Tuesday, December 20, 2011

Garuda di Dadaku 2 : Menikmati Permainan Formula Lama dalam Lapangan Hijau



Sembilan tahun lalu merupakan awal perkenalan publik secara luas dengan lima sekawan dengan balutan seragam SMA yang dinamis dan enerjik. Cinta, Maura, Alya, Milly, dan Karmen adalah kelompok ideal bagi remaja yang sedang menikmati masa sekolah menengah dengan segala intriknya yang mengharubiru. Ada kisah romansa antar dua sejoli yang seolah begitu rumit, ada tekanan batin dalam masalah keluarga yang kompleks, belum lagi konflik pertemanan yang sebenarnya saling membutuhkan. Formula dari film Ada Apa dengan Cinta? Yang digarap Rudi Soedjarwo tersebut seperti memberi tempat tersendiri bagi penonton untuk meletakkan memori seputar masa sekolah yang abu-abu, perjalanan memaknai apa sebenarnya ‘cinta’ itu. Memori yang menyenangkan, menyedihkan, dan juga ada ruang kekesalah dibalut dalam jalinan cerita yang menghangatkan hati di ujung kisah.

Begitulah Rudi Soedjarwo membuat formula film yang mengena bagi penontonnya. Kali ini kehangatan tersebut kembali dirasakan dalam film sekuel Garuda Di Dadaku 2 yang seri pertamanya disutradarai Ifa Isfansyah. Masih seputar kisah Bayu (Emir Mahira) yang akhirnya menjadi kapten di tim nasional junior Indonesia. Kali ini ia dihadapkan dengan berbagai masalah yang lebih pelik, mulai dari menurunnya prestasinya sebagai pemain timnas, pergantian pelatih yang melibatkan unsur politik di lapangan hijau, sampai tuntutan untuk mengejar ketinggalan pelajarannya di sekolah. Timnas junior ini harus beradaptasi dengan pelatih baru, Pak Wisnu (Rio Dewanto) yang datang dengan segala inovasi untuk melatih anak-anak tersebut. Pak Wisnu tidak sekadar memperjuangkan nasib Garuda di lapangan hijau tetapi juga menjaga Bayu dkk agar tidak terjebak dalam permainan politik para pengurus timnas sepakbola yang bisa mempengaruhi stamina dan konsentrasi bertanding. Bayu pun berjuang demi timnya di tengah masuknya Yusuf, seorang pemain baru yang langsung melejit permainan dan popularitasnya. Ia juga berjuang mempertahankan persahabatannya dengan Heri (Aldo Tansani) yang selama ini selalu menjadi wingman dan pendukung setia namun mendadak menjadi sahabat Yusuf. Belum lagi, prestasi Bayu mulai dipertanyakan di sekolah dan perlakuan Anya (Monica Sayangbati), teman sekelasnya yang tidak peduli dengan segala kesibukan Bayu mengemban tugas negara. Bayu, pemain timnas junior di bawah usia tigabelas tahun itu harus bertemu dengan segala masalah tersebut dan berusaha melepaskannya di lapangan hijau. Tentunya, Bayu yang dulu tidak akan bisa semudah itu mengatasi semua masalah yang ia hadapi sekarang.


Mengambil tema sepakbola memang nampaknya mudah menarik perhatian penonton, dewasa dan anak-anak. Keduanya punya kesenangan tersendiri dengan isu sepakbola tersebut. Film ini bukan sekadar menampilkan perjuangan seorang anak meraih mimpinya mencetak gol dan menjadikan Garuda juara. Rudi menambahkan isu-isu nasional berkaitan dengan sepakbola dalam beberapa adegan. Mungkin kita masih bisa merasakan sakitnya dikalahkan tim Malaysia saat piala AFF lalu atau SEAGAMES dengan lawan yang sama. Permainan politik yang konon melatari kekalahan timnas kembali disebut dalam GDD2, untuk mengingatkan dan menjadi koreksi bagi siapapun yang terlibat. Dari situ, emosi penonton sudah bisa terbawa ke dalam suasana yang lebih mendalam dan merasa adanya ikatan dengan Bayu dkk.

Tokoh Bayu sendiri mengalami perkembangan karakter yang tadinya hanya seorang anak-anak dengan impian tinggi, kini harus memanggul beban berat lebih dari sekadar urusan membuat gol di lapangan. Bayu dihadapkan dengan situasi pelik layaknya orang dewasa. Pendewasaan Bayu tidak lagi dilihat dari apa yang nampak secara visual, seorang anak berseragam putih-biru dengan rambut ala penyanyi populer masa kini. Bayu berhadapan dengan masalah hidup yang sesungguhnya dan Pak Wisnu ada untuk menggiringnya menyelesaikan sendiri semua. Ketika Yusuf masuk ke dalam timnas, sebagai kapten Bayulah yang seharusnya mengetahui semua timnya secara mendalam dan menjadikannya pengatur strategi agar timnya juara. Bayu tidak lagi berpikiran layaknya anak-anak, ia memahami politik yang terjadi di lapangan hijau. Politik siapa yang lebih unggul dari siapa dan politik siapa yang harus dihilangkan dari aksinya di lapangan. Pikiran-pikiran tersebut membuat Bayu kemudian juga harus memutar otak agar semua masalah di luar hal turnamen sepakbola perlahan-lahan menghilang. Anya, teman sekelasnya menanggap Bayu tidak bisa menentukan prioritasnya sebagai pelajar dan atlet. Sentakan dari Anya membuat Bayu tertampar ketika Bayu dalam posisi putus asa dan berencana meninggalkan teman-tema satu timnya berlaga tanpa dirinya. Lewat Anya jugalah, Bayu mencoba memahami sebenarnya apa yang sebaiknya dilakukan seorang laki-laki sejati, minimal di mata gadis pujaannya tersebut. Lagi, masalah di rumah menghadapkan Bayu dengan sosok laki-laki lain dalam kehidupan keluarganya. Sang ibu mulai mengenalkan sosok baru yang mungkin nantinya akan bernama ‘ayah’. Di tengah segala kekisruhan hidup Bayu, ia lupa masih ada nasib Garuda beserta keduapuluh orang temannya yang punya kepercayaan penuh padanya.

Masalah demi masalah dihadirkan lebih kurang selama 90 menit dan sedikit mengingatkan pada formula Rudi pada AADC? dalam bentuk yang berbeda. Menariknya, di GDD2 menampilkan bagaimana satu persatu masalah memiliki celah yang siap dimasuki oleh sang aktor utama. Celah itu bisa menghadirkan suatu sudut pandang baru dalam masalah tersebut. Misalnya saja, ketika Bayu berusaha menjegal posisi Yusuf yang dielu-elukan penggemar dan teman-temannya. Bayu ditinggalkan pada situasi, ia mendengarkan saran Heri yang mengetahui kekuatan Yusuf di lapangan atau justru membiarkan hal itu menjadi kelemahan Yusuf dan membuat dirinya kembali bersinar. Celah yang muncul adalah apakah Bayu mau dianggap pahlawan atau menjadikan dirinya pahlawan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut nyaris muncul di semua situasi permasalahan Bayu. Pak Wisnu juga menunjukkan perannya yang ikut mendewasakan Bayu dkk. Ketika pertandingan final, Pak Wisnu menyerahkan segala permasalahan saat pertandingan kepada anak-anaknya. Suasana secara visual juga dibangun saat Pak Wisnu berada di ruang ganti sedangkan anak-anak sedang bertanding. Pak Wisnu benar-benar memisahkan diri secara fisik namun ada suara latar yang menandakan apakah pertandingan saat itu dimenangkan oleh Garuda atau tidak. Saat itu jugalah Rio Dewanto mengeksplorasi emosinya sebagai Pak Wisnu yang ditonjolkan sisi galak dan hangatnya secara bergantian. Justru saat adegan itu Rio menampilkan sisi Pak Wisnu tanpa embel-embel pelatih yang adaa di depan anak didiknya. Emosi kesal, marah, ketakutan, senang, dan bingung ditampilkan secara total.

Antusiasme yang dibangun dalam film ini nampaknya perlu mendapat perhatian lebih. Membayangkan tim sepakbola berlaga membawa nama bangsa, tentu membayangkan gemuruh yang diciptakan suporter Garuda yang memerah dan penuh gegap gempita. Sayangnya suasana yang sering nampak di berbagai pertandingan bola nasional tidak terlalu kuat terlihat sekilaspun. Kekosongan penonton yang semangatnya sudah terasa, menjadi sedikit buyar saat melihat bangku-bangku di Gelora Bung Karno tampak melompong. Dengan sedikit trik, seharusnya Rudi dkk bisa mengakali hal tersebut. Secara rasa, film ini memberikan rasa hangat ketika semua permasalahan satu persatu diselesaikan dengan perlahan tapi pasti. Masing-masing tokoh mampu memberikan nyawa pada tiap karakter yang dimainkan dan memberikan rasa nyaman saat mengikuti perjalanannya. Sang sutradara dan penulis nampaknya berhasil menciptakan gol bukan hanya pada mata, tetapi juga pada hati penonton tepat pada sasaran. Ketegangan-ketegangan yang dibangun ikut memanaskan bagian dari tiap adegan menjadi kumpulan yang menyatu dari keseluruhan cerita. Dari semua karya Aghi Narottama, Bembi Gusti, dan Ramondo Gascaro dalam film, GDD2 inilah yang paling berhasil menyulap potongan adegan secara dramatis tanpa perlu didramatisir secara berlebihan. Menariknya, selama tiga perempat film berjalan menuju akhir cerita, ada kenyamanan sendiri yang muncul justru sebelum film berakhir. Klimaksnya justru terasa bukan di akhir film dan membuat adegan akhir dalam film ini tidak terlalu dinantikan. Entah ini menjadi sesuatu yang baik atau tidak, pastinya klimaks tersebut memberikan rasa nikmat dalam pengalaman menonton film ini. Tidak lupa, memberikan ruang tersendiri bagi penonton untuk meletakkannya dalam pikiran masing-masing sebagai film yang dekat dengan keluarga atau film yang berusaha berbicara atas nama sepakbola.

Tuesday, December 13, 2011

I had The Coolest Job Ever... (part2)

Masuk tahun 2011, tantangan bertambah dengan satu lagi show tentunya dengan satu penyiar dengan karakter lain yang harus saya handle. Dave Hendrik, imejnya sering muncul bersama Angie beberapa tahun lalu. Bersama dia, saya mencoba menggodok show baru Ladies First yang mengangkat tokoh-tokoh penuh inspirasi. Kadang, colongan juga bintang tamu special request dari saya atau Dave. :p


Perjalanan #DiaryDave Nyaris Sepuluh Bulan,What A Baby!

Ngomongin soal bintang tamu, banyak banget bintang tamu yang hadir mulai dari yang ajaib, seru, ngeselin sampai bikin mood drop. Mulai dari penyanyi yang minta lift Sarinah dibuka khusus buat dia, bintang tamu yang gak tau siapa Chantal DeLa Concetta dan arti kata neglecting, bintang tamu yang suaminya lebih menarik dari si bintang tamu itu sendiri (ehm) sampai bintang tamu yang bikin saya ternganga karena bikin kebun di rumahnya sendiri. Tentu lebih banyak yang inspiratif yang saya ingat.


Ultah ke 9 Cosmopolitan FM Temanya Back to 90s

Salah satu kejadian menarik adalah ketika kita berusaha mengejar salah satu bintang tamu yang hanya punya waktu sempit dan saat itu saya berobsesi mengundangnya. Dia adalah Gareth Evans, sutradara film The Raid yang saat itu lagi dipuja-puja karena memenangkan Toronto Film Festival 2011 lalu. Saat itu saya melihat dia di premiere film Badai Di Ujung Negeri, awalnya agak ragu-ragu takut salah orang. AKhirnya dengan nekat saya sapa dan kasih kartu nama saya ke dia. Beberapa hari kemudian, manajemennya menelpon dan menyanggupi interview sebelum ia kembali ke negara asalnya. Nampak kesempatan eksklusif wawancara selama satu jam akhirnya harus dibagi dengan salah satu radio saudara, bagi saya tidak masalah apalagi segmen kami berbeda tetapi tidak bagi beberapa orang saat itu. Kekesalan orang tersebut, terbaca oeh saya di akun twitternya ketika harus berbagi narasumber pagi itu.


Bintang Tamu yang Jadi Rebutan, Gareth Evans


Bintang Tamu yang Paling Dicari, BePe aka Bambang Pamungkas

Pengalaman tidak enak juga sempat terjadi saat saya mengundang salah satu penulis kontroversial. Beberapa minggu sebelumnya, penulis ini mempromosikan bukunya ke beberapa media di Jakarta tetapi caranya sungguh tidak biasa! Ia mengirimkan peti mati lengkap dengan nomer serinya. Tentu saja kehebohan terjadi di timeline twitter dan tidak sedikit yang menghujatnya. Sabagai jurnalis, saya melihatnya sebagai celah berita dan saya pun mengundangnya. Selama wawancara berlangsung, handphone saya, kedua penyiar BFC ternyata tidak berhenti berbunyi karena banyak pertanyaan dan pernyataan tidak suka atas narasumber itu. Saya saat itu tetap bertahan sebagai bentuk konsistensi saya menjalankan wawancara dan saya pun sudah mengantongi izin dari program director saya jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada sih sedikit kekhawatiran, saya cuma takut narasumber saya ini tidak pulang dengan selamat. Kontroversi itu akhirnya memang tidak berlangsung lama dan suasana kembali kondusif dengan beberapa pihak terkait. Satu kontroversi lagi, saat harus mengangkat salah satu narasumber dalam segmen Follow Friday. Di akhir segmen, narasumber harus menyebutkan akun twitter yang lebih baik diunfollow. Tersebutlah salah satu socialite Jakarta. Seperti biasa tentu acara onair akan ditweet di akun @CosmopolitanFM. Sialnya, beberapa follower si socialite itu me-RT tweet tersebut tidak lengkap. Jadilah si socialite ngambek dan menuduh Cosmopolitan FM mengadu domba. Konsekuensinya, saya terpaksa meminta maaf karena kesalahpahaman tersebut dengan cara semanis mungkin, hal yang paling sulit saya lakukan apalagi kalau bukan salah saya. Akhirnya, socialite yang sempat mengancam saya dengan cara mau mengadu ke Biggest Boss saya ini pun mau berdamai. Lega....

Satu interview pamungkas yang juga tidak mungkin saya lupakan, Jamaica Café yang jadi bintang tamu penutup BFC terakhir saya dan bikin terharu dengan acapellanya yang kece. Saya mengidolakan mereka sejak zaman kuliah, dengan jadwal manggung mereka di Jakarta yang lumayan jarang, senangnya saya saat mereka menyanyikan lagu favorit saya "Untuk Dia" di show terakhir makin terasa mengharu biru.

All Time Favorite Band: Jamaica Cafe!

Bukan Cuma pelajaran di dalam Lantai 8 yang bikin saya mengerti apa arti radioslave sesungguhnya. Saya bersyukur punya kesempatan mewawancarai beberapa musisi luar dan bintang tamu lain yang bikin saya deg-degan. Pertama kali saya disuruh wawancara Lenka round table interview bersama teman-teman dari Hard Rock FM dan Trax FM. Hari itu saya datang terlambat sekitar 10 menit ke Hotel Mulia, lokasi interview. Nampaknya salah satu partner interview saya sudah menunggu lama dan mulai BT, saya ikut deg-degan. Antara takut sama si senior itu sama deg-degan wawancara dengan bahasa Inggris full. Untungnya semua lancar dan di ujung wawancara Lenka memuji dress yang saya pakai. Setelah itu masih ada Duncan Sheik, Arrested Development, Eric Benet, Les Nubians, dan Ben Folds. Mungkin tidak sebanyak radioslave lainnya tetapi pengalaman ini cukup berharga!

1st interview ever: Lenka!

Bukan cuma keseruan, pastinya ilmu-ilmu dari para expert yang selalu bikin saya mikir. Mulai dari Ligwina Hananto, dulu waktu saya baru rencanain perjalanan solo ke Beijing saya begitu ketar-ketir memulai budgeting saya pun konsultasi ke dia, ada juga Reliza Kodri yang juga tempat saya nanya ini-itu seputar dana pension dan investasi yang sebelumnya tidak pernah melintas di kepala saya. Mas Reza Gunawan pakar holistik yang selalu punya cara menenangkan pikiran sampai menyembuhkan secara fisik. Terakhir, mas Alexander Sriewijono yang selalu punya jawaban seputar karier dan hubungan sosial, tahun terpuruk saya di 2010 mendapat jawaban tajam dan pasti darinya. Setelah itu semangat saya menjadi kembali memuncak, makasih Mas!

Mas Alex yang Selalu Inspiratif

Sebagai Creative Assistant tentunya kreativitas itu penting, lepas dari hubungannya dengan pekerjaan. Di kantor, tidak jarang kami menonton beberapa film horror di meja saya yang disebut Pojok Horor karena memang posisinya dipojokkan.

My Pojokan Horor
Belanja online juga wajib dilakukan di awal bulan dan wajib melibatkan semua penghuni Cosmopolitan FM dengan alasan kebersamaan (padahal biar gak jatuh miskin sendiri:p) salah satu kegiatan kreatif lainnya adalah melakukan perjalanan-perjalanan pendek bersama. Selama dua tahun, kita sempat ke Bandung dengan voucher menginap gratis, menyusuri kuliner kota Bandung dan tempat-tempat kece lainnya. Bertiga bersama Amy dan Intan Cindi Tiara ke pulau Pramuka, bagi saya ini pengalaman seru yang berbeda lagi.

Bandung #1 Trip!

Nonton Bareng Piala AFF Bareng Cosmoners!

We Had Fun at Dufan!

Perjalanan paling kreatif yang pernah saya lakukan adalah perjalanan konspirasi bersama Olla, Aldy dan Ausie karena sempat membuat ricuh suasana kantor. Akhirnya semuanya (maksudnya, kami berempat) senang , terutama saya karena ini perjalanan saya ke Bali setelah terakhir sebelas tahun lalu.

The Beauty of Conspiracy Theory

Belum lagi kisah supermultikural yang ada di Cosmopolitan FM, mulai dari yang China, Sunda, Jawa, Bule, Batak, Flores, sampai orientasi seks yang semua ada! Kadang suka terasa kalau becanda keterlaluan tapi (kayaknya) tidak ada yang sakit hati tuh..
Perjalanan kuliner, pesta pora, sale hunting, sampai perjalanan ke Pulau punya kesan tersendiri dan cerita 'ajaib' yang jadi rahasia kita bersama alias bocor ke sana-sini. Well, also we remain such a good friendship :)

Cosmoners, Cosmonaut, dan Cosmonceu di Pulau Bidadari

Pastinya terlalu banyak pengalaman dan pelajaran yang didapat dan gak semuanya bisa saya share di sini. Di Lantai 8 terlalu banyak cerita senang, sedih, menyebalkan, dan tentunya drama dengan begitu banyak bumbu yang bikin seru. Bakal kangen banget dengan ritual jaga siaran pagi buta, sarapan yang diantar sama Cosmoners, live broadcast dari café-café atau perkantoran, live report, interview artis, bikin printilan produksi, ngajak VO dan diajak VO, ngumpul di meja bundar penuh makanan, dan seseruan lainnya.

The Closure, Definitely Not The End
I left it's not because i possessed a conflict or disappointment to this company. I loveeeee to do all those works and tasks,but in the end my passion asked me to move on, to pursue the goal. Saya bisa aja bertahan di zona nyaman karena posisi sebagai produser yang sudah cukup lama membuat saya mengetahui celah apa saja yang bisa saya manfaatkan di pekerjaan saya. Tapi saya butuh tantangan baru, saya butuh lingkungan tempat saya menimba ilmu baru, ilmu yang saya idam-idamkan. Bekerja di radio itu menyenangkan, tetapi buat yang merasa ingin bekerja santai sebaiknya lupakan saja. Radio itu berkejaran dengan deadline dalam hitungan detik. That's why i always proud to be one of radio journalist!

I admit it, I had one of the coolest job ever, but now I’m on the right track. Lantai 8, you’ll be missed!


Home will always be here, unseen, outta sight Where I disappear and hide
I think dreamy things as I'm waving goodbye So I'll spread out my wings and fly
-Owl City, Umbrella Beach

I had The Coolest Job Ever! (part1)

Menjadi radioslave bukanlah hal baru bagi saya saat lulus dari Universitas Indonesia. Ditempa oleh kolega di radio kampus, 107.9 RTC UI FM memasuki dunia radio swasta menjadi bagian dari mimpi yang dulu diciptakan dan perlahan-lahan dibangun.
Lantai 8 Gedung Sarinah Thamrin adalah legenda bagi saya dan teman-teman RTC UI FM. Di saat beberapa kolega sudah mulai bertebaran masuk ke radio swasta, masuk menjadi bagian dari Lantai 8 itu bukan hal mudah. Beberapa senior sudah keluar masuk di sana, Bisma Nugraha, Ade Putra, Fauzan Ibrahim, Silva Citra Dewi dan sampai junior Dominique Sawi dan Rossalyn Asmarantika.
I once said, I have to be part of Lantai 8 no matter how!


It's all start from here, Lantai 2 Gedung Pusgiwa Fakultas Teknik, RTC UI FM!

And some dreams do come true!

Tahun 2009, tiga bulan setelah resmi mendapat gelar sarjana saya pun menjadi bagian dari salah satu modern women, 90.4 Cosmopolitan FM. Memang bukan seperti apa yang saya bayangkan, di usia belum genap 25 tahun saya harus menencounter kebutuhan para wanita modern usia 28-38 ini. Bagitu banyak hal yang terlalu out of my league sejak pertama kali duduk di bangku produser. Sebulan pertama, saya menjadi co-producer Marco Anjasmoro di acara Breakfast Club dengan dua penyiar yang tidak asing bagi saya, Bayu Oktara dan Amy Zein. Sejak saat itu, hidup saya dimulai bahkan sebelum matahari benar-benar muncul di langit Jakarta.


Jadi ke...Lantai 8 Sarinah Thamrin. My 1st show Breakfast Club : Amy Zein & Bayu Oktara with Be3

Morning show yang mulai dari jam 6-10 pagi ini ternyata masih mendapat sorotan. Mas Didit saat itu memonitor acara pagi ini dan ritual “dididitin” adalah makanan sehari-hari kami berempat lengkap dengan berantem dan tangis-tangisannya. Kebersamaan kami berempat terpaksa harus disudahi saatnya berganti radio personality baru. Steny Agustaf dan Novita Angie.


Ulangtahun Cosmopolitan FM ke 8, Udah Akrab!

Terlalu banyak ketakutan dan pertanyaan saat itu ketika mendengar nama dua penyiar andal itu.
Steny yang saya tahu adalah Steny yang siaran bersama Pandji selama bertahun-tahun. Jujur, saya tidak familiar dengan namanya (apalagi mukanya) sampai saya menjadi produser di Lantai 8. Melihat gelagatnya, ia terlihat begitu ceria dan ramah. Novita Angie, bukan nama baru bagi saya. Nama besarnya sedikit menciutkan nyali saya sebagai anak baru yang belum genap tiga bulan menjajaki profesi produser. 30 November 2009 tepat di hari ulangtahun Angie, siaran Breakfast Club dimulai dengan format dan semangat baru.

Bersama Marco, banyak sekali ilmu yang saya dapat. Sebenarnya saya sudah kenal dia sejak acara Paranoia tahun 2008 (kalau tidak salah) dan ternyaata memorinya cukup baik. Mulai dari hal-hal basic seputar menggodok show yang lucu dan seru, sampai rahasia di balik layar seperti dummy dan teman-temannya muncul secara brilian dari kepalanya. Twist yang dia berikan juga yang membuat ide-ide BFC tidak pernah habis dan basi. Tak terlepas curhatan yang tak habis ya…I feel honored to work with him for the rest of the year. Sampai akhirnya kami berpisah karena Marco mendapat promosi di Hard Rock FM. I’m a proud co-worker!

Aco Ikan, :*

Menggodok BFC seorang diri tanpa co-producer akhirnya saya alami selama nyaris 6bulan. Akhirnya datang partner baru, seorang Gemini yang tidak pernah saya sangka bisa cocok bekerja bersama. Dennis Latif seorang pendengar setia Cosmopolitan FM akhirnya mewujudkan mimpinya untuk berada di balik keseruan siaran. Secara tidak sadar, sejak kemunculan Dennis tim BFC makin menunjukkan personalities yang tajam dan mencirikan masing-masing pribadinya.


Kelakuan Angie & Steny minimal begini tiap harinya..

Steny, metrosexual guy yang tertarik dengan segala yang berbau current issue, bisnis dan air personality yang smart and sexy. (Yes, I admit it!) Angie, such a modern mom, playful, caring, humble and always fashionable. Paduan keduanya makin menajamkan mau dibawa ke mana show BFC ini. And yet, we were still searching for any improvement.


More to come, silly, happy and sad stories, to be continued on part 2!