Sunday, November 27, 2011

Jogja, I'm In Denial

Setelah nyaris satu bulan saya bekerja di kantor baru, ini adalah kali pertamanya ditugaskan ke luar kota untuk menemani film yang akan diputar. Yak, film dokumenter batik yang konon peminatnya begitu membludak ini memang tidak boleh keluar sendiri dari kandangnya untuk memastikan tidak ada yang melalukan duplikasi film ini. Kali ini permintaan datang dari sebuah SMK di Klaten di bawah sebuah NGO. Akhirnya terjadilah perjalanan yang membutuhkan banyak energi, khususnya mata untuk benar-benar terbuka. Jumat tanggal 25 November 2011 tepat sehari (atau beberapa jam) setelah pemutaran perdana dan serangkaian acara red carpet film Arisan 2! Saya meluncur ke bandara Soekarno Hatta menuju Adisucipto. Jam 9 lewat lima belas menit, saya sudah berdiri cantik menunggu jemputan dari Titian Foundation, penyelenggara acara tersebut. Perjalanan langsung dilanjutkan ke Bayat, Klaten sekitar lebih kurang satu jam ke SMK 1 yang akan menjadi lokasi pemutaran film Batik Our Love Story.


Sudah terbayang kira-kira lokasi pemutaran akan sedikit ndeso seperti yang dikatakan Nila, salah satu officer dari Titian Foundation. Yak, perjalanan benar-benar melewati sawah dan gunung di kanan kiri jalan. Nila sempat menyebutkan sekolah ini berada di kaki Gunung Kidul, nama yang cukup familiar tapi tidak pernah saya ketahui di mana lokasinya. Akhirnya tiba di SMK 1 dan saya tercengang melihat sekolah tersebut. Dibangun 3 tahun lalu dari donasi bencana gempa Jogja, sekolah ini sangat bagus untuk ukuran sebuah sekolah negeri di pedesaan. Mereka punya studio batik dan keramik, sesuai jurusan SMK tersebut, guest house, dan pastinya auditorium sendiri untuk memutar film serta diskusi.



Dengan lokasi yang masih sangat alami sebenarnya pemandangan dari SMK 1 ini sungguh menyenangkan tetapi membayangkan harus menginap di guest house di tengah sawah yang selepas magrib hanya ada suara jangkrik, tentu membuat saya berpikir dua kali. Jadilah malam itu saya pamit untuk langsung meluncur ke Jogja, menginap di rumah eyang. Sebenarnya ada hidden agenda yang tadinya mau saya jalani. Sejak awal panitia acara menanyakan kapan saya mau pulang ke Jakarta. Sempat terpikir untuk mengunjungi Semarang barang semalam mengingat obsesi saya pada kuil dan Chinatown di Semarang. Sayangnya setelah sedikit berkonsultasi dengan beberapa teman, waktu satu hari terlalu mepet untuk dilalui di Semarang, nantinya hanya akan dapat lelah saja. Jadilah saya manfaatkan waktu satu setengah hari berkeliling di Jogja setelah terakhir kali mampir tahun 2008 lalu.


Jogja bukan kota asing bagi saya, selama lebih kurang 20 tahun pasti mampir meskipun hanya sekadar silaturahmi Lebaran satu tahun sekali. Saking seringnya, bagi saya tidak ada lagi yang menarik dijelajahi, bahkan saya tidak pernah benar-benar mampir ke Malioboro dengan alasan bosan dan macet. Ini menjadi sedikit burden bagi saya saat menuju Jogja. Mau ke mana saja di Jogja? Jujur saat itu hanya ada satu tempat di benak saya, kedai eskrim yang sempat saya baca ulasannya di twitter. It’s so unlike me, to visit a city without exploring about the city and what happened there. Akhirnya saya mencatat beberapa nama restoran dan kafe saja di Blackberry saya. Seperjalanan menuju Jogja barulah saya tahu tepat keesokan harinya akan dibuka perhelatan akbar Jogja Biennale yang akan berlangsung selama sebulan lebih.


Rasa penasaran pertama akhirnya terpenuhi dengan mengunjungi Artemy gelato bar di dekat Hotel Ibis Malioboro yang konon menyajikan rasa ferrero roche. Sayang malam itu tidak tersedia, akhirnya saya cukup puas dengan rasa cotton candy dan spekulas. Hanya 19.000 sudah lengkap dengan waffle cone dan taburan sprinkles.

Lanjut, saya minta dibawa menyicipi bakso ala Jogja yang dilengkapi dengan bakso gorengnya tak jauh dari kedai es krim tadi. Hanya dengan enam ribu rupiah, semangkuk bakso hangat sukses menyeimbangkan rasa manis dan dingin eksrim. Yes, i am cheap!



Keesokannya, barulah kembali perjalanan menyusuri kuliner Jogja dilanjutkan. Saya sedikit bersikeras mampir ke sebuah coffeeshop atas rekomendasi teman yang hobi nongkrong di sini. Kafe Noir, terbayang suasana kelam sesuai namanya dan menurut promo di twitter, mereka juga punya red velvet cupcake. Saya sedikit kecewa melihat kafe yang sederhana itu tanpa penampakan red velvet cupcake. Untungnya kekecewaan itu terbayar dengan creme brule blended coffee yang rasanya menyegarkan hanya dengan 19.000 saja.

Sejujurnya saya sudah kehabisan ide (yaiyalah Cuma nabung 2 tempat makan doang!) tiba-tiba saya ingat saat ada pameran kuliner Jogja di TIM beberapa bulan lalu oleh Jalansutera. Ada sate klatak yang padat peminat dan saya kehabisan saat itu. Jadilah saya mencari sate klatak yang konon terkenal di Jl. Imogiri tetapi bisa ditemui di beberapa kedai sate kambing. Akhirnya, sate kambing dengan bumbu sederhana bawang putih dan garam ini hadir di hadapan saya. Bagi beberapa orang mungkin akan terasa kering tanpa bumbu kecap atau kacang, tetapi untuk saya entah mengapa terada mirip dengan BBQ di restoran Korea.

Perut kenyang, hati puas. Perjalanan pulang dilanjutkan melewati Malioboro dan tugu Serangan 11 Maret. Seperti yang saya sebutkan di atas, saya tidak pernah tertarik menyusuri Malioboro lebih lanjut. Mendadak saya terpana dengan sebuah patung kelinci emas dengan tulisan soal toleransi, lalu juga sebuah art work warna merah tepat di depan tugu 11 Maret. Tangan saya terlalu lambat untuk meraih kamera dan memotretnya. Saat itu ramai sekali jalanan sekitar Malioboro dan pak supir pun menyeletuk, “Wah ntar malam itu perayaan 1 Suro. Pantas ramai sekali ini mbak..”
“Biasanya ngapain pak kalo 1 Suro?” “Itu dari kraton ada yang keliling benteng, pokoknya ramai semalam suntuk”

Damn! Dalam hati saya kesal luar biasa pada diri sendiri. Ini mungkin salah satu perayaan budaya yang cukup besar, kabarnya ada ritual sendiri di Pantai Selatan yang unik. Saya menyesal mengapa saya begitu in denial dengan kota yang terlalu sering saya kunjungi tapi jarang dieksplorasi. Begitu pula saat melewati Klaten dan melihat signage Candi Boko dan candi-candi lainnya di perjalanan pulang. Diketahui kemudian, pembukaan Jogja Biennale juga ramai dengan eksebisi karya seni yang terbuka untuk umum. Sungguh penyesalan kuadrat. Oh well, nampaknya saya tidak boleh menanaktirikan kota manapun, seberapa seringnya kita sudah berkunjung karena akan selalu ada hal baru yang menarik diulik. Penyesalan tak berguna masih terasa sampai mendarat di Soekarno Hatta semalam. Bummer!

No comments: