Sunday, October 30, 2011

To Finally Catch Your Dream Is One of The Hardest Thing

Zaman SMP saya suka berorganisasi, mulai dari OSIS di SMP Al-Azhar Pejaten, eskul seni dan kepanitiaan acara di sekolah saya tersebut saya ikuti. Hasilnya menyenangkan dan membanggakan, acara-acara seperti Alpen Cup dan LDKS bisa tercapai atas usaha keras segelintir anak SMP yang ambisius saat itu.

Zaman SMA saya lebih mencintai menari tradisional sebagai hal baru yang saya coba saat itu dan menerbangkan tim kami berisi tiga puluh orang itu ke Festival de la Collina di Itali.

Zaman kuliah makin terbuka lebar kesempatan dan pilihan pun beragam. Mulai dari menjadi marketing di majalah kampus, salah satu penari tradisional, atau organisasi yang lebih serius dan cenderung politis sempat menarik perhatian saya. Namun hanya satu yang kala itu benar-benar mencuri hati saya. Radio kampus RTC UI FM adalah jurusan saya saat itu. Merangkap jadi marketing and communication, public relation dan produser makin membangkitkan gairah saya di dunia radio. Kesempatan mengenal radio swasta makin terbuka, kami sempat berkunjung ke beberapa radio swasta Mustang FM dan Trax FM Jakarta. Saya melihat bagaiman kalau saya bisa bekerja di dunia radio yang menyenangkan dan menghidupi. Melihat bagaimana sisi jurnalistik saya pun bisa terasah dan nantinya sekaligus mempromosikan radio itu sendiri. Saat menginjakkan ke dua radio besar dan menambah ilmu broadcasting seperti mendorong keinginan saya yang dulu sempat terkubur saat mau memilih jurusan kuliah broadcast journalism dan beralih ke sastra Indonesia.

Yah, mimpi memang menyenangkan untuk dilakukan. Berandai-andailah saya saat itu.

Sepanjang empat tahun di kampus, tiga tahun di radio kampus, saya masih tergoda mencicipi kegiatan lain di luar kampus. Di mulai saat menjadi volunteer JIFFEST 2007, saya tersentak dan ingat obrolan menjelang ujian lulus SMA. Saya ingat waktu saya memilih jurusan dan kampus untuk kuliah. Selain jurusan komunikasi UI, pilihan saya waktu itu adalah IKJ jurusan film. Banyak kontroversi saat itu kebanyakan seputar ospek dan izin orangtua yang saat itu masih memandang sekolah seni sebelah mata. Untungnya orangtua saya saat itu mengizinkan dan saya mencoba mengumpulkan mental untuk segala ospeknya. Sayangnya, impian itu gagal diwujudkan saat pengumuman SPMB yang meloloskan saya jadi salah satu mahasiswi fakultas ilmu budaya UI. Bye bye IKJ!



Ya, pasca bergabung di JIFFEST dan bertemu banyak orang-orang di bidang film saya jadi terpacu lagi untuk menempa impian saya yang dulu. Tidak berhenti, setelah itu sederet volunteer festival film saya ikuti untuk mendekatkan diri dengan industrinya dan pastinya menambah ilmu. Europe On Screen, Festival Film Pendek Konfiden, V-Film Festival, dan pastinya JIFFEST tahun berikutnya. Lepas kuliah, mulai memikirkan pekerjaan, entah kenapa pekerjaan film tidak muncul dalam benak saya. Sempat tawaran bergabung di salah satu perusahaan film terbesar datang di bulan ke lima saat saya baru jadi produser di Cosmopolitan FM, tentunya saya tolak karena masih terikat kontrak. Tawaran kembali datang dari salah satu teman di JIFFEST untuk menjadi koordinator, kembali saya tolak karena pekerjaan itu hanya temporal. Makin lama menjadi radioslave, tanpa saya sadar saya coba mengimbangi dengan berbagai kegiatan film yang saya ikuti. Hanya dari sekadar rutin menghadiri festival fil (untuk nonton tentunya) sampai mencoba berkontribusi menulis di beberapa media film. Jalan ternyata tidak mulus, tidak semua sukses dijalani seiring dengan pekerjaan tetap saya. Mulailah saya bertanya pada diri sendiri, what actually you wanna do in life?



Salah satu inspirasi :)

Tanpa dorongan yang kuat ternyata sulit menemukan jawabannya. Tidak mudah menemukan jawaban kalau ternyata saya mau terlibat dalam sebuah diskusi film yang kadang begitus serius atau bahkan hanya obrolan warung kopi, ternyata saya mau membagi ide-ide yang muncul setelah menonton satu film, ternyata saya mau ketika saya berbagi lewat tulisan atau wacana ada orang yang tergerak mau menonton film itu, ternyata saya mau orang tidak lagi mencela film-film Indonesia yang berkualitas tanpa menontonnya dulu, ternyata saya mau film lebih dihargai, ternyata saya mau mempromosikan film meskipun tanpa embel-embel komersial, ternyata saya begitu inginnya menjadi bagian dalam film itu sendiri.





Begitu banyak kenyataan yang ternyata baru terbuka selama dua tahun bekerja di radio swasta. Bukan, bukannya saya merasa salah jalur menjadi budak radio. Saya mencintai pekerjaan saya menggodok program yang fresh dan mengedukasi, saya mencintai pekerjaan saya menghadirkan bintang tamu yang bisa memberikan insight baru ke pendegar, saya mencintai berada di keramaian, berbaur dan menyebarkan berita baik ke pendengar saya, saya mencintai pekerjaan saya yang dekat dengan musik yang saya sukai, saya mencintai pekerjaan saya yang selalu menuntut saya terus kreatif. Tidak pernah ada yang salah dalam motivasi kerja saya selama ini di MRA Broadcast Media ini. Satu hal saja yang tidak saya miliki selama ini, visi ke depan tentang apa keinginan saya. Saya tidak berambisi menjadikan show saya nomer satu di rating AC Nielsen, saya tidak berambisi menjadikan radio saya punya ratecard yang mahalnya menjulang dijadikan rebutan bagi pemasang iklan, saya tidak berambisi menjadi program director atau menduduki jabatan penting dalam perusahaan ini atau industri radio nasional. Visi saya tidak setajam itu di dunia radio.

Makin saya sadari saat kembali berada di lingkungan film blogger, penulis film, dan kritikus film. Saya mau berada di sana! Mungkin itu ambisi yang terlalu tinggi, but we never stop dreaming right? Akhirnya perlahan-lahan saya sadar, saya harus merangkak lagi dari bawah demi satu kata yang sedang populer, passion. Passion yang membuat saya menggebu-gebu tiap membicarakannya, yang membuat saya terpacu untuk belajar lebih, yang membuat saya tersenyum setelah menonton atau menulisnya, yang membuat saya berani meninggalkan hal-hal lain tanpa merasa sia-sia. Proses perjalanan itu sangat tidak mudah dan cepat, sempat saya merasa down karena merasa terlambat memulai semua dari awal. Tapi melihat hal baik yang terjadi pada orang lain, saya merasa masih sempat mengejar keterlambatan karena saya merasa punya semangat dan keinginan yang sama besarnya. I’ve worked on radio for years and i know it’s worthed to leave when it comes to film. Bukan berarti dua tahun yang sia-sia, tetapi visi yang lebih tajam akhirnya memanggil saya untuk memulai semua dari awal and it feels so effin’ good 

Vanilla Sky on Owl City's Concert



What is your concert bucketlist?
Ini daftar konser cita-cita saya,

The Postal Service
Coldplay
Feist
MGMT
Phoenix
Owl City
Ash
Miike Snow
Muse
Boyzone

Sejauh ini hampir setengahnya sudah tercapai, dan saya baru saja mengurangi daftarnya lagi semalam.
Yes, Adam Young a.k.a Sky Sailing a.k.a Swimming With Dolphins, Port Blue, Seagull Orchestra, Relient K, Matt Thiessen, Lights a.k.a Owl City konser di Jakarta 28 Oktober lalu. Penantian konser ini cukup lama dan menegangkan. Dia dibawa oleh promotor Java Musikindo, awalnya saya cukup sebal karena beberapa konser sebelumnya dengan promotor yang sama ternyata memakai sistim penjualan tiket yang bikin ribet dan melelahkan. Mereka menjual tiketnya lewat antrian di rumah sang empunya, Adrie Subono. Tentunya saya malas harus repot-repot antri dari subuh yang konon hanya ada limited tickets. Akhirnya tiga cara dicoba, minta tolong orang antri, beli di website JAVA dam beli di JakartaConcert.com. Alhamdulilah usaha berbuah dapat 2 tiket (ini versi singkat dan gak ada bagian marah-marah sama orang JAVA ya..:p). Dan..itu terjadi sudah dari bulan Mei! Yap, five months worth waiting!

Long story short, last night was great, awesome and legend *wait fot it* dary concert! Dua puluh satu lagu dari empat album Of June, Maybe I’m Dreaming, Ocean Eyes dan All Things Bright and Beautiful selama hampir 75 menit tidak ada yang mengecewakan. Saya sempat menonton video mini concertnya saat di Filipina tahun lalu, terlihat sangat sederhana tanpa terlihat membawa band-nya. Kali ini, ia tampil full band lengkap dengan pemain cello dan biolanya yang terdengar layaknya orkestra. Membayangkan musisi bergenre electro dance pop bisa ditampilkan dengan full band yang sedikit memberikan kesan electro pop dan sentuhan orkestra memberi kepuasan tersendiri bagi saya. Dibuka dengan lagu “The Real World” disambung berturut-turut dengan “Cave In” langsung menghentak Tennis Indoor Senayan berisi 5000 penonton. Lagu ketiga langung membuat saya tersentak, “Hello Seattle” one of my favorite song was played early last night. In that moment, i was so happy that i wanna puke. Yeah, call me crazy and lebay :p. Sepanjang konser, Young memamerkan talenta memainkan beberapa instrumen musik seperti piano, drum, gitar, bass dan tentunya synth. Aransemen musik di beberapa lagu dibuat sedikit berbeda, di lagu “Fireflies” yang menjadi single andalannya, ia menambahkan suara serangga yang direkam live dan dijadikan bagian lagu tersebut. Intronya pun dibuat sedikit berbeda, lebih menghentak dan sedikit tidak tertebak. Lagu “Meteor Shower” yang hanya berdurasi dua menit juga dibuat sedemikian syahdu dengan lampu sorot yang membuat suasana terasa cocok dengan cuaca di luar setelah diguyur hujan. Layaknya konser kebanyakan, Young juga menghujani penonton yang kebanyakan berusia di bawah 20 tahun dengan kata-kata “I Love you!” “This is the best show!” “We love you Jakarta!” tentunya dijawab dengan teriakan histeria penggemar setia Young. Sebelum encore, Young silam setelah lagu “The Yacht Club” dan kembali dengan encore “How I Became The Sea” dan “If My Heart Was A House” sebagai penutup apik.



Meskipun merasa aneh di antara lautan ABG yang kebanyakan masih diantar orangtua bahkan perlu digendong supaya bisa melihat aksi panggung Young dkk, saya menikmati konser yang sudah saya tunggu sejak dua tahun lalu. Ada sedikit pertanyaan sih dalam hati, selera musik siapa yang salah, saya atau penonton ABG ini? Ah, nevermind. Lepas dari anomali itu dan lagu favorit saya Dear Vienna, Strawberry Avalanche, On The Wing dan To The Sky yang alpa malam itu, this concert was tragically beautiful. I can still recall a goosebumps!

Tuesday, October 18, 2011

A Solo Runner, A Ladylike, and A Bolang In A 'Nguyen' Mission (part 1)



Akhirnya terjadilah sudah rencana liburan ketiga tahun ini! Awalnya sempat merencanakan ke Chiang Mai, Thailand dengan beberapa calon partner liburan yang sempat berganti-ganti. Setelah pemikiran panjang secara itinerary dan finansial, tujuannya berubah menjadi Ho Chi Minh City alias Saigon bersama dua fellow-girlfriend, Idha dan Ucy. FYI, kita memang sudah berteman sejak kuliah, tapi liburan terjauh yang pernah saya tempuh dengan mereka hanya Bandung dan Anyer. Pastinya, muncul rasa deg-degan dan excited secara bersamaan.


To have a trip with these two and coming back in one piece is priceless!

Rencana liburan ini sudah ada sejak sekitar 3-4 bulan lalu, dengan bujet minimalis akhirnya sukses mendapatkan tiket Jakarta-Saigon-Jakarta hanya dengan 1 juta rupiah saja! Tentunya, dengan bujet airlines. Itinerary pun disusun sedemikian rupa supaya semua senang dan puas. Sedikit profil dua teman saya ini, Ucy itu adalah bolang alias bocah petualang di antara kelompok kami. Pemenang ACI Detik 2010 ini sudah sering keliling Indonesia untuk menikmati wisata alam terutama laut dan pantai. Nah, kalo Idha ini Queen Bee :p semuanya harus teratur dan jelas. Posisi saya sebenarnya ada di tengah-tengah, buat saya traveling itu perlu persiapan matang dan selama menjelajah alamnya bukan hiking, I'm on board! Mereka berdua sejauh ini belum pernah traveling solo sedangkan saya lebih banyak di grup kecil atau solo trip. Jadi kebayang lah bagaimana menggabungkan semua keinginan kita semua?

Menjelang perjalanan sampai tiba di HCMC sih tidak ada masalah, hostel ada di lokasi backpacker yang ramai dan dikenal, referensi dari hostelworld.com tidak jauh dari kondisi asli, dan suasana yang masih mirip Indonesia cukup memudahkan kami. Kota HCM sendiri adalah kota populasi terpadat di Vietnam meskipun bukan ibukotanya. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan Jakarta terutama urusan trafficnya. Untuk menyebrang jalan perlu keberanian penuh dan kepercayaan diri. Motor-motor yang konon berjumlah 5 juta buah itu seperti tidak menaruh ampun pada pejalan kaki plus arus lalu lintas yang berkebalikan dari Jakarta sedikit bikin pusing. Transportasi umum di sana juga belum teratur layaknya Singapura atau Bangkok, jadi bagi turis hanya bisa mengandalkan bus, taksi, atau sejenis becak. Namun, prinsip utama saya ketika naik bis di negara yang tidak berbahasa Inggris adalah "Taking bus is the ultimate way to get lost" jadi opsi bus sudah pasti dihilangkan. Atas saran juga dari beberapa traveler yang sudah ke HCMC, sebaiknya manfaatkan fasilitas tur yang ada di hostel untuk menghemat waktu dan tenaga. Untungnya tur nya sendiri beragam dan harganya terjangkau. Kami pun sepakat mengambil tur untuk menikmati kota Saigon ini.


Baca bismillah dulu kalo mau nyebrang

City Tour ($8= 147.000d= Rp 75.000)
War Remnant Museum - Tea Shop - Pagoda in Chinatown - Old Resident - Notredame Church - Central Post Office - Ben Tham Market

Tur keliling kota ini tergolong relatif singkat, mengingat museum dan atraksi dalam kotanya sendiri tidak terlalu besar dan butuh waktu lama dijelajah. Museum sisa perangnya saja ternyata tidak semegah Museum Gajah di Jakarta atau Museum Nasional Beijing. Tiket masuk museumnya juga relatif murah hanya 30.000d tiap museumnya dan belum termasuk di dalam paket tur.


Always my favorite, Pagoda or temple



Notredame Cathedral

Dua atraksi wajib di HCMC adalah Mekong Delta, yaitu menyusuri sungai Mekong dengan sampan lewat perjalanan dua jam dari HCMC. Satu lagi adalah melihat peninggalan perang Vietnam - Amerika di Chuchi Tunnel. Keduanya menarik, keduanya seru. Sayang, waktu yang terbatas tidak memungkinkan kami mengunjungi keduanya, so another whin win solution. Idha ke Chuchi Tunnel sendiri, saya dan Ucy ke Mekong Delta.

Mekong Delta Tour ($8 = 147.000d = Rp 75.000)
Bus to dock (return) - Boat to 3 islands (return) - lunch - freebies tester for candy & fruits

Perjalanan Mekong Delta ini menghabiskan 2 jam naik bus menuju pelabuhan, lalu disambung dengan kapal kecil ke 3 pulau di area My Tho lalu naik sampan menyusuri rute floating market. Kalau pernah ke Hong Kong Disneyland, kira-kira lokasinya mirip dengan atraksi George In the Jungle.
Mengelilingi 3 pulau dengan keunikan masing-masing, saya seperti melihat pulau seribu dengan sumber daya alamnya. Kali ini, ada Unicorn Island tempat lebah dibudidayakan jadi madu, Phoenix Island tempat kelapa dijadikan workshop coconut candy alias dodol, dan Happy Island, di mana bisa ditemukan banyak buaya.


What they do in countryside

Sampai di Happy Island, saya masih belum merasa terpuaskan dengan perjalanan ke Mekong Delta. Sempat terbersit "Ah, gini doang? Tahu gitu ke Chuchi aja, rekomendasi Lonely Planet, gitu..."
Untungnya perjalanan naik sampan bermuatan empat penumpang plus dua pengayuh sampan itu akhirnya memuaskan saya, meskipun sempat deg-degan kalau mendadak bertemu buaya di sungai itu.


Mekong Delta!

Sampai hari itu, saya cukup menikmati perjalanan dan plesiran di kota Paman Ho tersebut. Tapi, saya merasa ada yang kurang. Terbiasa melakukan perjalanan lebih dari satu minggu seorang diri membuat saya harus survive sendiri tetapi juga ada kebutuhan untuk berinteraksi dengan penduduk lokal atau fellow traveler. Ini belum terjadi sampai di hari kedua. Ikut tur membuat semuanya serba mudah dan diatur, kalau biasanya saya coba cari-cari jalan sendiri untuk menemukan lokasi yang saya tuju, itu juga belum terjadi. Menikmati kuliner lokal juga saya percaya sebagai bentuk menyatu dengan budaya setempat, sayangnya belum banyak lokasi yang kami jangkau di HCMC. Satu lagi, traveling is incomplete without drama. Oh well, hampir semuanya terjawab di dua hari berikutnya. Details soon!


Local food stall

The Smurfs : Reuni Kebiru-biruan Dari Masa Kecil


Di desa Smurf, 99 Smurf dan 1 Smurfette dengan karakter masing-masing hidup tenteram dan bahagia. Bagi mereka sedih itu tidak ada dalam kamus, bahkan kesedihan bisa berubah menjadi suatu kebahagiaan. Di tengah keharu-biruan para Smurf, ada Gargamel si penyihir jahat yang sudah lama mengincar Smurf untuk dijadikan ekstrak penambah kekuatan sihirnya. Selama ini Gargamel tidak bisa menemukan keberadaan Smurfs karena mereka seolah hidup di hutan rahasia. Suatu hari Clumsy Smurfs berjalan-jalan keluar Hutan Smurfs dan keberadaannya tidak sengaja terdeteksi Azrael, kucing kesayangan Gargamel. Adegan kejar-kejaran pun tak terhindarkan, sayang akhirnya Gargamel berhasil masuk ke Hutan Smurf. Semua hutan dan rumah jamur Smurfs pun porak poranda, termasuk ramuan Papa Smurfs.

Papa Smurf, Smurfette, Grouchy, Brainy, Gutsy dan Clumsy akhirnya terseret pada situasi pertarungan dengan Gargamel yang membuat mereka sampai di kota New York dan harus mencari jalan pulang lewat buku sihir yang ada di kota itu. Perjalanan itu tentu tidak mudah apalagi dengan adanya Gargamel yang begitu ambisius mengejar The Smurfs. Tanpa sengaja, The Smurfs bertemu dengan Patrick (Neil Patrick Harris) dan langsung saja Papa Smurfs meminta bantuan Patrick untuk menemukan buku sihir tersebut sekaligus melenyapkan Gargamel. Padahal Patrick sendiri sedang berjuang mempertahankan pekerjaannya atau ia terancam akan dipecat. Otomatis pertemuannya dengan The Smurfs makin membuat rumit kehidupan Patrick. Bagaimana petualangan The Smurfs menghadapi kota New York yang sibuk dan juga Gargamel? Apakah mereka sukses kembali ke desa mereka yang tenang atau terpaksa menetap di the Big Apple?

Bukan hanya kekonyolan Clumsy atau centilnya Katy Perry sebagai Smurfette yang bisa kita nikmati sepanjang film tetapi juga duet Neil Patrick Harris dengan Jayma Mays. Duet ini seperti membentuk sebuah reuni kecil antar pemain serial televisi yang sedang populer How I Met Your Mother dan Glee juga Tim Gunn dari Project Runway yang sempat muncul di awal film.

Pastinya keenam mahluk biru ini akan memberikan sedikit kesegaran tanpa feeling blue.

The Smurfs| 2011| Sutradara: Raja Gosnell| Pemeran: Hank Azaria, Neil Patrick Harris & Katy Perry

Also featured on Fimela.com http://bit.ly/qCiSUy

Sunday, October 09, 2011

Badai Di Ujung Negeri: Mencari Klimaks Dalam Pecahan Aksi



Menikmati film bukan hanya sekadar berkutat di dalam plot cerita yang disuguhkan. Kini menikmati indahnya alam Indonesiajuga bisa menjadi alasan tepat untuk menikmati sebuah film. Kali ini suguhannya cukup spesial: menikmati tampilan alam di pulau Sumatera, sekaligus aksi peperangan tentara marinir di laut bebas. Setelah beberapa film laga Indonesia dipuja-puji di beberapa festival film internasional, hadir lagi satu karya anak bangsa, Badai Di Ujung Negeri, yang mengedepankan laga sebagai sajian utama.

Film ini dibuka dengan percakapan dua sahabat di pinggir laut. Badai (Arifin Putra) bersama Nugi menikmati laut, tanpa ada ombak melintasi mereka berdua. Tahun berlalu, Badai pun tidak lagi tenang seperti dulu. Ia kehilangan Nugi yang meninggal di laut. Pengalaman pahit itu meninggalkan luka mendalam. Kakak Nugi, Joko (Yama Carlos), masih menyalahkan Badai atas insiden itu. Secara perlahan mereka berdua memisahkan diri namun tetap berada di jalur yang sama. Keduanya menjadi tentara dan bertemu kembali saat Badai bertugas di Pulau Sumatera. Ketegangan keduanya tidak bisa dihindari. Joko memilih untuk menjaga jarak dengan Badai agar luka lamanya tak lagi terkoyak. Badai pun memilih lebih dekat dengan Anisa (Astrid Tiar), gadis asli pulau tersebut yang membuatnya betah lebih lama menjalani tugasnya sebagai tentara.

Masalah pun datang satu persatu. Warga dibuat resah dengan munculnya korban tewas tak dikenal di laut pesisir.Puncaknya ketika Dika, anak penduduk lokal, tewas tertembak. Badai dan kawan-kawan pun mencoba mencari tahu siapa pelaku di balik kejahatan ini. Ternyata masalah yang ditemukan bukan sekadar pembunuhan belaka saja. Ada sindikat perdagangan manusia dan senjata yang terlibat. Celakanya lagi, Anisa tidak sengaja ikut terseret ke dalamnya.

Badai Di Ujung Negeri berusaha menampilkan aksi kepahlawanan seorang laki-laki yang dibalut rasa bersalah yang tinggi. Di awal film, Badai digambarkan sebagai sosok yang tenang, dan menjadi penengah bagi kakak beradik Nugi-Joko. Sayangnya karakter itu seolah tenggelam bersamaan dengan tenggelamnya Nugi yang menyebabkan kematian. Sejak itu, Badai seperti menutup dirinya dan berusaha membayarnya dengan pengabdian pada masyarakat pesisir. Usaha-usaha penyelamatan dan penyelidikan Badai dan kawan-kawan juga merupakan bentuk tanggung jawab atas tragedi yang menimpa Nugi. Joko juga berperan menjatuhkan kepercayaan diri Badai setiap kali Badai berusaha bertindak. Hal ini terlihat saat Badai menggendong salah satu pasien balita di klinik pesisir, Joko refleks mengatakan, “Hati-hati pegang anak orang, nanti celaka.” Ucapan itu merupakan sindiran terhadap masa lalu Badai. Puncaknya saat kematian Dika. Badai seperti mengalami deja vu kembali kehilangan orang terdekatnya.

Dua unsur yang sangat ingin ditampilkan sang sutradara nampaknya adalah sisi melankolis seorang Badai sekaligus peran heroiknya sebagai tentara. Akibat minimnya, sinkronisasi adegan-adegan baku hantam, unsur melankolis nampaknya lebih dominan dibandingkan sisi heroiknya. Sesaat kita disuguhkan adegan baku hantam, mendadak adegan berpindah ke adegan lain sebelum menemukan titik puncak di adegan baku hantam tersebut. Hal ini tentu akan mempengaruhi adrenalin penonton. Di tengah-tengah adegan aksi yang tegang adegan, film mendadak pindah ke adegan romantis antara Badai dan Anisa. Ketegangan yang dibangun lewat percakapan dan scoring jadi kedodoran sendiri akibat rangkaian adegan yang terkesan tidak bersambungan. Tersisa celah bagi penonton dan akhirnya justru menjadikan turunnya adrenalin yang sebenarnya sudah terbangun secara perlahan, dan membutuhkan titik puncak untuk bisa melepaskan energi awal tersebut. Sayangnya juga, celah itu akhirnya justru membuat adegan-adegan dalam film tersebut seperti terpecah-pecah dan tidak utuh.

Jalannya film Badai Di Ujung Negeri sebenarnya terasa mulus di awal lewat percakapan Badai dan Nugi, namun perlahan seperti melepaskan diri satu persatu. Entah hal ini akibat editing yang membuat adegannya berjalan sendiri-sendiri, entah pembuat film yang kurang telaten menyatukan adegan laga dengan drama. Hal tersebut membuat penonton sulit merasakan klimaks saat dari sejumlah adegan kunci dalam film. Sebut saja adegan baku tembak, adegan drama cinta Badai dengan Anisa, dan adegan ketegangan persahabatan Badai dengan Joko, yang sama-sama berusaha memperjelas masalah yang selama ini mereka hadapi.

Badai sebagai tokoh utama layaknya bisa lebih mengekspresikan emosi dan juga karakter secara mendalam, sayangnya Arifin Putra tampaknya belum total menampilkan karakter tersebut. Kekuatan tokoh Badai sebagai pemeran utama seolah tertutup oleh pemeran pembantu dari segi totalitas emosi karakter yang ditampilkan. Dari awal, Badai muncul sebagai tokoh utama yang begitu menunjukkan sikapnya sebagai pahlawan sejati, baik bagi penduduk lokal maupun Anisa. Kisah masa lalunya bersama Nugi dan Joko terkadang muncul sebagai bagian dari sisi melankolisnya dan menunjukkan emosi yang tertahan selama ini. Sikap dramatis Badai tidak langsung terlihat saat amarahnya muncul. Ia menahannya sejenak, sebelum akhirnya melepaskan segalanya. Hal ini bisa kita lihat saat Badai menemukan Dika tewas tertembak. Ia menunjukkan kesedihan yang mendalam berbaur dengan amarah yang luar biasa. Namun yang tampak jelas justru Badai seperti kehilangan arah dan putus asa. Barulah setelah meluapkan kekesalannya pada penembak yang tertangkap, emosi Badai baru memuncak dan diluapkan dengan sangat berapi-api.

Berbeda dengan Badai, Joko yang diperankan Yama Carlos menunjukkan konsistensinya lewat karakter yang kaku, dingin, sekaligus menyimpan dendam pada Badai. Sikap itu ia tunjukkan pasca kematian Nugi sampai akhirnya ia kembali bertemu Badai. Bukan hanya kekakuan sikapnya tetapi juga pemilihan kata-kata untuk menyerang Badai: tidak perlu panjang lebar namun langsung menohok. Penonton seolah diajak oleh Joko untuk ikut membenci Badai dan sulit untuk memaafkan kesalahannya. Lain lagi dengan Anisa. Peran Astrid Tiar ini mengalir begitu natural dan begitu menyatu sebagai penduduk lokal, yang terkadang begitu membenci para aparat yang bertugas tetapi juga tidak jarang membutuhkan bantuan mereka. Sikap Anisa yang sesekali keras perlahan-lahan melunak di depan Badai. Karakter Anisa justru sebenarnya bisa menjadi benang yang mengaitkan keseluruhan film, lewat ketegangan yang ia lalui sekaligus drama-drama yang menjadi pemanis film ini.

Satu tokoh yang sangat mencuri perhatian adalah karakter yang diperankan Jojon. Perannya yang selama ini dikenal sebagai komedian seolah luruh dalam topeng Pak Piter, yang keji dan merupakan tokoh di balik skandal perdagangan senjata dan manusia di Pulau Sumatera tersebut. Lewat permainan ekspresi dan juga watak Pak Piter, Jojon menampilkan konsistensi tokoh antagonis yang diingat sepanjang film.

Terlepas dari segala klimaks yang sulit ditemukan antar adegan sepanjang film, satu bagian yang tidak boleh luput dari perhatian adalah aransemen musiknya. Sejak awal film, scoring yang ditampilkan menunjukkan identitasnya sebagai musik etnik dan memperjelas latar yang dipakai Badai Di Ujung Negeri. Musik tersebut yang akhirnya memegang peran penting sebagai perekat jalannya film, baik saat momen-momen dramatisnya maupun saat ketegangan aksi peperangan. Suasana yang dibangun dengan musik mulai dari suasana tenang percakapan Badai & Nugi di awal, romantisme Badai dan Anisa, sampai ketegangan perang tentara dengan komplotan penjahat diceritakan lewat musik yang mengalir. Musik layaknya menjadi pelengkap adegan-adegan dalam film tetapi dalam Badai Di Ujung Negeri justru berperan menyatukan adegan yang berjalan masing-masing. Lewat emosi yang dihadirkan musik, emosi dalam adegan muncul dan bisa tersampaikan serta akhirnya dirasakan penonton.

Makin maraknya film Indonesia ber-genre action menjadikan pemicu beragamnya genre serupa yang muncul dan siap dinikmati penonton film Indonesia. Bukan sekadar mencoba menampilkan adegan penuh tembakan, ledakan atau baku hantam saja tetapi sepatutnya juga keunikan dari adegan action itu sendiri. Tanpa harus berkilah dengan alasan minim teknologi dibandingkan film asing, film action lokal harusnya bisa lebih berani menampilkan adegan-adegan yang berani, serta tidak memberikan ruang bagi para penonton untuk bernafas meski hanya sejenak. Adegan yang penuh aksi ekstrim, dan koreografi baku hantam yang tidak ragu-ragu tentu membutuhkan keberanian untuk ditampilkan ke hadapan penonton. Koreografi atau strategi bela diri bisa jadi kekuatan dalam film aksi, sekaligus menunjukkan esensi lokal sebagai identitas action lokal. Ketegangan bisa dipicu dari runutan adegan laga tanpa henti dan makin memuncak tiap menitnya. Nantinya, ketegangan itu akan menjadikan sebuah aksi klimaks dalam film, tanpa mementingkan siapa sebenarnya pahlawan atau lawan yang nantinya memenangkan pertarungan.
.
Badai Di Ujung Negeri | 2011 | Sutradara: Agung Sentausa | Negara: Indonesia | Pemain: Arifin Putra, Astrid Tiar, Yama Carlos, Deddy Murphy Avivu, Edo Borne, Priady Muzy, Adrian Alim H, Jojon, Ida Leman

also published on cinemapoetica.com

The Hangover Part II : Menyusuri Kota Bangkok Sembari Menyusun Puzzle Ingatan

Berbagai film menyajikan gambaran indah tentang suatu lokasi yang konon bisa menaikkan popularitas pariwisata negara tersebut. Masih hangat di kepala bagaimana film adaptasi novel Elizabeth Gilbert, Eat Pray Love sukses meningkatkan turis asing yang berkunjung ke Bali. Ada juga The Beach yang mengenalkan Phi Phi Island pada publik Hollywood dan meningkatkan pamor wisata bahari Thailand tersebut. Eskotisme Asia inilah yang tidak ingin dilewatkan oleh empat sekawan yang kembali menjelajahi hiruk pikuk malam hari dan berakhir menyusun kembali puzzle perjalanan mencengangkan di The Hangover Part II. Masih ingat pesta bujang di Las Vegas yang membuat Phil (Bradley Cooper), Stu (Ed Helms), Alan (Zach Galifianakis) terpaksa berurusan dengan kriminal internasional Mr.Chow dan menantang maut demi menemukan sahabat mereka Doug (Justin Bartha) yang hilang menjelang hari pernikahannya? Kali ini, Bangkok menjadi playground permainan petak umpet untuk menemukan kembali ingatan yang hilang akibat hangover empat sekawan ini.

Stu akan menikahi Lauren di sebuah pulau di Thailand, tentunya Phil, Alan dan Doug ikut serta di hari bahagia itu. Dua hari sebelum pernikahan, mereka menikmati sebotol bir di tepi pantai dan bangun di sebuah kamar hotel kumuh dengan beragam kejutan yang tidak bisa mereka ingat satupun. Dibuka dengan kalimat “It happen again” kilas balik perjalanan Las Vegas sepertinya siap dimulai dengan kejutan lain yang lebih berbahaya dan menegangkan. Kali ini, mereka harus menemukan Teddy, adik Lauren yang menghilang tanpa jejak. Tentunya masa depan dan cinta Stu akan jadi taruhan kalau ia gagal menemukan Teddy.



Menyusuri perjalanan kota Bangkok, kita akan disuguhkan pemandangan yang cukup familiar dan mengingatkan pada kota Jakarta. Ya, Bangkok dan Jakarta keduanya berpopulasi padat, polusi tinggi dan kumuh di beberapa area. Di bagian kedua ini, Hangover Part II menyuguhkan sisi lain dari sebuah kota yang makin mempersulit pencarian ingatan dan puzzle untuk dirangkai. Tidak seperti Vegas yang penuh dengan gemerlap kasino, Phil dkk harus menghadapi keruwetan Bangkok beserta isinya dengan culture gap yang makin membuat mereka kewalahan. Pertemuan kembali mereka dengan Mr.Chow juga diwarnai dengan beberapa tokoh lain, mulai dari pemilik klub malam, tattoo artist, rahib, sampai pengedar narkoba yang justru membuat keadaan makin rumit dan berbahaya. Kejadian-kejadian yang tak terduga dan mencengankan bagi mereka ditanggapi dengan santai oleh penduduk lokal. Di mata orang banyak Bangkok mempunyai kekuatan tersendiri untuk menangkap dan mengelabui tiap individu untuk masuk ke perangkap kota Bangkok. Meskipun lebih banyak mengambil lokasi yang kurang apik di kota Bangkok, mata kita akan tetap dimanjakan lewat gambar cantik seperti vihara-vihara yang dipenuhi taman bunga warna-warni dan eksotisme Thailand yang utama, pantai serta laut yang nyaris tak tertandingi.

Setelah menonton The Hangover yang juga memenangkan Golden Globe Awards tahun 2010 lalu, tentu penonton berharap suguhan yang bisa mengocok perut mereka di seri kedua ini. Beberapa formula nampaknya dengan mudah diidentifikasi dari 10 menit pertama film berjalan. Salah satu tokoh menikah, berkumpul menikmati malam sampai larut, dan akhirnya terbangun tanpa mengingat apapun yang mereka lakukan sebelumnya. Unsur komedi dan petualangan justru dibangun lewat minimnya ingatan dan petunjuk-petunjuk yang tersisa. Kali ini Mr.Chow dan seekor monyet cerdik menjadi kunci utama dari perjalanan Phil dkk menyusuri Bangkok yang kusut.

Bagaimana akhirnya misi penyelamatan Teddy dan rencana pernikahan Stu bisa berhasil? Apakah empat sekawan itu kapok dengan kegilaan mereka yang mengorbankan nyawa, cinta, dan harga dirinya? Nikmati perjalanan mereka sekaligus sedikit kejutan di ujung cerita lewat tokoh yang sudah lama tak terdengar gaungnya.

The Hangover Part II | Sutradara: Todd Phillips | Pemain: Bradley Cooper, Ed Helms, Zach Galifianakis, Justin Bartha| 2011 |