Thursday, February 09, 2012
Midnight In Paris : Petualangan Berbasis Imaji dan Harapan
Pernah membayangkan hidup di era keemasan para seniman andal semacam Pablo Picasso, penulis terkenal Ernest Hemingway, atau sutradara Luis Buñuel? Menyusuri imanjinasi yang bermain dalam nostalgia nan gila bisa menjadi pembuka bagi pecinta seni, jalanan di kota malam hari dan juga petualang waktu.
Gil Pender (Owen Wilson) akan menjadi kapten sepanjang perjalanan menyusuri jalanan di kota Paris saat malam hari. Berawal dari sebuah kekecewaan atas kemampuan menulis yang kerap diragukan oleh Inez, tunangannya beserta keluarganya, Gil terdampar secara tidak sengaja di Paris era tahun 20-an. Bagi Gil, Paris adalah kota yang indah dengan segenap gedung-gedung tua yang artistik, dan menyenangkan disusuri di kala hujan. Sepanjang perjalanannya di Paris, bagi Gil tidak ada yang lebih menarik daripada menikmati musik dari Cole Porter atau duduk di tepian kafe sepanjang sungai Seine. Tidak bagi Inez (Rachel McAdams), Paris adalah destinasi mewah, menikmati Versailles atau berdansa bersama sahabatnya. Inez juga menolak ide Gil untuk pindah ke Paris setelah pernikahannya dan memilih tinggal di Malibu. Segala kepenatan Gil membuatnya sejenak tak sadarkan diri dan ikut dengan kereta kuda yang membawanya bertemu Scott Fitzgerald. Petualangan pun dimulai. Gil mencoba mencari pembatas, manakah yang imajinasi dan mana yang realita. Sampai ia bertemu Adriana (Marion Cottillard), perempuan yang ternyata menjadi selingkuhan Picasso sekaligus inspirasi beberapa lukisannya. Gil yang sejak awal mencoba mempresentasikan tulisannya pada Hemingway dan Stein, ternyata justru mengena bagi Adriana. Tidak berhenti di situ saja, Gil dan Adriana pun mulai menikmati pertemuan mereka yang sebenarnya berasal dari dua waktu berbeda. Saat Gil kembali ke waktu silam dalam beberapa malam berturut-turut, Inez juga mulai membaca keanehan kelakuan Gil yang makin tenggelam dalam tulisan-tulisan di tengah malamnya.
Refleksi dan Nostalgia Masa Keemasan Paris dalam Imajinasi
Bagaimana keindahan Paris di tahun 2000-an justru bisa melempar memori seorang Gil Pender dalam nostalgia yang tak berkesudahan selama nyaris satu abad sebelumnya? Gil sendiri menunjukkan kegemarannya menikmati memori usang dalam kehidupan kesehariannya dan juga dalam tulisannya. Bagi Gil ada komponen dalam masa lalu yang bisa dinikmati sesekali dan tetap indah walaupun tidak bisa terus menerus disimpan. Gil bercerita tentang toko nostalgia dalam novelnya dan bagi Inez serta beberapa kawannya, hal itu terkesan konyol dan merupakan representasi keengganan Gil melepaskan masa lalunya. Dalam karakternya sendiri, Gil tidak terlihat begitu memuja masa lalunya tetapi ia menghargai karya yang lahir di era keemasan terutama di Prancis. Melihat semua seniman yang ia temui di beberapa malam tersebut, nyaris semuanya merasakan kejayaan saat tiba di Prancis sekitar awal tahun 1900-an. Lihat saja Hemingway, di awal tahun 20-an ia menikahi istri pertamanya dan pindah ke Paris lalu meluncurkan novel pertamanya tahun 1926. Ada juga Salvador Dali, pelukis beraliran surealis asal Spanyol yang juga akrab dengan Picasso dan memulai menemukan ciri khas karya-karyanya sejak pindah ke Paris sekitar tahun 1926. Ada refleksi harapan dari Gil saat ia dipertemukan dengan semua seniman tersebut. Bisa jadi pertemuan-pertemuan tersebut merupakan keinginan dari alam bawah sadar Gil yang berharap bisa mencapai posisi puncak di masa keemasan seperti mereka. Kemungkinan lain, Gil yang selama ini tidak pernah menunjukkan tulisannya ke siapapun hanya percaya pada idola-idolanya yang mencoba berbicara pada dirinya. Keajaiban Paris cukup berhasil untuk Gil, setidaknya imajinasinya membuahkan ide-ide baru yang bisa mengembangkan novelnya selama ini.
Melepaskan Imajinasi atau Hidup Selamanya Dalam Fantasi?
Menikmati fantasi dalam dua ruang dan waktu di dunia Gil menjadi keasyikan sendiri sepanjang 94 menit film ini. Di pagi sampai siang hari, penonton disuguhkan suasana ramai di Paris, lalu di malam hari saatnya berpetualang di masa lampau tanpa tahu siapa yang nantinya akan ditemui Gil. Perjalanan penuh fantasi itu terasa makin menyenangkan ketika waktu menunjukkan sudah tengah malam, berada di antara waktu malam menjelang pagi hari. Saat itulah imajinasi berada pada titik yang paling liar dalam kehidupan Gil. Ia bebas memikirkan apapun di waktu tersebut dan mengetahui akan ada batas waktu ia kembali ke dunia nyata. Dalam film sendiri, Gil gagal membawa Inez ke ‘dunia’ pasca tengah malam karena ia datang terlalu cepat sebelum bel tanda tengah malam belum berdentang tetapi tidak pernah dijelaskan kapan waktu imanjinasinya berakhir. Apakah ada tanda seperti Cinderella saat bel berdentang segala kemewahannya akan kembali ke asal? Yang penonton tahu hanyalah saat matahari sudah kembali terbit, ia sudah duduk kembali di depan novelnya, menulis ulang dan sang kekasih berada di ruangan yang sama dengannya. Tentunya perjalanan masa lampau di zaman keemasan itu harus menemukan akhirnya. Ketika Gil dan Adriana menemukan titik di mana mereka begitu berbeda memandang masa keemasan dan artinya bagi mereka, di situlah Gil sadar sudah waktunya ia menyudahi segala fantasi yang ia alami dan saatnya ia hidup di masa yang sesungguhnya. Masa yang harus ia ciptakan sendiri keemasannya dan merayakan dengan waktu yang sesuai. Ia tidak bisa terjebak dalam kemegahan zaman hidup orang lain ketika hidupnya sendiri jauh dari kesuksesan. Begitu pula dengan kehidupannya dengan Inez, apakah ia bisa membawa Inez serta menuju puncak keemasannya? Setelah petualangan tengah malam, Gil menciptakan sendiri tantangannya. Kejayaan yang diperuntukkan baginya tanpa campur tangan fantasia tau ilusi atau sebenarnya ia hanyalah sisa-sisa dari kesuksesan yang sudah dicapai di masa sebelumnya dan tidak bisa lagi diraih?
Subscribe to:
Posts (Atom)