Sunday, March 25, 2012
Setan Kredit: Menapaki Ironi Tangga Kelas Sosial
Ciri khas dari komedi Warkop Dono Kasino Indro adalah perjalanan misi yang banyak terhadang masalah, komedi slapstick dengan simbol-simbol tertentu, dan sosok wanita yang menjadi pemicu aksi konyol sekaligus heroik para tokoh utamanya. Sepanjang tiga puluh tahun, formula itu terus-menerus digunakan, dan nampaknya dijadikan medium untuk menyampaikan pelbagai isu-isu berbagai kelas dengan cara tersirat yang nyaman dinikmati. Setan Kredit (1981) tak terkecuali.
Setan Kredit dibuka dengan wacana ‘kredit’ yang populer kala itu. Segala aktivitas konsumsi bisa dikredit, tentunya oleh orang-orang gedongan. Terbersit dalam salah satu dialog yang menyatakan kalau kredit itu langka, belum bisa dinikmati semua orang. Dalam film tergambar Indro tinggal di rumah mewah, dan dua sahabatnya Dono dan Kasino yang sedang menginap di rumahnya. Reaksi-reaksi Dono dan Kasino terhadap kemegahan rumah Indro mengindikasikan keduanya duduk sebagai kalangan menengah-ke-bawah.
Mereka bukan sekadar kagum, tapi juga mencela celah dari golongan kelas atas yang mereka hadapi. Celah tersebut justru muncul dari segala kelengkapan fasilitas yang mereka temui. Misalnya, saat Kasino ke rumah Indro dan terkesima betapa besarnya rumah tersebut. Muncul komentar “Rumah kok ruang tamu semua?” Rumah dengan banyak rumah merupakan sesuatu yang asing bagi Kasino. Mencelanya tak saja menjadi cara untuk memahami, tapi juga bentuk kekaguman. Celaan tersebut menjadi sebuah refleksi juga bagaimana kalangan menengah ke bawah ini punya keterbatasan ruang gerak untuk menikmati fasilitas yang tak terjangkau bagi mereka.
Naik Kelas
Bukan berarti protagonis kita diam saja dan tidak berusaha menaiki tangga kelas sosial untuk memenuhi keinginannya. Masalah kredit ini menjadi isu utama yang ingin ditampilkan secara berkala di hampir semua momen. Dalam rumah gedongan yang mewah, ibu Indro terlihat bersenang-senang dengan sistim kredit. Sementara masyarakat kelas bawah, terlihat dari kunjungan trio Warkop ke sebuah pasar, berjubel melakukan transaksi jual-beli ayam untuk kebutuhan pangan sehari-hari dengan sistim kredit. Ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan fasilitas kredit di antara kedua kelas. Kemapanan finansial dianggap begitu penting untuk masuk ke dalam sebuah kelompok sosial yang lebih berada, satu problematika yang Dono dan kawan-kawan coba hadapi dan dobrak.
Ada satu kejadian ajaib dan tak masuk akal yang mensatirkan usaha Dono untuk memasuki kelas atas. Saat Dono berpapasan dengan Lia (Minati Atmanegara) di jalan, Dono mencoba membantu Lia menemukan payungnya yang tertinggal dalam bus. Setelah payung didapatkan, Dono tak sengaja terbawa angin dan terbang berputar-putar dengan payung Lia di atas langit Jakarta. Ia melihat keseluruhan kota Jakarta bahkan lebih tinggi dari Monas, bahkan kesempatan jahil mengintip perempuan yang mandi. Setelah berkeliling di udara, Dono mendarat –anehnya– tepat di kolam renang rumah Lia. Saat itu, ia langsung dipukuli karena dianggap melewati batas teritori rumah orang oleh ayah Lia, tetapi posisinya terselamatkan karena membawa payung Lia yang hilang.
Hal serupa tak terulangi di adegan selanjutnya, ketika Dono mencoba mengambil jalan pintas naik ke kamar Lia dengan sebuah tangga. Dono justru menerima dicerca dan diusir ayah Lia. Usaha-usaha ajaib Dono di adegan sebelumnya terlihat kontras dengan realitas yang ada. Batas nyata si miskin dan si kaya memang tak bisa ditembus.
Makin ditegaskan saat adegan di hutan menjelang akhir film, di tengah perjalanan ketiganya bertemu dengan dukun yang dipercaya bisa memberikan kemudahan urusan kredit ini. Sang dukun pun berujar ibu Indro yang notabene kalangan kelas atas pun meminta dimudahkan kredit oleh dukun tersebut. Munculnya dukun ini seperti bentuk legitimasi kebiasaan klenik masyarakat Indonesia yang mempercayai hal-hal mistis, tak peduli dari kelas mana mereka berasal. Muncul pertanyaan, apakah cara-cara jujur dan tanpa bantuan klenik tak lagi menjadi pilihan?
Menertawai Diri Sendiri
Komedi Warkop sukses menghadirkan tertawaan bagi penonton yang seolah menonton dirinya sendiri dan juga tokoh dalam film yang sebenarnya menertawakan dirinya sendiri. Penonton mungkin merasakan kesatiran dalam komedi yang ironi, bagaimana usaha-usaha yang pernah mereka lakukan untuk menapaki kelas sosial yang lebih ditampilkan di depan mata. Saat itu, lewat tontonan penonton lebih bisa menertawakan tokohnya daripada menertawakan diri sendiri. Kala itu, Jakarta yang saat itu digambarkan begitu lengang memberikan kesempatan bagi siapa saja yang berlomba-lomba menjadi bagian penting lewat status sosial dan juga properti yang dimiliki. Jalanan dan petak tanah seperti ajang eksibisi yang menampilkan status sosial pemiliknya. Tak jarang mereka yang jauh dari peta sosial kelas atas harus berdarah-darah untuk bisa sampai dalam posisi atas tersebut, meskipun kadang hasinya tak sebanding usahanya. Hal inilah yang dikritisi dan memposisikan masyarakat sebagai obyek penderita.
Melihat realita masa kini, rasanya situasinya terasa tidak terlalu berbeda dengan kondisi sosial masyarakat yang digambarkan Setan Kredit. Upaya ‘naik kelas’ masih kerap dilakukan bahkan dengan cara yang lebih massive bahkan melupakan norma-norma sosial yang konon menjadi batasan. Masalah kredit kini bukan lagi soal cara untuk bertahan hidup saja, tetapi menapaki kelompok sosial tertentu dan melegitimasi posisinya di mata kelompok tersebut. Bukan lagi soal liburan atau bahan pangan yang penting dikredit, kosmetik atau perkakas elektronik menjadi ukuran wajib demi sebuah status sosial baru. Tidak heran, konteks menertawakan diri sendiri masih sangat relevan dilakukan di masa modern meskipun dengan cara yang paling primitif.
Mungkin sulit mencari bandingan kekuatan komedi yang relevan hingga saat ini, apalagi yang ditampilkan dalam film Indonesia. Melihat kembali sentilan sosial yang dibangun dalam Setan Kredit, pola sindiran-sindiran tersebut ternyata masih bisa menyentuh berbagai kalangan sampai masa kini. Ketika komedi-komedi Warkop berusaha menyentil semua lapisan masyarakat, pola komedi masa kini justru diminimalisir untuk kalangan tertentu dalam kelas yang tertentu pula. Tidak heran, menikmati komedi Warkop seolah kita dilupakan dengan segala label yang membatasi segala kenikmatan beropini atau bermain-main dengan segala yang mungkin. Dalam dunia Warkop saat itu, komedi serta sindiran bisa menjadi konsumsi kalangan mana saja, yang mungkin juga sudah bergerak ke masa lebih baru.
Also posted in Cinemapoetica.com for Bulan Film Nasional 2012
Setan Kredit | 1982 | Sutradara: Iksan Lahardi | Negara: Indonesia | Pemain: Dono, Kasino, Indro, Minati Atmanegara, Lisa Dona, Dian Ariestya
Sunday, March 04, 2012
Negeri 5 Menara: Mimpi Beda, Rasa Sama
Tiga hal yang kerap ditemukan dalam film Indonesia belakangan ini: kampung halaman, ambisi, dan persahabatan. Masih hangat dalam ingatan film-film seperti Tendangan dari Langit, Semesta Mendukung, dan yang paling populer Laskar Pelangi. Persahabatan, kampung halaman dan ambisi menghadirkan kehangatan tersendiri yang mudah dicerna penonton Indonesia, sebuah perasaan yang kemudian direproduksi dalam pengulangan formula serupa. Alasannya ekonomis, yakni merangkul penonton massal dari segala kelas untuk berbondong-bondong ke bioskop, yang kemudian diterjemahkan menjadi keuntungan besar. Perkenalan lewat novel juga dijadikan strategi sendiri untuk mendorong komunitasnya sendiri menyaksikan versi layar lebarnya. Hasilnya bagi pembuat film: membuka kesempatan sekuel atau melebarkan sayap lewat bentuk pertunjukan lain. Laskar Pelangi, misalnya, dikreasi ulang menjadi pentas musikal di atas panggung.
Formula ala Laskar Pelangi ternyata menular juga pada Negeri 5 Menara, baik novelnya yang ditulis Ahmad Fuadi maupun adaptasi filmnya yang disutradarai Affandi Abdul Rachman (sebelumnya The Perfect House, Heartbreak.com, dan Pencarian Terakhir). Kedua karya ini mempunyai pola cerita yang tak ayal menyandingkan keduanya dalam satu lini yang sama. Bermimpi, menjadikan mimpi itu nyata, menemui kegagalan, dan akhirnya muncul sebuah pertanyaan krusial, ”Apakah semua mimpi akhirnya harus terwujud untuk dikategorikan sebagai sebuah kesuksesan?”
Penantian Panjang dan Lambat
Film Negeri 5 Menara berkisah tentang Alif, pemuda yang menghabiskan hidupnya di tengah keluarga relijius di Tanah Gadang. Ia bermimpi menjejakkan kaki di Pulau Jawa dan masuk dalam barisan mahasiswa sebuah kampus tersohor di Bandung. Sayang, orangtuanya menganggap sia-sia kalau sudah sampai Jawa Alif tidak menuntut ilmu agama. Jadilah Alif seorang murid Pondok Madani. Untungnya, ada kelima sahabatnya yang sukses membuat Alif sedikit kerasan di tengah peraturan yang mengikat dan kadang terkesan konyol. Bersama Baso, Atang, Raja, Said, dan Dulmajid mereka mencari-cari mimpi apa yang bisa mereka wujudkan selepas dari pondok pesantren tersebut. Tersebutlah negara-negara dengan penandanya yang khas. Ini makin membuat enam sekawan itu makin menjadi dalam bermimpi.
Sejak awal perkenalan dengan tokoh Alif, penonton seperti diarahkan dan diberi peringatan kalau kisah hidup Alif cukup panjang untuk diikuti. Pergolakan keinginan Alif yang berbenturan dengan rasa ingin membanggakan kedua orangtuanya dijabarkan cukup detail dan panjang dalam satu perjalanan waktu. Penonton seperti diberi posisi strategis untuk menikmati perjalanan seorang anak lewat waktu yang berjalan lambat. Detail yang disampaikan seperti ingin menguliti semua gerak-gerak Alif layaknya orangtua yang protektif. Sampai masuk ke pondok pesantren, posisi itu masih tersedia bagi penonton meskipun Alif sudah tidak lagi tinggal bersama orangtuanya.
Ada Ustad Salman (Donny Alamsyah: Merantau, The Raid) yang mendadak punya posisi signifikan dengan keberadaan Alif dan kawan-kawan ini. Ustad Salman selalu tampil heroik ketika enam sekawan itu terjepit dalam situasi lemah. Sayangnya, tokoh terdekat yang seharusnya memiliki kekuatan emosional yang erat dengan anak-anak itu justru terasa layaknya tokoh sampingan yang sekadar lewat saja. Di awal, pengaruh Ustad Salman begitu terasa nyata dengan kalimat menggugah: ”Man jadda wajada.” Semangat yang di awal begitu terasa menggugah hati keenam sahabat itu malah luruh begitu saja justru di saat keenamnya tersebut makin akrab. Padahal sebagai tokoh yang sudah cukup menarik perhatian di awal, Ustad Salman bisa mengambil peran penting dalam kisah anak-anak ini selama di pondok.
Di awal terlihat jelas saat kekakuan antarsiswa masih terasa, Ustad Salman mencoba membakar semangat mereka, membuat mereka bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan mereka di pondok tersebut. Kemudian enam sekawan ini menjadi salah satu produk sukses Ustad Salman mengompori muridnya yang masih hijau dan kemudian punya banyak ambisi. Eksistensi Ustad Salman perlahan seolah menghilang pada hubungan emosional dengan para siswanya. Saat akhirnya Ustad Salman meninggalkan pondok, tidak ada kontak yang dilakukan dengan keenam siswa tersebut. Entah adegan sengaja tidak dibuat dramatis yang berlebihan, atau ingin menyampaikan peran Ustad Salman sudah selesai. saatnya ia pergi meninggalkan Alif dan kawan-kawan yang sedang berapi-api mengejar mimpinya.
Pertanyaan lainnya: sampai kapan penonton harus menunggu hingga konflik mulai muncul ke permukaan? Sepanjang film penonton dihadapkan masalah-masalah kecil yang tidak berdampak bagi jalan cerita atau pun hubungan antar tokohnya. Contohnya keinginan Alif sekolah di ITB. Berbagai cara ia coba supaya bisa masuk sana, termasuk menyabotase ujiannya sendiri. Di tengah-tengah cerita juga terselip angan-angan Alif saat ia berkunjung ke Bandung. Saat itu penonton seperti hanya sekadar diingatkan dengan ambisi Alif di awal film tetapi tidak ada tindak lanjut sampai film usai. Masalah yang ditampilkan timbul tenggelam seolah tidak penting bagi para tokohnya. Di samping itu, ada sejumlah masalah kecil yang sebenarnya bisa menjadi mengaitkan para tokoh. Saat itulah penantian tersebut membuahkan kebosanan dan ritme yang serba datar tidak memberikan letupan perasaan yang begitu menggebu-gebu. Banyaknya tokoh yang disorot dan juga tokoh pendukung yang muncul bisa jadi alasan dari alpanya perasaan itu.
Ansambel yang Akrab
Lantas, dari mana perasaan hangat yang di awal sempat disebut menjadi salah satu kekuatan film ini? Terlepas dari plot cerita yang cenderung lambat dan tak beraturan, keenam tokoh utama yang tergabung dalam ansambel film ini mempunyai kekuatan tersendiri. Alif menjadi tokoh sentral lengkap dengan ambisinya meninggalkan pondok, tetapi terbentur dengan ikatan persahabatan yang dimiliki. Baso, siswa asal Gorontalo mungkin menyisakan sedikit kesan yang berbeda dibanding lima tokoh lainnya. Ia tampak sederhana, cerdas, dan bersahaja. Di balik kesederhaannya itu, ada sisi yang begitu menyentuh Alif dan kawan-kawan, termasuk menyisakan ruang hangat bagi penonton.
Sekilas ada momen-momen penuh pesan ala motivator yang mencoba membakar semangat. Seperti Ustad Salman yang begitu berapi-api di awal, ada seseorang dalam enam sekawan ini yang tanpa disadari memiliki kemampuan serupa dengan sang ustad tetapi dengan cara yang lebih menyentuh. Baso sukses meredam emosi-emosi Alif atau teman-teman saat menemukan perselisihan. Di adegan yang cukup emosional, Baso harus kembali ke kota kelahirannya demi mengurus neneknya yang sakit keras. Kelima kawannya mengelilingi dengan wajah sedih, nyaris berlinang air mata.
Baso sebagai orang yang ditangisi terlihat santai dan tidak menahan beban. Terjelaskanlah peran Baso sebagai wingman sang tokoh utama. Perannya memberi dampak pada jalan cerita dan merekatkan tokoh-tokoh lainnya. Kelekatan para tokoh ini yang akhirnya membangun kehangatan antarpribadi. Penonton disuguhkan sisi menyenangkan saat mereka masih berangan-angan menjelajahi dunia pasca kelulusan mereka dari pondok. Impian yang serba selangit itu kembali didukung lewat aksi-aksi keenamnya mencoba mendobrak aturan pondok yang serba ketat. Momen yang satu persatu terjadi itulah yang membuat adanya pertemuan rasa nyaman persahabatan, dan juga nostalgia ambisi yang dibangun lewat ansambel pemain film ini.
Jika sejak awal sudah muncul tebakan seputar ke mana alur cerita akan berjalan, mungkin karena formula yang digunakan terasa begitu akrab bagi penonton film Indonesia serupa. Tentunya formula mujarab ini tidak berhenti sampai sini saja. Konon sederet film-film adaptasi berpola sama siap diluncurkan tahun 2012 ini. Setidaknya keakraban enam sekawan Negeri 5 Menara masih sangat nikmat untuk diikuti, meski formula filmnya sendiri sudah terlalu familiar.
Negeri 5 Menara | 2012 | Sutradara: Affandi Abdul Rachman | Negara: Indonesia | Pemain: Gazza Zubizareta, Rizki Ramdani, Billy Sandy, Jiofani Lubis, Ernest Samudera, Aris Putra, Lulu Tobing, Ikang Fawzi
Also published on cinemapoetica.com
Formula ala Laskar Pelangi ternyata menular juga pada Negeri 5 Menara, baik novelnya yang ditulis Ahmad Fuadi maupun adaptasi filmnya yang disutradarai Affandi Abdul Rachman (sebelumnya The Perfect House, Heartbreak.com, dan Pencarian Terakhir). Kedua karya ini mempunyai pola cerita yang tak ayal menyandingkan keduanya dalam satu lini yang sama. Bermimpi, menjadikan mimpi itu nyata, menemui kegagalan, dan akhirnya muncul sebuah pertanyaan krusial, ”Apakah semua mimpi akhirnya harus terwujud untuk dikategorikan sebagai sebuah kesuksesan?”
Penantian Panjang dan Lambat
Film Negeri 5 Menara berkisah tentang Alif, pemuda yang menghabiskan hidupnya di tengah keluarga relijius di Tanah Gadang. Ia bermimpi menjejakkan kaki di Pulau Jawa dan masuk dalam barisan mahasiswa sebuah kampus tersohor di Bandung. Sayang, orangtuanya menganggap sia-sia kalau sudah sampai Jawa Alif tidak menuntut ilmu agama. Jadilah Alif seorang murid Pondok Madani. Untungnya, ada kelima sahabatnya yang sukses membuat Alif sedikit kerasan di tengah peraturan yang mengikat dan kadang terkesan konyol. Bersama Baso, Atang, Raja, Said, dan Dulmajid mereka mencari-cari mimpi apa yang bisa mereka wujudkan selepas dari pondok pesantren tersebut. Tersebutlah negara-negara dengan penandanya yang khas. Ini makin membuat enam sekawan itu makin menjadi dalam bermimpi.
Sejak awal perkenalan dengan tokoh Alif, penonton seperti diarahkan dan diberi peringatan kalau kisah hidup Alif cukup panjang untuk diikuti. Pergolakan keinginan Alif yang berbenturan dengan rasa ingin membanggakan kedua orangtuanya dijabarkan cukup detail dan panjang dalam satu perjalanan waktu. Penonton seperti diberi posisi strategis untuk menikmati perjalanan seorang anak lewat waktu yang berjalan lambat. Detail yang disampaikan seperti ingin menguliti semua gerak-gerak Alif layaknya orangtua yang protektif. Sampai masuk ke pondok pesantren, posisi itu masih tersedia bagi penonton meskipun Alif sudah tidak lagi tinggal bersama orangtuanya.
Ada Ustad Salman (Donny Alamsyah: Merantau, The Raid) yang mendadak punya posisi signifikan dengan keberadaan Alif dan kawan-kawan ini. Ustad Salman selalu tampil heroik ketika enam sekawan itu terjepit dalam situasi lemah. Sayangnya, tokoh terdekat yang seharusnya memiliki kekuatan emosional yang erat dengan anak-anak itu justru terasa layaknya tokoh sampingan yang sekadar lewat saja. Di awal, pengaruh Ustad Salman begitu terasa nyata dengan kalimat menggugah: ”Man jadda wajada.” Semangat yang di awal begitu terasa menggugah hati keenam sahabat itu malah luruh begitu saja justru di saat keenamnya tersebut makin akrab. Padahal sebagai tokoh yang sudah cukup menarik perhatian di awal, Ustad Salman bisa mengambil peran penting dalam kisah anak-anak ini selama di pondok.
Di awal terlihat jelas saat kekakuan antarsiswa masih terasa, Ustad Salman mencoba membakar semangat mereka, membuat mereka bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan mereka di pondok tersebut. Kemudian enam sekawan ini menjadi salah satu produk sukses Ustad Salman mengompori muridnya yang masih hijau dan kemudian punya banyak ambisi. Eksistensi Ustad Salman perlahan seolah menghilang pada hubungan emosional dengan para siswanya. Saat akhirnya Ustad Salman meninggalkan pondok, tidak ada kontak yang dilakukan dengan keenam siswa tersebut. Entah adegan sengaja tidak dibuat dramatis yang berlebihan, atau ingin menyampaikan peran Ustad Salman sudah selesai. saatnya ia pergi meninggalkan Alif dan kawan-kawan yang sedang berapi-api mengejar mimpinya.
Pertanyaan lainnya: sampai kapan penonton harus menunggu hingga konflik mulai muncul ke permukaan? Sepanjang film penonton dihadapkan masalah-masalah kecil yang tidak berdampak bagi jalan cerita atau pun hubungan antar tokohnya. Contohnya keinginan Alif sekolah di ITB. Berbagai cara ia coba supaya bisa masuk sana, termasuk menyabotase ujiannya sendiri. Di tengah-tengah cerita juga terselip angan-angan Alif saat ia berkunjung ke Bandung. Saat itu penonton seperti hanya sekadar diingatkan dengan ambisi Alif di awal film tetapi tidak ada tindak lanjut sampai film usai. Masalah yang ditampilkan timbul tenggelam seolah tidak penting bagi para tokohnya. Di samping itu, ada sejumlah masalah kecil yang sebenarnya bisa menjadi mengaitkan para tokoh. Saat itulah penantian tersebut membuahkan kebosanan dan ritme yang serba datar tidak memberikan letupan perasaan yang begitu menggebu-gebu. Banyaknya tokoh yang disorot dan juga tokoh pendukung yang muncul bisa jadi alasan dari alpanya perasaan itu.
Ansambel yang Akrab
Lantas, dari mana perasaan hangat yang di awal sempat disebut menjadi salah satu kekuatan film ini? Terlepas dari plot cerita yang cenderung lambat dan tak beraturan, keenam tokoh utama yang tergabung dalam ansambel film ini mempunyai kekuatan tersendiri. Alif menjadi tokoh sentral lengkap dengan ambisinya meninggalkan pondok, tetapi terbentur dengan ikatan persahabatan yang dimiliki. Baso, siswa asal Gorontalo mungkin menyisakan sedikit kesan yang berbeda dibanding lima tokoh lainnya. Ia tampak sederhana, cerdas, dan bersahaja. Di balik kesederhaannya itu, ada sisi yang begitu menyentuh Alif dan kawan-kawan, termasuk menyisakan ruang hangat bagi penonton.
Sekilas ada momen-momen penuh pesan ala motivator yang mencoba membakar semangat. Seperti Ustad Salman yang begitu berapi-api di awal, ada seseorang dalam enam sekawan ini yang tanpa disadari memiliki kemampuan serupa dengan sang ustad tetapi dengan cara yang lebih menyentuh. Baso sukses meredam emosi-emosi Alif atau teman-teman saat menemukan perselisihan. Di adegan yang cukup emosional, Baso harus kembali ke kota kelahirannya demi mengurus neneknya yang sakit keras. Kelima kawannya mengelilingi dengan wajah sedih, nyaris berlinang air mata.
Baso sebagai orang yang ditangisi terlihat santai dan tidak menahan beban. Terjelaskanlah peran Baso sebagai wingman sang tokoh utama. Perannya memberi dampak pada jalan cerita dan merekatkan tokoh-tokoh lainnya. Kelekatan para tokoh ini yang akhirnya membangun kehangatan antarpribadi. Penonton disuguhkan sisi menyenangkan saat mereka masih berangan-angan menjelajahi dunia pasca kelulusan mereka dari pondok. Impian yang serba selangit itu kembali didukung lewat aksi-aksi keenamnya mencoba mendobrak aturan pondok yang serba ketat. Momen yang satu persatu terjadi itulah yang membuat adanya pertemuan rasa nyaman persahabatan, dan juga nostalgia ambisi yang dibangun lewat ansambel pemain film ini.
Jika sejak awal sudah muncul tebakan seputar ke mana alur cerita akan berjalan, mungkin karena formula yang digunakan terasa begitu akrab bagi penonton film Indonesia serupa. Tentunya formula mujarab ini tidak berhenti sampai sini saja. Konon sederet film-film adaptasi berpola sama siap diluncurkan tahun 2012 ini. Setidaknya keakraban enam sekawan Negeri 5 Menara masih sangat nikmat untuk diikuti, meski formula filmnya sendiri sudah terlalu familiar.
Negeri 5 Menara | 2012 | Sutradara: Affandi Abdul Rachman | Negara: Indonesia | Pemain: Gazza Zubizareta, Rizki Ramdani, Billy Sandy, Jiofani Lubis, Ernest Samudera, Aris Putra, Lulu Tobing, Ikang Fawzi
Also published on cinemapoetica.com
Subscribe to:
Posts (Atom)