Tuesday, April 12, 2011

Tiga Dara : Masalah Jodoh Tak Lekang Dimakan Zaman



Bayangan tentang film Indonesia di awal kemunculannya tentu beragam. Klasik dan penuh nuansa yang konservatif. Karya Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Indonesia tentu tidak perlu diragukan lagi, salah satunya Tiga Dara yang kembali dihadirkan dalam segmen Body of Works: Usmar Ismail bersama enam film lainnya. Kisah tiga kakak beradik yang tinggal bersama ayah dan kakeknya menghadirkan permasalahan yang tidak habis dimakan zaman, jodoh! Nunung, kakak tertua baru saja genap berusia 29 tahun dan membuat nenek begitu ketar-ketir karena sampai nyaris menginjak usia kepala tiga, Nunung tidak menunjukkan tanda-tanda dekat dengan laki-laki. Padahal adiknya, Nana dan Nenny termasuk supel dan mudah bergaul dengan laki-laki. Sang ayah sebenarnya santai menanggapi kekhawatiran nenek tetapi dengan ancaman dan juga permintaan Nenek yang dibuat seperti permintaan terakhir sebelum ajal menjemput mau tak mau membuat Ayah berpikir dua kali. Usaha mencarikan Nunung jodoh pun berjalan, sayangnya perangai Nunung yang terkesan tidak ramah membuatnya sulit diterima di kalangan teman-teman Nana dan Nenny yang notabene laki-laki.

Suatu hari, Nunung tertabrak motor oleh seorang pria bernama Toto. Nunung yang kesal memaki-maki Toto dan menolak diantar pulang sebagai bentuk permintaan maaf. Tidak menyerah begitu saja, Toto mengikuti becak yang ditumpangi Nunung sampai rumah dan berusaha meminta maaf lewat sebuket bunga. Nunung masih saja tidak terima dan menolak kehadiran Toto dengan ketus. Nana justru melihat Toto sebagai pria yang gentlemen dan berusaha mendekati. Alih-alih makin akrab dengan Nunung, Toto justru kian dekat dengan Nana dan Nunung terlihat sedikit cemburu. Sayang, ego Nunung lebih tinggi dari rasa sukanya pada Toto. Toto yang masih berharap pada Nunung mengira akan bisa mendekati Nunung lewat Nana. Kedekatan Toto dan Nana ternyata berlanjut sampai pertunangan. Nenek begitu terkejut dan menolak pertunangan tersebut, ia bilang kalau sampai Nana menikah lebih dulu dari Nunung, Nunung akan menjadi perawan tua seumur hidupnya. Nana begitu marah pada Nunung, akhirnya Nunung memilih pergi ke Bandung di rumah kerabatnya dan berharap mendapat ketenangan di sana.

Sebagai film yang muncul di tahun 50-an lalu dipertontonkan kembali sekarang, ada ekspektasi atau stereotipe yang muncul akibat referensi film yang lebih modern. Cerita yang disuguhkan ketiga dara ini sebenarnya cukup klise dan ratusan film masih mengangkat masalah jodoh sampai era sekarang. Konflik perjodohan yang dirasakan Nunung membuatnya tertekan dan justru menghindar, ignorant. Berbeda karakter dengan kakaknya, Nana justru periang cenderung penggoda. Awalnya ia dekat dengan Herman lalu ketika Toto datang, dengan mudah Nana melepas Herman begitu saja. Nenny diposisikan sebagai karakter yang menetralisir situasi antara Nunung dan Nana. Gaya jenakanya membuat cerita bergulir natural dan tidak dipaksakan. Dialog yang penuh gaya bahasa lama membuat dialognya semakin terasa berbunga-bunga namun masih bisa dimaklumi. Dengan sedikit sentuhan nyanyian, film hitam putih ini sama sekali tidak terasa membosankan.

Potongan dialog Tiga Dara ini cerdas dan tidak mengesankan film lawas tidak lagi relevan dengan kehidupan masa kini. Celetukan-celetukan dari semua tokohnya justru memberikan bukti jelas kalau film klasik memang tidak habis di makan waktu. Hal ini terasa dari dialog Nenek dan Ayah berikut,

Nenek : "Saatnya Nunung menikah sekarang sudah 29 tahun dan tahun depan 30 tahun"
Ayah: "Ah, masih muda itu! Menikah cepat-cepat itu kuno,di zaman dulu!"

Bayangkan, film yang muncul lebih dari 50 tahun lalu menganggap menikah di akhir usia 20-an adalah kuno dan tidak ada masalah melajang sampai usia kepala tiga. Isu yang dianggap melekat di pikiran orang-orang zaman dulu ternyata tidak terbukti lewat film ini. Sebaliknya, di zaman serba canggih saat ini justru isu ini masih saja dipermasalahkan. Melihat gaya Nana dan Nenny yang begitu kontras dengan Nunung yang serba tradisional, film ini juga sepertinya ingin menampilkan bagaimana invasi Eropa masih kental terasa bahkan dalam satu keluarga yang tinggal seatap. Nana dan Nenny seperti lebih bebas dalam berekspresi dan tidak tertutup pada hal-hal baru yang ditemuinya. Nunung seperti merepresentasikan perempuan tradisional dengan segala atributnya, fisik dan juga pikirannya. Ia begitu dalam berpakaian, tidak pernah mengubah penampilan sehari-harinya dari kebaya antiknya, begitu juga ketika berinteraksi dengan lawan jenis. Nunung cenderung menutup diri, ia memilih berada di dapur memasak, menghibur tamu dengan bermain di balik piano, merawat kedua adik, ayah dan neneknya. Ia lebih baik bersembunyi di balik atribut keibuannya tanpa harus mengeluarkan sisi menariknya seorang perempuan di hadapan laki-laki. Nana yang ceriwis dan centil tidak peduli betapa buruknya ia di dapur atau Nenny yang lebih senang bergurau dengan laki-laki di sekelilingnya, termasuk sang ayah namun interaksi mereka pun menghasilkan kebahagiaan dan begitu lepas menghadapi masalah hidupnya. Masalah ini ternyata tidak basi ketika kita menontonnya kembali di layar perak yang sudah kusam gambarnya karena masalahnya masih akrab dengan kita penonton di masa mendatang.

Lima puluh lima tahun kemudian, pilihan bagi dara lainnya yang berkaca pada tiga dara ini mau menjadi siapa, terperangkap dalam norma dan stereotipe perempuan yang juga sulit lepas dari zona nyamannya atau berani lepas dari segala keterpaksaannya dan siap menerima risikonya?