Friday, June 10, 2011

To Make Yourself Feels Good is a 100% Commitment

Common sense, women can do multitasking that men cannot do. Siapa yang setuju dengan pendapat ini? Pasti semua perempuan bersorak sorai setuju termasuk saya. Dari skala terkecil, mulai dari menelpon atau dandan sambil nyetir atau mendengarkan orang lain curhat sambil BBM-an. Skala besarnya, mengurus ini-itu di waktu yang bersamaan. Yep, perempuan memang punya keahlian melakukan hal-hal yang kadang membuat pria Cuma bisa geleng-geleng kepala. Tidak terkecuali perempuan yang satu ini (dalam hal ini, saya) yang seringkali berada dalam situasi multitasking yang membuat saya hanya memberikan kontribusi kurang dari seratus persen dalam semua hal yang saya ikuti.

Kalau mau kilas balik, sejak zaman kuliah dulu saya sering ikut kepanitian acara kampus. Dalam setahun bisa dua sampai tiga kepanitiaan yang saya ikuti. Belum termasuk grup folklore Cantar Caravelas dan juga UKM radio RTC UI FM. Sampai saya lulus, semuanya berjalan beriringan, aman, tentram, sentosa. Lepas dari bangku kuliah, saya mulai mencari kesibukan di luar kantor. Bagi saya, merugilah orang-orang yang tidak bisa mendapatkan kebahagiaan di luar jam kantor. Somehow i believe, joy is coming outside from your routines. Untungnya saya menemukan grup tari tradisi yang mengisi kekosongan waktu luang dan mengobati rindu menari. Sampai awal tahun 2010 saya merasa ‘aman’ dan baru tersadar di akhir 2010 betapa ‘datar’nya hidup saya tanpa resolusi yang jelas. Padahal di luar sana, beberapa orang sudah mulai berkomentar bagaimana sibuknya saya dan geleng-geleng kepala ketika saya berniat menambah keinginan ikut ini-itu lainnya.

Di tahun 2011 rasa-rasanya tidak lagi ingin menyianyiakan dua belas bulan yang ada, apalagi tahun ini saya akan menginjak usia 24 tahun. Mulai mencoba fokus pada keinginan utama di dunia film dan lebih serius di bidang pekerjaan saya, broadcasting. Sampai pada suatu titik saya mencoba apa yang dilakukan Jim Carrey di film Yes,Man! Mengatakan ‘Ya’ pada tawaran apapun. Sejujurnya, kenapa saya melakukan ini karena ada sedikit kejenuhan dengan apa yang sedang saya lakukan saat itu. Ternyata, justru saya sendiri kena batunya.

Berawal pada tawaran menarik dari seorang guru tari tradisi saya untuk mengikuti misi budaya ke Prancis, mendadak saya kehilangan kehidupan sosial saya. Sayangnya, pengorbanan saya tidak diikuti dengan excitement yang bisa membayar pengorbanan itu. Bukannya saya tidak menikmati proses latihan menari itu. Tarian tradisional adalah salah satu passion saya, meskipun tidak sebesar film atau radio. Proses yang saya harapkan bisa membukakan mata saya dan memberikan insight tentang proses dari nol sampai bisa menarikan 7 tarian asal Kalimantan Barat di hadapan penonton asing sebagai bukti kecintaan saya pada budaya lokal. Terkesan klise dan muluk, tapi jujur itulah yang bisa saya banggakan dari sikap nasionalisme saya. Ternyata belum sampai proses itu berjalan lebih dari 50% saya mendadak merasa proses ini jalan di tempat dan saya merasa tidak nyaman luar biasa. Saya dihadapkan oleh pilihan keseriusan di kantor atas apa yang sudah kerjakan hampir dua tahun di perusahaan dan keseriusan di tempat menari. Jujur, otak saya terbelah dua karena tidak ingin usaha saya selama dua tahun di MRA terbuang sia-sia tetapi seperti janji saya di awal, komitmen pada misi budaya ini juga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Lalu apa yang saya rasakan?

Di kantor pikiran melayang ke tempat latihan, di tempat latihan pikiran kembali ke Sarinah lantai 8. Satu hal lagi yang membuat saya makin tertekan, lingkungan di tempat latihan tidak membuat saya terpacu untuk tetap pada komitmen saya. Padahal saat itu saya baru saja kembali ke Jakarta pasca melakukan solo trip ke Beijing dan momen itu merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri di dunia luar. Masih dalam euforia yang menyenangkan, justru di lingkungan tari itu saya merasa tidak dihargai dan diabaikan keberadaannya.

Mendadak saya merasakan ada yang keluar jalur dalam pengorbanan saya sebulan terakhir di anjungan Kalimantan Barat itu. Sebagian jiwa saya seperti tidak menginginkan berada di sana. Komitmen yang saya coba pegang terasa makin menekan karena dukungan orang terdekat tidak terasa karena waktu bersosialisasi makin berkurang. Bahkan satu hari, saya merasa deg-degan luar biasa dan tidak pernah bisa tenang ketika memasuki tempat latihan. Sedikit psikosomatis rasanya.

Akhirnya, tepat setelah menginjak usia duapuluh empat, saya memutuskan kembali ke jalan yang benar (menurut saya). Tidak mau lagi pikiran saya terpecah untuk hal yang saya belum tahu seberapa worth it-nya. Bagaimana orang lain menghargai usaha kita, tenaga, waktu yang sudah dikeluarkan. Dan yang terpenting, seberapa jauh mereka menghargai keberadaan kita di tengah-tengah mereka. If our absence makes them feel much better, maybe it’s time for you to walk away.

Kalau selama ini saya hanya menganggap fokus pada satu hal terletak pada komitmen, sekarang saya mencoba tidak mudah berkata ‘iya’ pada tawaran yang menggiurkan. Bisa mengatakan ‘tidak’ artinya juga siap menjaga konsentrasi dan energi pada tujuan utama tanpa harus merasa dikorbankan oleh diri sendiri atau orang lain.



Simply makes yourself feels super-good!

Apa yang saya rasakan seminggu pasca melepaskan komitmen yang satu itu?
Lega, tenang, lepas, dan yang terpenting i make myself feel better and not even France can take that away from me!