Wednesday, March 20, 2013

Floating The Joy and Blessing on Loy Krathon Festival in Chiang Mai, Thailand



Wilayah Thailand utara mungkin tidak terlalu dilirik dibandingkan selatan Thailand yang sudah populer dengan pantai cantiknya seperti Phuket atau Phi Phi.  Salah satu kota apik yang layak disinggahi dan mungkin jadi destinasi liburan tahun ini adalah tuan rumah SEA GAMES ke 18 tahun 1995 silam yang berada di utara Thailand, Chiang Mai. Siapapun yang pernah ke Thailand mungkin familiar dengan hiruk pikuk kota Bangkok yang dirasa hidup semalam suntuk. Chiang Mai terasa begitu berbeda namun tetap menawarkan pesona sendiri bagi para pencari suasana yang hangat dan akrab.
Old Town District, Chiang Mai

Kota yang terkenal dengan turnamen thai boxing ini ternyata menyuguhkan  perayaan tahunan yang sayang dilewatkan bagi Anda pecinta kultur Asia. Selain Song Kran, Thailand makin populer dengan perayaan festival Loy Krathong yang diadakan tiap bulan ke dua belas penanggalan Lunar yang biasanya jatuh pada bulan November. Loy Krathong sendiri dirayakan hampir di semua penjuru Thailand dan juga negara tetangga seperti Laos dan Kamboja. Jauh hari sebelum festival ini, saya sudah mulai menghitung kapan perayaan Loy Krathong ini akan diadakan. Layaknya kalender Lunar, belum ada tanggal pasti tiap tahunnya sampai beberapa bulan sebelumnya.
Akhirnya tahun 2012 lalu Loy Krathong diputuskan jatuh pada tanggal 28 dan 29 November. Banyak perayaan yang diadakan selama dua hari tersebut. Perayaan inti dimulai sejak tanggal 28 sore ketika jalanan sepanjang kota tua Chiang Mai ditutup untuk kendaraan bermotor. Selama dua hari tersebut, pawai sepanjang kota di Chiang Mai diramaikan oleh beberapa kelompok budaya yang menampilkan iring-iringan dari etnis-etnis Thailand Utara. Sebut saja perempuan dengan pakaian dan dandanan seperti dewi-dewi dari khayangan lengkap dengan singgasana yang berwarna keemasan. Ada juga gambaran penduduk lokal yang masih berpakaian minimalis dan terkesan dekat dengan alam. Langsung saja saya teringat potongan-potongan film Uncle Boonme dari sutradara Thailand,Apichatpong Weerasethakul yang menampilkan sisi lain Thailand yang jauh dari gemerlap kota.

Usai menikmati iring-iringan pawai budaya, saatnya melakukan prosesi Loy Krathong sebenarnya. Ada dua prosesi yang dilakukan, pertama mengapungkan semacam sajen yang terbuat dari daun pisang, hiasan bunga dan lilin. Kadang-kadang ada juga kreasi sajen yang dibuat dari roti atau bahan makanan lainnya. Nantinya, sajen ini akan diapungkan di sungai-sungai yang mengalir sepanjang Thailand. Prosesi ini diyakini untuk menghormati dewa-dewa air yang ada di sungai atau danau. Kedua, menerbangkan lampion ke udara. Prosesi ini hanya dilakukan di Chiang Mai, selain kota ini minim sungai tidak seperti Bangkok yang terkenal dengan Chao Prayanya, penduduk sekitar masih memegang tradisi Lanna. Lanna merupakan bekas kerajaan di Utara Thailand yang memegang tradisi perayaan Yi-Peeng. Yi-Peeng merupakan prosesi menerbangkan lampion ini alias lantern festival ini akhirnya menjadi daya tarik tambahan turis asing maupun lokal untuk merayakan Loy Krathong di Chiang Mai.
Sesajen yang Siap Berlayar di Sungai

Saya pun ikut bergerak ke sungai Ping di sisi jembatan Nawarat Saphan yang bersisian dengan gerbang Tha Pae yang sudah dipadati pengunjung lokal dan asing. Sajen yang saya bawa merupakan hasil buatan sendiri bersama beberapa turis asing lainnya. Kalau tidak mau repot, banyak juga yang menjual sajen sesuai kreasi masing-masing. Tidak mahal, berkisar mulai 100-300THB. Dibantu oleh warga lokal yang sudah siap di dalam sungai, saya menyalakan lilin dan mengapungkan sajen tersebut bersama ratusan sajen lainnya.

Selesai mengapungkan sajen, saya pun beranjak menuju salah satu kuil besar yang juga mengadakan prosesi menerbangkan lampion. Di Wat Phantao, kuil yang masih berada di dalam area kota tua ini, diadakan ritual doa bersama di hari pertama Loy Krathong dan juga prosesi menerbangkan lampion. Ritual di Wat Phantao ini sebenarnya merupakan versi kecil dari rangkaian festival yang diadakan seminggu sebelumnya.
Puluhan Lampion yang Menerangi Kota

Kira-kira lima hari sebelum Loy Krathong dimulai, Yi-Peeng Festival dirayakan dengan ritual Buddha.  Festival lampion ini tidak banyak berbeda dengan Loy Krathong sendiri, tetapi di Yi-Peng Anda bisa menemukan lebih banyak lampion yang diterbangkan secara serentak. Berlokasi sekitar 13 Km dari pusat kota, sebuah kampus kedokteran Mae Jo University, ratusan warga lokal dan turis asing berkumpul di lapangan luas untuk melakukan prosesi ini. Pertama-tama, acara ini dibuka dengan pembacaan doa dan matra oleh biksu-biksu di sebuah podium kecil. Meskipun bukan pemeluk Buddha yang mungkin tidak paham dengan mantra yang dibacakan, Anda bisa duduk manis dan siap dengan lampion yang akan diterbangkan. Setelah pembacaan doa selesai, Anda diajak serentak untuk berdiri dan memegang lampion masing-masing. Biasanya, lampion sudah ditulisi dengan harapan-harapan yang ingin dicapai. Setelah diterbangkan, esensinya adalah semoga impian dan harapan itu terbang makin tinggi sampai akhirnya tercapai. Lebih dari ribuan lampion diterbangkan malam itu. Langit Chiang Mai yang cerah makin terasa hangat dan bersinar dengan adanya lampion-lampion di udara yang menggantikan bintang.
Light The Candle And Make Wishes!

Tentunya perayaan Loy Krathong ini membuat suasana kota Chiang Mai lebih meriah dari biasanya. Dengan penduduk kurang dari 150.000 jiwa, Chiang Mai tidak begitu padat dan terasa jauh dari kesan touristic. Daya tarik Chiang Mai sendiri adalah wisata alam lengkap dengan trekking bersama binatang khas Thailand, gajah. Selain itu Chiang Mai dikelilingi oleh puluhan kuil yang mengepung isi kota, tidak terkecuali kuil di atas pegunungan Doi Suthep. 

Let's Fly!
Usai menikmati dua hari festival sampai tengah malam, saatnya saya menjelajah sisi lain di luar distrik Mueang Chiang Mai sebagai pusat kota. Tujuan utama saya adalah Wat Phra Tat Doi Suthep yang berada di pegunungan Doi Suthep, 15KM dari kota. Ada beberapa moda transportasi yang bisa dipilih, Anda bisa menyewa motor, naik taksi atau ikut dalam angkutan umum Song Theaw, alias angkot. Saya pun memilih naik Song Theaw yang bentuknya seperti bemo zaman dulu. Angkot berwarna merah ini biasanya berisi 8-10 orang yang dikenai biaya 30-50THB perorangnya. Perjalanan sekitar satu jam ini pun dilalui lewat jalan pegunungan yang berliku. Sesampainya di sana, saya harus menaiki tangga sebanyak 309 anak tangga menuju puncak Doi Suthep. Kalau Anda terlalu malas berjalan, disediakan lift yang membawa Anda langsung ke puncak. Kuil ini merupakan representasi kuil Buddha dan Hindu. Terlihat dari patung Buddha yang mendominasi kuil tetapi juga terdapat patung Ganesha sebagai simbol Hindu.
Dari puncak Doi Suthep ini juga Anda bisa melihat kota Chiang Mai dari puncak tertinggi kota ini. Pilihan lain untuk berkunjung ke Doi Suthep adalah di saat matahari terbit pagi hari. Anda bisa melihat cantiknya penjuru Chiang Mai saat masih gelap dan beranjak terang. 

Usai melihat seisi kuil Doi Suthep, Anda bisa melihat perkampungan suku Lanna tidak jauh dari kuil. Hanya dengan menambah 80-120THB, Anda bisa diantar oleh Song Theaw sekaligus melihat para perempuan Lanna yang harus memakai kalung yang memenuhi leher mereka. Kalau Anda penyuka alam liar, trekking dengan gajah lengkap dengan pawangnya bisa jadi pilihan menyenangkan.
Doi Suthep

Selepas menjelajahi sisi pegunungan dan perkampungan Chiang Mai, kembali ke kota terasa kurang lengkap tanpa merasakan the famous Thai Massage. Berbagai gerai Thai massage tersedia di sepanjang kota tua Chiang Mai. Mulai dari spa, refleksi sampai aromatherapy. Dari mulai spa premium, pijat tradisional sampai refleksi di pinggir jalan yang minimalis. Lelah berjalan saya pun memilih pijat refleksi kaki dan menikmati Thai Greentea yang menyejukkan.
Perjalanan ke the new city ini akhirnya ditutup dengan menyicip jajanan pasar malam yang unik, mulai dari Banana Nutella Rote, berbagai gorengan seperti sosis dan bakso sampai penjual suvenir khas Thailand yang harganya benar-benar miring.
Rasanya, saya ingin kembali ke sana menikmati lagi Loy Krathong yang diperkirakan jatuh tanggal 17 November 2013. Festival lampion ini menjadi refleksi sendiri harapan, impian dan mimpi yang diterbangkan bersama dengan lampion dan sesajiannya. May all these joy blessed you through the new year!

*also published on Maxim February 2013 Edition.