Monday, July 14, 2008

And The Boy That Im Going to Miss..



Siang ini di kamar volunteer #2, saya sedang berkumpul dengan semua volunteer. Setelah review dan recap apa saja yang akan dilakukan esok hari, kami bercanda-tawa sambil makan-makan kecil. Tiba-tiba saja, Jean, salah satu volunteer asal Taiwan teringat sesuatu dan ia memberikan kertas kecil putih sambil membacakannya.


Kira-kira Artinya :
Brothers Sisters, I love you and please don’t forget me. Im not gonna forget you.I come back again soon. Bye-bye.

Ah, saya jadi teringat pada Yu-Chun, si kecil dari tiga bersaudara yang menulis itu karena hari ini ia dan kedua kakaknya meninggalkan Taiwan Christian Faith Hope Love Children’s Home, tempat saya magang sebagai volunteer atau social worker liburan ini. Dia salah satu anak favorit saya dan saya sudah cukup terbiasa dengan tingkah lakunya yang menggemaskan meskipun terkadang sangat hiperaktif.
Tempat ini sekilas terlihat seperti panti asuhan (dengan versi yang lebih canggih dan terawat pastinya) yang kalo di Jakarta mungkin menampung anak-anak yatim piatu dan kurang mampu. Bedanya tempat ini diprovide sama pemerintah dan dibantu sama NGO dan juga social workernya. Background anak-anaknya juga beda-beda, dari yang memang dari kecil sudah tinggal di sini karena mereka ditemukan di tempat yang tidak appropriate atau ada juga yang tinggal di sini sebagai ‘pelarian’ dari rumah mereka. Dari mulai anak-anak yang orangtuanya nggak mampu ngebiayain mereka sampai anak-anak yang jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Nggak heran mentally mereka needy banget sama orang-orang di sekitarnya terutama sama volunteer yang datangnya belum tentu satu tahun sekali. Mereka bisa dibilang, physically, in a very good condition. Artinya perawakannya bersih, sehat, dan capable buat melakukan aktivitas-aktivitas yang kita buat. Kalau kita lihat lebih dalam, mereka rata-rata terlihat lebih muda dari umurnya. Ada satu anak perempuan yang mengaku umurnya 12 tahun tapi fisiknya terlihat seperti anak usia 6 tahun. Lain lagi dengan anak laki-laki yang perawakannya tinggi besar dan cenderung gemuk, bicaranya agak tersendat dan sulit menangkap apa yang kita ungkapkan. Hal ini terjadi pas Saya assist dia ngerjain summer homework. Saya ngebacain vocabulary dalam bahasa Inggris. Waktu Saya minta dia ulang kata-kata itu, sulit sekali untuk mengulang kata-kata itu. Memang buat beberapa orang yang terbiasa pakai bahasa Cina, bahasa Inggris menjadi sangat sulit karena beberapa abjadnya tidak mereka dapat dalam bahasa Ibu mereka. Tapi saat itu Saya hanya memberikan 4 kata dan dia tidak bisa mengingat bahkan mengulangnya sama sekali. Di akhir sesi itu, turns out gurunya memberi tahu saya bahwa dia memiliki sedikit keterbelakangan mental. Saya pun mengerti dan makin jelas ketika Saya baca tulisannya (dan Saya kroscek sama volunteer asal Taiwan), dia nggak menulis the exact words of Chinese.
Hari ini libur namun kami semua bangun pagi untuk melepas kepergian 3 anak yang akan pulang ke rumah. Salah satunya, Yu-Chun. Agak terlambat memang, namun kejadian pagi ini saya rasa menjadi awal dari rasa keterikatan yang ada pada diri saya sampai tanggal 18 nanti saat service di Children’s Home ini berakhir.
Sejak dua hari yang lalu, Saya sudah diberi tahu kalau ada sekitar 9 anak yang akan pulang ke rumahnya. Seperti biasanya kami bangun jam 6-an dan siap-siap sarapan jam 6.20. Setelah itu biasanya kami tidur lagi, dan karena kami tahu anak-anak itu akan pergi jam 10-an, kami sudah siapkan alarm supaya bangun jam 9-an. Nah, ketika Saya sama Jean mau ambil barang di kantor, kami melihat tiga anak itu udah siapin barang-barangnya di hall. Jelas aja kita heboh karena volunteer lainnya masih pada tidur. Langsung Saya dan Jean bangunin mereka dan akhirnya kita sempet main-main dan foto-foto. Nggak lama, kita dikasih tau kalau bapak anak-anak itu udah sampe dan mereka siap buat berangkat. Terkaget-kaget lah Saya, ternyata mereka masih punya orangtua. Penasaran dengan bentuk rupa bapak yang membiarkan mereka tinggal di children’s home sedangkan mereka masih ‘ada’.

Children’s home ini terletak di daerah semi pedalaman buat Saya. Perlu 4 sampai 5 jam naik mobil dan perlu kendaraan lagi untuk masuk ke lokasi Children’s Home ini. Keluar dari jalan kecil ini kita masih bisa menemukan 7 Eleven dan beberapa restoran kecil. Tapi untuk mencapainya, mustahil tanpa kendaraan. Apalagi sekeliling Children’s Home banyak perkebunan. Konon lokasi ini dibuat dengan sengaja karena (konon juga) anak-anak itu bukan dengan ‘restu’ orangtuanya tinggal di children’s Home. Ada peraturan juga mengenai pelarangan publikasi foto wajah anak-anak itu. Khawatirnya bagi mereka yang orangtuanya tidak mengetahui keberadaan anak-anak mereka, bisa saja mencari dan mengambil kembali anak-anak yang sudah tidak mereka urus itu. Masih meninggalkan banyak tanya, bagaimana mungkin jika satu orangtua yang masih sanggup memiliki kendaraan (atau menyewanya) justru menelantarkan anak-anaknya di Children’s Home. Yah, memang di sini semua kebutuhan mulai makan 3 kali sehari, tempat tidur, bahkan kegiatan wisata seperti outing bisa didapat dan dilakukan bersama guru-guru yang juga tinggal di sini. Mereka butuh lebih dari itu. Saya rasa kasih sayang orangtua itu priceless. Masa sih karena ketidaksanggupan mereka membiayai hidup anak-anak mereka lalu mereka menyerah dan membiarkan anak-anak itu kehilangan masa kecilnya dengan orangtua mereka berlalu begitu saja.
Atau mungkin kasih sayang mereka sebatas itu saja, mereka belum mau berkorban atau berusaha lebih keras demi hidup berdampingan dengan anak-anak yang (seharusnya) mereka sayangi.
Entahlah.
Untuk mereka yang terbuang atau teraniaya Saya nggak bakal berkomentar banyak.


Laki-laki itu berperawakan sedang dengan kulit yang coklat terbakar dan nggak kayak orang-orang Taiwan yang selama ini Saya lihat. Dia datang dengan mobil sejenis kijang ditemani oleh satu orang laki-laki juga tapi nggak terlalu jelas. Nggak lama, tiga saudara ini masuk ke kantor setelah sebelumnya dadah-dadah sama kita yang ada di lobby. Selang beberapa menit, mereka keluar lagi dengan mobil itu sudah siap meluncur di depan kantor dan bagasi mereka juga sudah masuk ke dalam mobil. Satu persatu mereka masuk ke mobil. Kaca jendela mobil terbuka dan dari dalam mobil, dan dengan suara kecil mereka,
Bye bye, Jiejie.
That’s the final goodbye. And it breaks my heart.

1 comment:

sense the essence! said...

Na, tentang ayahnya Yu-Chun, gw rasa wajar kalau orangtua yang ga mampu nitipin anaknya di panti kalo memang disana anaknya bisa dapet kehidupan yang lebih layak. Justu menurut gw itu nunjukin ketidakegoisan orangtua demi kebahagiaan anak!.. (dengan syarat ini dilandasi kasih sayang yang tulus dan tak bersyarat dari orangtua si anak)

Kecuali kalo emang orangtua dia careless dan sengaja abandon dia karena dianggap nyusahin!, dan gw rasa dengan kedatangan ayahnya Yu-Chun nunjukin kalo dia masih care sama anaknya.

menurut gw cinta atau kasih sayang itu bukan "aku ingin dia selalu bisa membahagiakan aku"..tapi.."apa yang bisa aku lakukan untuk kebahagiaan dia"...

;)