Tuesday, September 25, 2012

Modus Anomali : Anomali Teror dan Ketegangan Artifisial

Film terbaru Joko Anwar tidak mengandalkan munculnya sosok mistis yang menjadi pemicu ketakutan. Sebuah thriller psikologis memasuki labirin petualangan tokoh yang dibangun lewat imajinasi. Berawal seperti puzzle tapi mendadak diarahkan ke jawaban versi sang sutradara yang seolah jadi mutlak. Kenikmatan menyaksikan film bergenre horor atau thriller nampaknya belum bisa ditinggalkan begitu saja oleh khalayak di Indonesia. Tiap detik ketegangan menjadi katarsis tersendiri bagi penonton yang duduk layaknya korban dalam horor tersebut atau hanya bersantai menikmati tontonan tersebut tanpa ikut merasakan penderitaan sang korban. Ketegangan dalam film horor atau thriller yang ditampilkan itulah yang kadang menjadi tujuan utama ketika penonton keluar dari gedung bioskop. Saat penonton lega bisa bertahan sepanjang film, meskipun harus menutup mata atau telinga sesekali, di situlah kepuasan sekaligus kemenangan penonton terhadap film yang sukses menakutinya dan tetap terngiang-ngiang setelah itu. Meskipun banyak cela dalam film horor lokal yang sarat dengan hantu jadi-jadian plus bumbu adegan esek-esek yang menjadi pemanis, tak dipungkiri genre tersebut masih jadi juara di antara genre film lainnya.

 Sampai April 2012 ini, data penonton bioskop dari situs filmindonesia.or.id menunjukkan dalam peringkat lima besarnya diduduki oleh dua judul film horor; Rumah Bekas Kuburan dan Pulau Hantu 3 yang menembus angka 200.000 penonton. Tentu masih panjang perhitungan selama tahun 2012 ini, namun April ini hadir pula film yang kabarnya menjanjikan ketegangan tanpa perlu menampilkan hantu gentayangan. Modus Anomali bisa jadi film yang banyak ditunggu setelah gaungnya sukses di SXSW Festival, Texas Februari lalu. Trailernya sendiri sudah ditayangkan sejak Desember tahun lalu dan berhasil memberikan buzz tambahan lewat media sosial dunia maya sebelum filmnya rilis. Apa sebenarnya yang dijanjikan Joko Anwar dan Sheila Timothy, duet sutradara-produser yang juga berkolaborasi di film Pintu Terlarang ini?

 Adalah John Evans (Rio Dewanto) yang terpaksa mengais-ngais ingatannya ketika terdampar sendiri di hutan yang dirasa asing dan melihat sang istri dibantai lewat video. John mengumpulkan satu persatu potongan pertanyaan dan jawaban di kepalanya lewat alarm yang berbunyi di sekitar hutan, orang-orang yang bergantian muncul seolah ingin memburunya, sampai peti yang diisi pesan misterius. John ternyata tidak sendiri di hutan itu. Beberapa kali muncul orang dengan senjata berbeda yang berusaha membunuh John. Tidak mau jadi korban, John dengan rapi menyusun jebakan agar ia selamat sekaligus mencari jejak anak-anaknya yang hilang sejak istrinya terbunuh. Situasi perlahan terbaca dan muncul pencerahan saat satu keluarga lain datang. Masalah dalam hutan antah berantah itu mendadak menjadi jelas, siapa lawan sebenarnya. Layaknya Janji Joko sejak trailernya ditayangkan, ketegangan menjadi jualan utama dari film ini. Kemunculan John di adegan awal sudah menjadi satu peringatan bagi penonton untuk selalu bersiap-siap dengan atmosfer yang disusun.

Pertama-tama penonton disuguhi pemandangan hutan lengkap dengan serangga dan gerak-gerik binatang penghuninya secara close-up dengan kamera yang bergerak perlahan-lahan. Mendadak muncullah sesosok laki-laki yang bangkit dari kubur. Di situlah permainan dimulai, ketegangan penuh teror yang dijanjikan sampai akhir film. Apakah cukup bagi sebuah film menawarkan thriller dengan modal tegang dan meneror sepanjang 87 menit? Permainan Joko tidak sampai di situ saja. Ia senang mengajak penontonnya bermain bersama. Sejak pertemuan pertama dengan John, penonton diajak untuk bersimpati pada penderitaan John dan seolah-olah membantu pencarian dalam hutan tersebut. Tokoh lain yang dimunculkan seolah ikut menjadi kode dan perekat teka-teki yang menjadi pertanyaan.

Di awal film ditampilkan istri John yang dibunuh dan terekam kamera. Dari video tersebut, diketahuilah kalau masih ada anak-anak yang entah di mana keberadaannya. Anak-anak John kemudian diberikan porsi lebih untuk menguak misteri pembunuhan yang terjadi. Mereka bergerak dengan berani perlahan-lahan mencari di mana sang ayah berada sekaligus berusaha cari cara untuk keluar dari hutan itu. Petunjuk lain yang tersisa, foto sang istri dan dua anaknya tersebut. Lewat foto yang dilihat John sebagai petunjuk, hanya ada sang istri dan anaknya tanpa ada John dalam satu gambar yang sama. Dua anak ini sebenarnya bisa menjadi kunci perjalanan John berikutnya. Mengapa mereka justru mendadak jadi korban dari John? Apakah sebenarnya memang ada relasi dengan John? Posisi John dan penonton sebenarnya duduk sama tinggi, keduanya minim informasi. Penonton juga tidak diberi kesempatan memiliki posisi lebih tahu dibanding John. Jadilah posisi ini yang membuat penonton gregetan untuk ‘keluar’ dari misteri ini. Sampai di sini, rasa penasaran masih berhasil meneror untuk tetap duduk tenang sampai akhir perjalanan.


Bermain Tebak Susun Puzzle

 Susunan puzzle dalam Modus Anomali memang nikmat dicari tahu perlahan satu persatu. Setidaknya penonton diberikan ruang untuk mengutak-atik sendiri persepsi yang hadir timbul tenggelam di tengah ketegangan film. Sayangnya teka-teki ini akhirnya menjadi sedikit bumerang bagi ketegangan yang sudah dibangun sejak awal. Perlahan-lahan tensinya merosot dan menyisakan penonton yang sibuk berpikir apa yang sebenarnya tengah terjadi dibandingkan menikmati suasana mencekam. Visualisasi yang dibangun dalam layar sebenarnya sudah mendukung, mulai dari latar waktu malam hari di mana John memulai pencariannya, kemudian sosok-sosok misterius yang ditemui tanpa ada kejelasan siapa dan apa motif mereka mengejar John, sampai efek suara dan scoring yang terdengar sangat detail membangun emosi penonton terhadap ketakutan John.

 Empat sampai lima puluh menit pertama, seluruh elemen tersebut sukses menjadikan misteri tersebut nyaris tak terpecahkan dan bergidik lewat adegan per adegannya. Sepanjang durasi yang tersisa ternyata justru meluruhkan intensitas ketegangan yang ternyata berbanding terbalik dengan kejelasan misteri yang terkuak. Makin jelas masalahnya, makin kendorlah suasana tegang itu. Perlahan-lahan informasi yang tersedia makin terbuka lebar, jika awalnya penonton dipersilakan menyusun puzzle versi mereka dengan segala keterbatasan, mendadak diarahkan ke dalam jawaban versi sang sutradara yang seolah jadi mutlak. Teka-teki pembunuhan ini juga terasa begitu lambat alurnya, seolah John menyusuri hutan tersebut untuk mengukur luasnya. Adegan demi adegan terasa punya jeda yang panjang. Hal itu terjadi bisa jadi karena aktor utama memang hanya John seorang, ia dituntut untuk lebih membangun emosi dengan sekelilingnya. Tuntutan itu nampaknya tidak bisa dipenuhi oleh akting Rio Dewanto. Ia lebih banyak berkonsentrasi untuk membiarkan penonton ikut larut dalam permainan psikologis yang dicipta sang kreator. Di tengah perjalanan cerita, masuklah ke dalam babak lain dari penyelesaian puzzle tersebut. John kemudian bertemu dengan keluarga lain yang juga berlibur di kabin pribadinya.

Sepasang suami istri dengan dua anak. Formulanya terasa begitu familiar dengan situasi John. Di sinilah misteri mulai terungkap dengan sangat jelas dan lugas. Mengapa demikian? Ternyata, pertemuan John dengan keluarga tetangga yang baru datang menjadi kunci dari semua pertanyaan yang sudah berjalan di empat puluh menit sebelumnya. Jadilah penonton seolah dibawa kembali dalam prekuel perjalanan John yang mungkin sudah dilakukan lebih dari puluhan atau ratusan kali. Terlihat sosok John begitu berbeda dari yang ditampilkan sebelumnya, ia lebih percaya diri, berani dan segala ketakutan yang sebelumnya ada langsung hilang. Muncul pertanyaan baru, darimana munculnya keberanian John setelah semalaman nyaris mati di hutan belantara? Atau, apakah ini sosok lain dari John yang tidak ‘diperkenalkan’ sepanjang film? Penonton mulai diajak menyimpulkan, apakah perubahan karakter John inilah yang memicu semua kejadian aneh di hutan tersebut. Sebagai tokoh sentral, keberadaan John serta gerak-geriknya inilah yang menjadi pamungkas. Di awal terlihat bagaimana John ketakutan setiap kali ia mendengar langkah kaki mendekat. Setelah itu John justru ditampilkan begitu memahami medan tanpa cela.

Di sinilah penonton bisa mulai awas, kejanggalan atau anomali ini berasal dari sosok yang sepanjang film sudah diawasi. Perubahan karakter ini nampaknya terlalu drastis untuk tidak dipahami sebagai twist yang ditunggu. Gelagat John yang rapi menunjukkan keakrabannya dengan hutan, mobil, dan kabin di tempat tersebut terasa tidak natural setelah drama pembunuhan yang nyaris menghabiskan nyawanya. Apakah ini menjadi twist atau sekadar tebakan yang dengan mudah dibenarkan lewat dua-tiga adegan saja?

Ketegangan Artifisial 

Tidak dipungkiri, dibanding film-film yang menjual nuansa horor atau thriller lainnya yang juga beredar tahun ini, Modus Anomali menyuguhkan formula berbeda yang dengan berani diracik sedemikian rupa. Bahkan rasa-rasanya tidak adil membandingkannya dengan dua film horor yang menduduki lima besar box office Indonesia tahun ini. Joko Anwar tidak mengandalkan munculnya sosok mistis yang menjadi pemicu ketakutan tetapi labirin petualangan tokoh itulah yang dibangun lewat imajinasi. Keberanian inilah yang akhirnya membuatnya sukses menyuguhkan rasa baru dalam kelompok genre horor dan teman-temannya.

Secara teknik, kamera dan efek suara berperan sebagai elemen penting yang membangun sebuah film thriller. Pergerakan kamera ala handheld yang mengikuti aktor utama memberikan efek ketegangan sendiri dan ikut membawa penonton larut dalam petualangan dalam hutan tersebut. Visualisasi inilah yang mencuri perhatian penonton ke dalam layar dan sejenak lupa sang aktor yang susah payah melafalkan dialog Inggris penuh umpatan itu. Melihat ide Joko yang dianggap ‘sakit’ dan menawarkan rasa baru, tidak sedikit dari penonton yang akan menganggap karya ini menghibur. Hiburan dengan bumbu ketegangan mungkin memang asyik dinikmati layaknya didongengi sebuah kisah dengan awal dan akhir yang pasti-pasti saja. Meskipun penonton berhasil memecahkan kode yang ada, justru akhirnya penonton dijauhkan dari inti judul yang terpampang besar-besar; Modus. Apakah sebenarnya motif dari segala permainan keji John tersebut? Jangan-jangan, memang tidak ada motif atau modus yang melatari semua kejadian dan perilaku menyimpang tersebut.

Nampaknya kini kita harus puas sampai pada narasi Modus Anomali yang hanya ingin bercerita bagaimana sikap manusia saat menemukan titik anomali alias penyimpangan dalam dirinya sendiri. Tidak perlu usaha lebih dalam menggali apa pemicu deviasi watak John dengan segala rencana dan permainanannya lebih lanjut. Beberapa dari penonton mungkin ada yang mencoba mengutak-atik alur demi menemukan kisah yang lebih luar biasa dari seorang John Evans. Ternyata tidak perlu terlalu serius mengutak-atik , karena pada akhirnya narasi dengan sangat lugas akan membawa kita ke akhir yang diinginkan sang sutradara, yang punya hak veto atas katya ini. Mungkin para tokoh dalam Modus Anomali memang diciptakan sebagai pion-pion permainan yang sudah jelas arahnya tanpa ada pengembangan dari dalam karakter itu sendiri. Modus Anomali pun akhirnya terasa seperti dongeng yang mencoba menunjukkan bagaimana ‘sang pangeran’ yang mencoba menaklukan masalahnya dan kemudian sukses menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Ketegangan dan teror yang dibangun sejak awal hanyalah ‘penyedap rasa’ yang diciptakan secara artifisial hanya untuk membuat penonton bertahan sampai film usai. Seperti yang umum terjadi, rasa yang artifisial akan mudah berlalu begitu saja, dan jejaknya tidak akan bertahan lama.***

 As published in FOVEA #0