dalamnya. Entah itu jadi ucapan yang sederhana bagi kota Jakarta yang baru ulangtahun atau (lagi, mengutip omongan teman saya) hanya akan jadi impian ideal untuk jauh dari Jakarta demi hidup yang lebih tenang.

Selamat ulangtahun!