Monday, August 24, 2009

All American Rejects Live in Jakarta!


Terbukti! Musisi asing tidak takut mengunjungi Indonesia dan menampilkan performa terbaiknya di depan khalayak ramai Jakarta. Bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, The All American Rejects datang menghadirkan pertunjukan special untuk penggemarnya. Band asal Oklahoma ini juga menginap di hotel Ritz Carlton sebagai bentuk peduli dan bukti mereka tidak takut. Konser perdana AAR di Indonesia ini digelar Senin 17 Agustus 2009 di IStora Senayan Jakarta pukul 20.50 WIB. Meskipun diguyur hujan, penggemar fanatik AAR tetap datang ke I Wanna Rock Tour 2009 malam itu. Meskipun terlambat hampir satu jam dari jadwal seharusnya, konser ini dibuka dengan nyanyian lagu kebangsaan Indonesia raya oleh penonton dan disambut dengan Tyson Ritter, vokalis AAR yang berlari di atas panggung dengan membawa bendera Republik Indonesia. Penonton yang histeris melihat kemunculan Tyson tidak lebih lama lagi dibuat menunggu. Hits Dirty Little Secret langsung membuat penonton bernyanyi bersama. Setelah itu lagu-lagu hits seperti Swing Swing, My Paper Heart, The Last Song, It Ends Tonight, dan Real World. Penonton yang kebanyakan berusia 17-20 tahun tidak henti-hentinya jejingkrakan mengikuti irama lagu yang menghentak. Tyson yang begitu atraktif menunjukkan kemampuan menyanyinya hanya dibalut celana skinny merah dengan berbagai gaya. Mulai dengan merangkak meliuk-liukkan badannya, sampai memanjat tiang penyangga panggung. Penonton pun ikut histeris melihat kelakuan ajaib sang vokalis yang kontras dengan Nick Wheeler, sang bassis yang tampak rapi dengan setelan kemeja putih dan rompi hitam. Mike Kennerty dan Chris Gaylor pada gitar dan drum tak kalah atraktifnya dengan Tyson. Tyson juga tak henti-hentinya menyuarakan ‘MERDEKA’ di sela-sela lagu malam itu. Setelah encore penonton diajak bernyanyi lagu Move Along bersama dan puncaknya, ketika Tyson membacakan sebuah surat yang ditujukan untuk teroris yang tak hentinya mencoba menakut-nakuti masyarakat Indonesia dan orang asing yang ingin datang ke Indonesia. Dengan lantang ia menyerukan ‘F&%#* Terorist!!’ dan diikuti oleh seruan penonton yang ikut bersorak-sorai. Lagu Gives You Hell seperti ditujukan untuk mereka, teroris yang gagal menakut-nakuti masyarakat Indonesia begitu pula musisi-musisi asing yang malam itu menutup konsernya di lagu keduabelas pukul 22.30.

Thursday, August 06, 2009

A Jihad For Love

Musim festival film di Indonesia sudah dimulai! Dari bulan Juni lalu, Goelali Film Festival yang menampilkan film-film bertemakan anak digelar di Museum Bank Indonesia dan kemudian disusul oleh Kidfest yang acaranya berdekatan dengan Hari Anak Nasional, 23 Juli lalu. Sayangnya saya melewatkan kedua acara yang digelar perdana tahun ini tersebut. Agustus ini akhirnya saya bisa ikut keriaan yang digelar oleh Q-munity dalam Q Film Festival 2009. Acara yang sudah dimulai sejak 26 Juli lalu ini berakhir 5 Agustus lalu. Dua film yang sempat saya tonton, Jihad For Love dan antologi film Love Man Love Woman,Diana,dan Le Turkey.



Film Jihad For Love yang disutradarai oleh Parvez Sharma merupakan film produksi Amerika di tahun 2007. Film documenter ini bercerita tentang kehidupan orang-orang yang tinggal di negara Islam dan mereka sudah mengaku kalau mereka homoseksual. Amir, Muchsin, Maryam, dan Mazen adalah warga dunia. Mereka lahir dan besar di Turki, Mesir dan Iran yang dikenal sebagai negara dengan populasi Islam yang terbesar. Muchsin, laki-laki asal Mesir ini telah menikah dan punya tiga anak. Ia merupakan imam di salah satu mesjid dan ia membuat pengakuan bahwa ia gay di sebuah media cetak. Aksinya itu berdampak panjang dan ia pun kehilangan pekerjaannya. Muchsin pernah berpikir bagaimana kalau ia terkena hukuman mati karena homoseksual dilarang di Mesir. Amir harus menerima siksaan di Iran dan akhirnya pindah ke Turki karena homoseksual dianggap sebagai suatu kejahatan. Ia pun bertemu dengan Payam, Mojtaba, dan Arsham. Akhirnya, secara bertahap mereka mendapat suaka dan pindah ke Kanada untuk hidup yang lebih manusiawi. Mazen belum berani membuka kedoknya setelah ia masuk penjara karena ia seorang homoseksual dan diperlakukan layaknya binatang. Potret kehidupan manusia yang berjuang karena mereka ‘berbeda’ ini disajikan dalam bentuk yang cukup kontradiktif. Seperti yang banyak dipahami umat muslim, pandangan terhadap kaum homoseksual tertulis di kitab suci Al-qur’an dan dianggap sesuatu yang dilarang. Perilaku kaum Sodom dan Gomorrah menggambarkan bagaimana homoseksual adalah sesuatu deviasi seksual.

Keempat tokoh sentral dalam film ini merupakan umat yang takwa pada ajaran agama dan giat melaksanakan kewajiban ibadah. Hal ini menjadi sangat kontradiktif, di tengah ketaatan mereka shalat, mengkaji isi Al-qur’an, puasa, dan menutup auratnya, mereka dihadapkan pada sesuatu yang dianggap haram namun tidak bisa mereka hindari secara naluriah. Pertanyaan-pertanyaan muncul apakah memang Tuhan menciptakan kaum homoseksual di dunia ini? Kalau iya, mengapa seolah mereka diciptakan seolah berbeda dari manusia lainnya? Muchsin pernah meminta dan berdoa untuk ditunjukkan jalan apabila homoseksual itu salah. Pernikahan Muchsin dengan seorang wanita bukanlah jawaban dari pertanyaan yang justru makin menyiksanya. Muchsin akhirnya menerima keadaannya dan begitu pula anak-anaknya yang tetap berada di sisinya.

Simbol deviasi yang dialami tokoh-tokoh ini ditunjukkan dengan jelas dalam film ini. Saat Amir harus pindah dari Iran ke Turki, ia digambarkan sedang mengenakan pakaian dan hijab yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia adalah laki-laki di balik atribut perempuan itu. Sosok yang ditampilkan dengan hijab adalah wanita, namun atribut itu hanyalah topeng yang berusaha ditonjolkan untuk berlindung. Amir seolah merasa aman di balik jubah kewanitaannya padahal atribut wanita itulah yang membuat Amir tersiksa. Ironi. Perbedaan tempat tinggal juga ditunjukkan dengan perbedaan warna tembok warna hijau dan oranye yang bersebelahan. Rumah yang berada dalam satu wilayah itu seolah tidak mau disamakan antara kaum hetero dan homoseksual. Pandangan masyarakat atas penyimpangan itu membuat mereka ingin mengotak-kotakan kaum homoseksual di luar lingkungan mereka. Simbol lain muncul dalam adegan tiga sahabat Payam, Amir, dan Mojtaba. Mereka kerap bercerita bagaimana pernikahan mereka berlangsung sambil bersantai di atas bukit. Ketika ada iring-iringan jenazah, mereka berdiri di atas bukit dan memandang jenazah itu. Sosok ketiga lelaki tersebut tidak digambarkan dengan jelas tetapi hanya lewat siluet bayangan yang ada di atas bukit, berbeda dengan orang-orang yang sedang menggiring jenazah. Bagi orang lain, keberadaan Payam dkk menjadi bayangan yang tidak dapat tersentuh dan berbeda dari mereka yang seolah benar-benar ‘nyata’. Kelompok homoseksual seolah hidup dalam dunia yang tidak nyata dan terbatas. Dunia mereka seakan gelap dan tertutup. Simbol agama yang terasa sangat dalam adalah adegan terakhir ketika mereka semua mencoba menyatakan bahwa Tuhan adalah Maha Pengampun jadi jangan pernah berhenti memohon ampun atas apa yang dilakukan umat-Nya. Tidak ada yang bisa menghakimi umat manusia bahwa ia berdosa atau tidak selain Sang Pencipta. Dialog ini diiringi dengan adegan duduk tahiyat saat shalat.Saat mereka mengeluarkan telunjuknya dan mengucapkan bacaan tahiyat yang bermakna bahwa umat Muslim yang berjanji menyembah Allah dan selanjutnya adalah bentuk pengabdian manusia terhadap Tuhannya. Begitu pula dengan janji Allah yang berjanji mengampuni hamba-Nya. Tanpa perlu orang lain menghakimi dan berusaha membuat perhitungan dosa umatnya, urusan religi selalu menjadi hubungan yang pribadi bagi manusia dan Tuhan yang menciptakannya. Sesuai dengan judulnya, mereka sedang berjuang, berjihad. Berjuang atas cintanya terhadap Tuhan dan sesamanya. Mereka tidak mau kehilangan cinta Allah karena perbedaan yang dimilikinya karena bagi mereka cinta Allah lah yang terbesar dan bentuk pengabdian manusia pada Sang Pencipta.

source www.ajihadforlove.com

Monday, August 03, 2009

Lets Have Phoenix, On Your Favorite Weekend Ending*


Sabtu 1 Agustus 2009, puluhan muda-mudi memenuhi kawasan SCBD Jakarta tepatnya Bengkel Night Park. Mereka yang sudah berdandan begitu fashionable ini berkumpul sejak pukul 6 sore, padahal pintu arena konser Beatfest ini baru akan dibuka pukul 7 malam. Pukul 7 lewat, antrian mulai bergerak dan calon penonton sudah mulai bergerak masuk. Lorong menuju panggung berupa lorong penuh kaca dan disoroti black light yang menimbulkan warna-warna elektrik dan menyala dalam gelap. Sebelumnya, setelah pengecekan tiket di pintu masuk, penonton ditawari dengan untuk memasang tattoo temporary berbentuk stiker yang dapat menyala dalam gelap terutama saat disorot black light. Semuanya gratis! Voice over di dalam Bengkel Night Park mulai menyapa penonton yang berkerumun di stan merchandise dan bar lalu mengumumkan kalau Naif akan muncul sebagai artis pembuka pertama.Acara yang bekerja sama dengan toko buku Aksara dan A Mild ini mengusung nama Soundshine yang kerap menampilkan artis-artis indie dari dalam dan luar negeri. Membawakan lagu-lagu hits seperti Air dan Api dan Ajojing, Naif mengajak pemuda-pemudi untuk ‘pemanasan’ sebelum bintang utama konser itu tampil. Setelah Naif, band asal Bandung,The Sigit langsung menghentak dengan lagu-lagu Money Making, Black Amplifier, dan The Party. Dalam balutan kostum hitam-hitam, The Sigit makin memanaskan suasana dan penonton ikut menyanyi bersama. The Sigit sudah, saatnya Rock and Roll Mafia mengantar penonton ke 45 menit menuju band utama asal Perancis itu. Dengan musik yang khas dengan sentuhan synthesizer, RNRM berhasil membuat penonton berada di puncak kenikmatan musik dance electronica yang dibawakannya. Akhirnya, sekitar pukul 22.30 Phoenix bintang utama dengan empat personilnya membuka konser perdananya di Jakarta dengan hits Lisztomania dari album terbarunya, Wolfgang Amadeus Phoenix. Penonton yang hafal dengan lagu teranyar mereka langsung serentak koor mengikuti sang vokalis, Thomas Mars. Phoenix yang terdiri dari Thomas Mars (vokal), Deck D’Arcy (bass), Laurent Brancowitz dan Christian Mazzalai (gitar) pun memainkan hits-hits dari album terdahulu United, Alphabetical, It’s Never Been Like That dan pastinya lagu terbaru dari album Wolfgang Amedeus Phoenix yang rilis tahun 2009 ini. Sambil sesekali menyapa penonton, Mars mengungkapkan ia sangat excited menggelar konser pertama Phoenix di Jakarta. Ia pun sempat berterimakasih dengan Bahasa Indonesia logat Perancisnya. Konser dilanjutkan dengan Run,Run,Run, Everything is Everything, Long Distance Call, Lasso dan Love Like a Sunset yang merupakan lagu terminim lirik di album keempat mereka. Layaknya trik konser pada umumnya, mereka pamit meninggalkan panggung dan penonton yang berteriak-teriak “We Want More, We Want More!” yang haus encore. Kurang dari lima belas menit rehat, Thomas dan sang gitaris muncul menyambut histeria penonton dan melantunkan hits milik Air, duo asal Perancis, Playground Love dengan versi akustik. Mars menyebut ini sebagai kejutan untuk Jakarta. Kejutan belum selesai, tiga lagu berturut-turut If I Ever Feel Better, Too Young, dan akhirnya 1901 menjadi encore penutup konser malam itu. Selain ‘panas’ karena aksi panggung yang atraktif dan komunikatif, penggemar Phoenix pun terpuaskan karena sorotan lampu artistik ikut menyemarakkan dan menambah panasnya suasana Bengkel Night Park malam itu, literally.

So, Jakarta is totally safe and Phoenix already prove it they’re also not afraid!
We Love You Phoenix!!



*from Lisztomania lyrics