Film horor sebenarnya bukan genre yang menarik buat saya. Untuk festival tahun ini, saya sudah memberanikan diri menonton 2 film, dan kali ini pilihan saya jatuh pada REC 2, sekuel film Spanyol yang tahun lalu masuk dalam box office Spanyol dan berhasil membuat saya penasaran dengan lanjutannya. Kisahnya masih seputar evakuasi gedung apartment yang penduduknya terinfeksi virus aneh dan menelan korban, Angela reporter TV lokal yang terjebak di dalamnya.
Kali ini, pencarian digawangi oleh Russo,Larra,Martos, dan Owen. Kolaborasi tim SAR dan medis ini berusaha menyelamatkan survivors yang tersisa di gedung itu.
Mereka berempat pun mencari-cari survivors yang tersisa di gedung itu. Ternyata, di tengah-tengah diketahui kalau Owen bukanlah utusan dari Dinas Kesehatan melainkan pendeta dari gereja yang mau menyelidiki sekte aneh yang menjadi penyebab hilangnya anak-anak kecil.
Tim tersebut akhirnya terpecah belah, namun karena hanya Owen yang bisa menyatakan misi tersebut tuntas atau tidak, mau tidak mau Russo, Larra dan Martos mengikuti komando Owen. Setelah satu persatu survivors yang ternyata sudah terinfeksi dibunuh oleh tim SAR ini, mereka tiba-tiba bertemu dengan 3 anak muda yang penasaran dan akhirnya nekat masuk ke gedung itu dan juga Angela, jurnalis yang menjadi pemicu terjadinya tragedi ini. Sayangnya, satu persatu korban berjatuhan dan menyisakan Owen, Angela, dan sang Kameramen. Cerita bergulir pada pencarian Owen akan sampel darah asli dan tempat persembunyian zombie yang menjadi awal dari infeksi massal ini.
Di akhir film, tokoh yang tersisa tinggal Angela dan Owen. Akhirnya, film yang sejak awal mengisahkan infeksi virus misterius dan membuat penghuni gedungnya dikarantina berubah menjadi setan-setan dari sekte hitam dan ingin menyebarkan ajarannya. Kekuatan cerita zombie yang dibangun sejak film REC pertama jadi hancur dan dipatahkan langsung oleh setan yang merasuki tubuh Angela sebagai korban pertama. Beberapa adegan mengingatkan kita pada film Exorcist. Angela yang kerasukan roh jahat mengeluarkan suara-suara aneh dan seolah memberikan clue-clue pada Owen, bagaimana agar ia bisa dimusnahkan, walaupun akhirnya tidak bisa.
Awlnya saya menilai film REC memberi angin segar dalam genre film horor yang dibuat dengan teknik ala video amatir, sayangnya penilaian ini agak berubah setelah menonton REC 2 ini. Film ini jadi tidak jauh beda dengan film-film yang mengangkat roh-roh jahat merasuki tubuh korbannya dan ia pun jadi kebal. Keberadaan pendeta Owen makin mengingatkan saya dengan komposisi film dengan tema perburuan roh jahat.
Sampai 45 menit pertama film ini berjalan, saya masih cukup excited ingin mengikuti sampai akhir cerita. Sayangnya, setelah Angela mengeluarkan kata-kata yang hampir sama dengan line-up Regan di film Exorcist excitement saya menurun drastis.
Thursday, November 19, 2009
Friday, November 13, 2009
MACABRE : Young And Talented, Killer..
Malam tadi, 13 November 2009 tepat hari Jumat Kliwon, di tengah hujan yang mengguyur kota Jakarta makin lengkap ketika saya ikut mengantri nonton film Macabre alias Rumah Dara. Belum masuk ke bioskop saja, saya sudah membayangkan pertumpahan darah yang akan muncul di layar bioskop. Yah, akhirnya saya memberanikan diri menonton film pembuka Indonesia International Fantastic Film Festival 2009.
Suguhan malam itu adalah karya The Mo Brother, alias duo Timothy Tjahjanto dan Kimo Stamboel, yang merupakan pengembangan film pendek Dara tahun 2007. Sounding film Macabre ini sebenarnya sudah terdengar sejak lama terutama karena film pendeknya dianggap terlalu sadis oleh LSF. Ternyata memang film ini lebih dulu diputar di festival-festival luar negeri. Saya pun sudah mempersiapkan diri untuk thriller menegangkan malam itu.
Kisah perjalanan Ladya (Julie Estelle) dan Adjie (Ario Bayu) yang tengah menyelesaikan konflik keluarga menjadi tragis. Bersama Astrid (Sigi Wimala), istri Adjie yang sedang hamil, Jimmy (Daniel Manantha), Alam (Mike Muliadro) dan Eko (Dendy Subangil) yang mempertemukan mereka dengan Maya (Imelda Therine). Eko yang 'mata keranjang' bersedia mengantar Maya pulang karena kasihan. Sampainya di rumah Maya, mereka disambut dengan keramahan kakak Maya (Arifin Putra) dan suguhan khas Dara, mama Maya (Shareefa Danish). Tak bisa menolak mereka pun bersantap malam dengan rasa yang luar biasa. Ternyata, suguhan itu memang spesial, mereka pun tiba-tiba tidak sadarkan diri dan sesadarnya Ladya, Jimmy, dan Eko menemukan diri sedang terikat di gudang belakang, dan menyaksikan mutilasi yang dialami oleh Alam.
satu persatu mereka pun berkejar-kejaran dengan penghuni Rumah Dara itu.
Selanjutnya, cerita bergulir seperti apa yang sedang dibayangkan Anda di benak kepala.
Film horror thriller ini sudah menandakan daerahnya dengan 'darah' sejak awal film. Permainan darah pun jadi suatu kekuatan yang sudah dijanjikan dan akhirnya diumbar sepanjang hampir 100 menit. Adegan-adegan vulgar seperti mutilasi ditampilkan layaknya penjagal di peternakan. Selain kekuatan detail khas film horor seperti samurai, dan rumah tua, ekspresi tokoh-tokoh antagonisnya cukup membuat bergidik.
Imelda dan Arifin mungkin masih belum bisa menghilangkan imej 'manis' dalam karakter yang harusnya terlihat sadis. Tapi, kekakuan Arifin cukup mengimbangi karakter Dara yang entah sengaja dibuat terlihat kaku atau sosok yang tertangkap seperti itu akibat suara layaknya ibu-ibu tua yang tidak terdengar natural. Danish,yang aslinya kelahiran 1982 harus memerankan wanita tua yang lahir tahun 1800-an. Suara yang harus diberat-beratkan dan ekspresi wajah yang kaku plus signature body language memiringkan kepala ke samping, membuat sosok Dara makin misterius dan menyeramkan. Saat adegan Dara bergulat dengan Ladya, sosok yang dimunculkan makin menyeramkan, dengan balutan terusan putih polos dan rambut hitam panjang terurai mengingatkan kita pada sosok-sosok hantu khas Indonesia. Paduan Dara dengan gergaji mesin seolah ingin memadukan sosok hantu Indonesia di tengah senjata-senjata pembunuh yang makin canggih. Ekspresi wajah Danish yang menyeramkan menunjukkan dingin dan kakunya Dara, sekaligus hasrat membunuh yang besar. Puncaknya, ekspresi wajah saat Dara menempel di mobil Ladya dan akhirnya tertabrak pohon menjadi 'gong' yang mungkin mengantar Danish memenangkan Best Actress di Puchon Fantastic Film Festival, Juli lalu.
Angkat topi untuk Shareefa Danish.
Tokoh lain yang menjadi sorotan, Julie Estelle. Awalnya, kawan sebelah saya sempat menyeletuk, "Yah, cuma jadi pelayan?" dan saya pun tertawa, mengingat sang aktris memang tidak terlalu disorot di media promosi film ini. Ternyata, sosok Ladya disiapkan menjadi pahlawan di akhir film ini, seperti yang sudah saya bayangkan di menit ke dua puluhan saat film berlangsung. Tapi,Julie Estelle bisa tetap menunjukkan sisi ketakutan tokoh Ladya. Setelah Macabre, saya seperti melihat dia menjadi aktris spesialis horor dibandingkan drama meskipun wajahnya cenderung mellow.
Tokoh lainnya? Saya rasa tidak perlu, sama tidak perluanya dengan sorotan tokoh-tokoh bawahan lain yang sebebarnya terlalu banyak dan sempat membuat penokohan jadi tidak fokus. Sama seperti ketika adegan polisi yang menggerebek rumah Dara dan justru mementahkan kecemasan penonton dan berbalik tertawa,mungkin karena Aming yang imej komedinya sudah terlalu melekat muncul lebih dari 2 adegan.
Sisanya, Macabre cukup membuat bulu roma saya bergidik dan keparnoan saya muncul seketika saat melihat daging segar disajikan di atas meja makan.
Kira-kira darimana asal daging itu?
*berbagai sumber
Monday, November 09, 2009
The Ting Tings : Shut Up And Let Me Go (to Playground!)
Akhir tahun 2009 ini, Jakarta kembali kebanjiran musisi asing dan kali ini The Ting Tings ikut memeriahkan festival musik soul dan hip-hop, Java Soulnation. Pertunjukan yang seharusnya mulai pukul 9 malam, molor satu jam sampai jam 10 lewat.
Crowd yang sudah berdesak-desakan dan nggak sabar, akhirnya bersorak ketika intro musik yang sangat familiar dan akhirnya Jules de Martino, sang drummer sekaligus gitaris The Ting Tings muncul di atas panggung. Selama hampir sepuluh menit, Martino memainkan instrumen-instrumen yang ada bergantian. Penonton pun makin bersoraksorai melihat kepiawaian Martino. Makin jelas intro lagu We Walk dimainkan, Katie White sang vokalis pun muncul dengan teriakan dan tepuk tangan penggemarnya.
White yang tampil stylish dengan balutan baju hitam, tights ungu plus topi hitamnya menyapa penonton beberapa kali sampai akhirnya mendendangkan lagu-lagu hits seperti
Fruit Machine, Keep Your Head, dan Traffic Light. Antusiasme penonton terlihat cukup mereda setelah lagu Great DJ, mungkin karena kebanyakan penonton bukan penggemar band asal London ini, atau mereka memang penggemar musik R&B yang hanya coba-coba menonton aksi panggung The Ting Tings.
Di lagu ke delapan, penonton kembali memanas. Lagu single perdana Shut Up and Let Me Go membuat penonton yang terdiri dari abg berdandan lengkap ala Katie White sampai laki-laki paruh baya jejingrakan tak peduli sekitar. Impacilla Carpisung kembali membuat panggung utama di Istora Senayan memanas, White dan Martino bergantian menghilang dari atas panggung dan sempat terjadi adegan ‘pause’ yang membuat penonton penasaran. Sorakan penonton makin terasa saat dentuman drum Martino mengahantarkan lagu terakhir The Ting Tings malam itu. Yael NaimThat’s Not My Name sukses menjadi encore dan mengentaskan malam yang makin cantik dengan efek visualisasi eklektiknya. The Ting Tings, mungkin tidak akan kembali ke Soulnation. Kami ingin mereka ada di taman bermain atau pesta lainnya!
Setlist Soulnation, Jakarta
• We Walk
• Great DJ
• Fruit Machine
• Keep Your Head
• Traffic Light
• Be the One
• We Started Nothing
• Shut Up And Let Me Go
• Impacilla Carpisung
• That's Not My Name
Subscribe to:
Posts (Atom)