Friday, June 08, 2012
Geli-Geli di Gili (Part One)
Buat pekerja yang punya jam wajib lapor di kantor nine to five seperti saya, liburan intinya bisa kabur sejauh-jauhnya dari rutinitas atau kejaran deadline. Bisa juga mencari suasana berbeda dari kota Jakarta yang bikin penat. Bagi saya, ada hidden agenda sendiri dalam liburan, menciptakan tantangan baru dalam menjelajah. Bagaimana menuntaskan segala tantangannya menjadi keseruan sendiri bagi saya. Namun, nampaknya liburan bulan Mei ini saya menghapus jauh-jauh agenda berpetualang kali ini. Liburan intim kali ini hanya dengan Olla dan judulnya laid back holiday. Pilihannya jatuh ke Gili Trawangan dan Lombok berangkat dari Jakarta menuju Denpasar, Bali.
Dalam lima hari, kami memadatkan destinasi hanya di Gili Trawangan dan berencana menjelajah Lombok. Perjalanan dimulai saat kami tiba di Denpasar dan menuju hostel kami di Legian. Pesawat yang delay hampir 45 menit membuat kami tiba di daerah keramaian Legian nyaris tengah malam. Memang tidak ada agenda khusus malam itu, tapi sayang rasanya kalau menyianyiakan Bali begitu saja. Akhirnya, 1st stop kami makan di warteg favorit, Nasi Pedas Bu Andika. Berhubung nggak banyak yang bisa dilakukan malam hari, menikmati makan malam sederhana di warung yang buka 24 jam sudah cukup memuaskan hati dan perut kami.
Perjalanan menuju Gili pun dimulai besok paginya. Menurut itinerary perjalanan akan ditempuh lewat dua moda transportasi. Pertama, ± 60 menit dari Legian ke Pelabuhan Padang Bai dengan mobil lalu 2 jam dengan fast boat ke pelabuhan Gili Trawangan. Sejak seminggu sebelumnya, kami sudah memesan paket jemput mobil dan fast boat. Paket yang kami dapat Rp 600.000/orang untuk return ticket. Kalau mau beli one way dari Padang Bai langsung Rp 200.000/orang. Saat menunggu, muncullah seorang laki-laki yang kira-kira sebaya Saya, namanya Sandi. Mengaku liburan sendiri dan meminta bergabung. Nantinya akan banyak cerita seru dengan Sandi ini. Dua jam berlalu, tibalah kami di Pelabuhan Gili Trawangan. Baru tiba, Saya sudah terkesima. And it was just a beginning!
Our boat : Eka Jaya!
Gili Trawangan merupakan pulau yang paling ramai dari tiga pulau Gili lainnya, Gili Air dan Gili Meno. Lokasinya berdekatan satu sama lain dan dengan glass bottom boat bisa ditemput lebih kurang dalam 40 menit. Dibandingkan Bali, Gili Trawangan jauh lebih banyak dipenuhi oleh turis asing. Saya bisa hitung berapa banyak turis lokalnya. Kabarnya, Gili Trawangan jadi lokasi wajib di Indonesia menurut beberapa buku panduan liburan keluaran penerbit asing. Bahkan, media Inggris, Guardian menyebut Gili sebagai The New Ibiza!
Di Gili nampaknya lebih cocok buat liburan bersama teman atau pasangan, mengingat kehidupan malamnya cukup seru tetapi banyak juga turis yang membawa anak-anaknya. Layaknya liburan suasana laut, kegiatan wajibnya adalah snorkeling dan diving. Beberapa resort menyediakan private lesson diving di kolam khusus hanya dengan 3-5 hari saja. Untuk snorkeling, paketnya Rp 100.000 ke tiga spot snorkeling termasuk sewa snorkeling mask. Mulai jam 10 pagi berkumpul di pelabuhan dan akan keliling ke tiga spot, termasuk spot di dekat Gili Meno tempat kura-kura bersarang. Pecinta kehidupan bawah laut, nikmati warna-warni ikan yang mirip Nemo di tengah karang putih dan barisan ikan warna keperakan yang berenang beriringan. Cantik!
Apalagi kegiatan di Gili Trawangan? Di pulau yang luasnya lebih kurang 340 Hektar ini bisa disusuri dengan sepeda yang bisa disewa perharinya. Menurut penjaga hostel kami, sore hari wajib menikmati sunset di sunset spot yang ditempuh 30 menit bersepeda. Di sunset spot ini ada tiga lokasi yang bisa dipilih, termasuk dua reggae bar yang banyak dijadikan spot fotografi oleh beberapa orang dengan kamera yang cukup serius. Sambil menatap merahnya senja, pilihan minuman juga dihadirkan untuk menemani musik-musik ajaib yang dipasang. (Yes, lagu yang paling cocok buat saya hanya Ace of Base-All That She Wants). Bir dingin atau milkshake dipatok hanya Rp 25.000 saja terasa makin menyenangkan untuk dinikmati. Kejadian menarik setelah menikmati sunset, nampaknya saya dan olla terlalu asyik sampai lupa kalau perjalanan kembali ke pusat resor jauh dan minim pencahayaan. Alhasil, kami meraba-raba jalanan yang super gelap dan sedikit berpasir dengan sepeda tanpa lampu! Dengan kecepatan kurang dari 20km/jam kami berusaha waspada karena sesekali ada Cidomo (sejenis andong) yang akan lewat dalam kegelapan. Sampai akhirnya, ada lampu dari sepeda yang lewat dan ternyata seorang turis asal Shanghai yang melintas dengan aplikasi lampu dari iPhonenya. Akhirnya kami bisa kembali ke pusat Gili dengan selamat dan cepat!
Hal lain yang agak random saya lakukan di Gili adalah yoga. Awalnya saya memang sempat membayangkan akan yoga di pinggir pantai, tetapi berhubung tidak menyiapkan apapun saya lupakan rencana itu. Ternyata ada yoga studio yang secara rutin membuka kelas tiap pagi dan sore selama 90 menit. Lokasinya semi-outdoor dan dengan instruktur orang asing yang memandu 15-20 orang peserta yoga. Kelas vinyasa yang saya ikuti merupakan kelas all level jadi nggak perlu takut kalau yogi lainnya sudah jago. Untuk kelas yang instrukturnya orang asing, cukup murah hanya Rp 90.000 per pertemuan sudah disediakan mat.
Selain pemandangan cantik, yang tidak boleh absen adalah menikmati kuliner di pinggir pantai. Ada banyak pilihan dari mulai yang highend, warung pinggiran, sampai pintar-pintar memanfaatkan happy hour. Beberapa orang menganggap makan di Gili mahal, bisa coba beberapa trik yang kami lakukan. Tentunya liburan saatnya memanjakan diri, termasuk memanjakan perut. Di Gili sendiri jejeran resto seafood sangat menggoda iman dan lidah. Salah satunya, Scallywags yang punya resor sendiri dan interior yang cantik. Malam pertama kami putuskan untuk menikmati lobster dan ikan kakap yang lebih dari cukup porsinya untuk berdua. Total kerusakan sekitar Rp 140.000/orang termasuk nasi putih atau kentang panggang dan minum. Memang terasa mahal, tapi itu hanya hari pertama.
Pasar Seni dan Jajanannya!
Besok dan seterusnya, kami menghabiskan makan malam di Pasar Seni yang menjual banyak pilihan khas tradisional seperti sate ayam, nasi goreng, mie ayam sampai martabak. Harga makanan berkisar dari Rp 10.000-25.000 sudah cukup memuaskan perut kami. Untuk minuman, bar-bar di Gili mematok harga sangat murah untuk alkohol lokalnya. Untuk double shoot mixer gin tonic, Jack D Cola dan teman-temannya hanya Rp 20.000 di bar lokal Rudy’s atau Tir Na Nog. Untuk imported spirits harganya mulai Rp 40.000 saja! Belum lagi promo buy one get one, happy hour atau ladies night yang bisa dinikmati kapanpun. Buat kamu yang suka jajan di warung atau perlu beli keperluan sehari-hari, perlu lebih hati-hati karena warung-warung punya penduduk setempat mematok harga bule jadi terkadang mereka tidak peduli kalau kamu turis lokal. Sempat dibuat kesal, ketika saya mendadak memerlukan pembalut dan warung menjualnya seharga Rp 25.000 untuk isi 5 buah yang merknya pun tidak familiar. Di saat genting seperti itu saya tidak punya pilihan. Saya pun menyerah ketika ditawar hanya turun sampai Rp 20.000. Padahal saat saya cek di toko sebelah, mereka menjual dengan harga normal bermerk familiar.
Sudah sejauh ini, cuma ke Gili Trawangan aja? Read more stories on part two :)
Subscribe to:
Posts (Atom)