Wednesday, September 08, 2010

Dengan Menyebut Nama Allah



Musim film Indonesia kembali dimulai di H-2 Lebaran tahun 2010 ini. Dibuka dengan film yang cukup dinanti,salah satunya Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo. Film epik yang merupakan biografi tokoh pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Diramaikan oleh banyak aktor papan atas, seperti Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Zaskia Adya Mecca, Ikranegara, sampai Sudjiwo Tedjo. Perjuangan Dahlan sebagai santri di Kauman, Yogyakarta ketika merasakan beberapa keganjila agama yang dianutnya sejak kecil pasca melaksanakan rukun Islam kelima, melakukan ibadah haji ke tanah suci. Dahlan berusaha mendalami dan memisahkan ajaran Islam yang diyakini dengan tradisi kejawen yang sudah mendarah daging di masyarakat Jawa.

Kisah sejarah dan juga bagaimana perjuangan menegakkan ajaran Islam yang tidak sekadar di permukaan menghadirkan kasus-kasus yang banyak ditemui dalam masyarakat Indonesia saat ini. Perdebatan tentang arah kiblat atau pemahaman ajaran Islam yang tidak melulu dimaknai secara harfiah dijabarkan dalam adegan-adegan yang seperti mencoba menyentil umat muslim yang hidup di zaman liberal ini. Ketika Islam berkembang di era penjajah, sering kali jika dikaitkan dengan pemerintah Belanda, semuanya jadi dibuat haram bahkan dilabelkan kafir. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, tahun 1800-an yang masih minim, jika bersentuhan dengan Belanda atau pengetahuan baru berbau kebarat-baratan langsung identik dengan kafir.

Adegan ini mengingatkan kita pada kasus fatwa haram yang beberapa kali dilontarkan MUI, mulai dari jejaring sosial atau hak pilih dalam politik. Kasus lain, Penyerangan kelompok Kyai Penghulu terhadap langgar Kidoel milik Dahlan juga menunjukkan simbol tidak adanya kebebasan beragama, bahkan dalam sesama Islam. Kyai penghulu yang merasa 'tradisi' ajaran Islamnya dipatahkan oleh Dahlan yang berusaha menyederhanakan ajaran Islam dianggap murtad dan melangkahi kewenangan Kyai Penghulu sebagai kyai terhormat di Yogyakarta. Kembali diingatkan kita pada kejadian anarki beberapa ormas di Jakarta yang kerap menganggap kelompoknya benar dan merasa 'baik-baik saja' menyerang kelompok atau bahkan agama lain yang dianggap sepaham. Pemblokiran jalan atau pemukulan pun dibenarkan atas dasar nama Tuhan.

Ternyata sejarah pernah terjadi di masa lalu dan sesungguhnya kita diingatkan lewat karya Bramantyo ini, kekerasan tidak akan menyelesaikan segalanya. Di awal film muncul pertanyaan murid Dahlan, "Apa itu agama?" Dahlan tidak menjawab, justru ia memainkan biolanya dan bertanya balik pada santrinya, "Apa yang ia rasakan?", si santri menjawab, "Damai, Tenang, Seperti bermimpi". Dahlan menjawab, Itulah agama. Ketika tidak memiliki pemahaman tentangnya, makan jadinya berantakan.
Itulah seharusnya agama Islam, damai, tenang dan tidak berantakan. Ketika hal itu belum terjadi, jangan atas namakan agama sebagai tonggak untuk pembenaran atas segala tindakan anarki yang menentang humanisme. Tidak perlulah nama Tuhanmu dijadikan alasan atas sikap yang masih berantakan memahami agama yang kita anut, agama Islam. Semoga ini mencerahkan!