Lebaran, biasanya tv swasta memutar film-film Indonesia yang (cukup) bagus. Heran juga sih,kalau memang bagus harusnya bisa ditonton di bioskop bukan di tv yang jaraknya cukup lama,bukan?
Anyway, malam ini tepat malam Idul Fitri Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo menyita perhatian saya.
Ceritanya, Anisa gadis pesantren yang berusaha mencari kebebasan di luar pesantren karena sistem pendidikan yang cenderung merugikan perempuan. Anisa kerap mengalami hambatan, mulai dari tuduhan zinah,dianggap perempuan liar, sampai puncaknya ia kehilangan ayah tercinta.
Anisa akhirnya bisa melepaskan belenggu yang mengekangnya selama ini dan mengekspresikan lewat tulisannya dan juga dukungan Khudori,suaminya.
Di tengah kebebasannya mengekspresikan pikirannya, Anisa terpaksa kembali ke pesantren yang setelah 17 tahun ternyata tidak memberikannya pencerahan ataupun jendela bagi imajinasinya untuk melihat dunia.Tujuan Anisa membuat perubahan. Hal itu sulit apalagi pesantren memiliki stereotipe yang konservatif dan cenderung mengikuti norma-norma yang biasanya sudah turun temurun dijalankan.
Ada ketidaksetaraan yang disampaikan dalam film ini melalui pikiran dan perjuangan Anisa dengan murid-muridnya yang ingin belajar lewat membaca dan menulis. Anisa dengan keinginannya bisa berdiri sebagai istri dan wanita yang utuh dan mengesampingkan ketakutannya untuk memenuhi kodrat sebagai ibu. Dan, Anisa dengan keyakinannya bahwa meskipun dalam Islam, Allah menjanjikan surga bagi wanita, tetap saja perjuangan tidak berarti berhenti di situ saja. Wanita pun berhak dan wajib mendidik anak dan lingkungannya untuk bisa menyalurkan kebebasannya dengan tanggung jawab yang sudah semestinya memberikan faedah.
Anisa mungkin sudah banyak ada di antara kita,yang selalu merasa tidak bebas dan tidak sanggup melepaskan apa yang selama ini menyesakkan. Banyak yang berkoar-koar meminta kesetaraan,tetapi pahamkah apa itu kesetaraan? Dalam film ini, penggambaran kesetaraan sebenarnya cukup sederhana mengingat latar yang diambil di desa kecil di Jawa Tengah. Mungkin kita sebenarnya sudah merasakan apa yang Anisa ingin capai. Bisa menjadi apa saja, belajar apa saja, dan tahu tentang apa saja. Tidak lagi ada keharusan wanita kembali ke dapur,karena menurut Khudori dalam film hal tersebut bukanlah hal natural,tetapi kembali ke budaya masing-masing.
Berbicara budaya, wanita kerap dihadapkan pada fase membentuk keluarga yang dianggap sebagai salah satu 'kodrat' wanita. Dalam film ini juga ditekankan, wanita harus berada di kodratnya agar saat menjadi istri atau memiliki keluarga menjadi istri yang patuh dan keluarganya sakinah. Apakah membentuk keluarga dan pernikahan merupakan tujuan dari adanya wanita? Apakah perjuangan memncari kebebasan itu berhenti sampai ia menjadi istri atau ibu? Bagaimana jika ia dapat membentuk lingkungan lain yang sakinah tanpa harus berada dalam situasi itu,berkeluarga? Bila itu menjadi salah satu pilihannya sebagai ekspresi kebebasan,apakah dengan cara yang berbeda itu menjadikannya sebagai alien di antara manusia lainnya?
Apakah berbeda untuk memajukan diri dan masyarakat artinya menyerahkan diri pada kotak hitam yang membelenggunya dan justru menjerumuskan wanita pada kebalikan dari kebebasan?
Sorban, sebagai inisial dari kelelakian yang ada di kepala, letak yang teratas, dalam film ini begitu kental melambangkan bagaimana kuatnya diikatkan pada leher wanita untuk membelenggu dan berada dalam bayang-bayangan maskulinitas. Siap menunggu saatnya terlepas.