Musim festival film di Indonesia sudah dimulai! Dari bulan Juni lalu, Goelali Film Festival yang menampilkan film-film bertemakan anak digelar di Museum Bank Indonesia dan kemudian disusul oleh Kidfest yang acaranya berdekatan dengan Hari Anak Nasional, 23 Juli lalu. Sayangnya saya melewatkan kedua acara yang digelar perdana tahun ini tersebut. Agustus ini akhirnya saya bisa ikut keriaan yang digelar oleh Q-munity dalam Q Film Festival 2009. Acara yang sudah dimulai sejak 26 Juli lalu ini berakhir 5 Agustus lalu. Dua film yang sempat saya tonton, Jihad For Love dan antologi film Love Man Love Woman,Diana,dan Le Turkey.
Film Jihad For Love yang disutradarai oleh Parvez Sharma merupakan film produksi Amerika di tahun 2007. Film documenter ini bercerita tentang kehidupan orang-orang yang tinggal di negara Islam dan mereka sudah mengaku kalau mereka homoseksual. Amir, Muchsin, Maryam, dan Mazen adalah warga dunia. Mereka lahir dan besar di Turki, Mesir dan Iran yang dikenal sebagai negara dengan populasi Islam yang terbesar. Muchsin, laki-laki asal Mesir ini telah menikah dan punya tiga anak. Ia merupakan imam di salah satu mesjid dan ia membuat pengakuan bahwa ia gay di sebuah media cetak. Aksinya itu berdampak panjang dan ia pun kehilangan pekerjaannya. Muchsin pernah berpikir bagaimana kalau ia terkena hukuman mati karena homoseksual dilarang di Mesir. Amir harus menerima siksaan di Iran dan akhirnya pindah ke Turki karena homoseksual dianggap sebagai suatu kejahatan. Ia pun bertemu dengan Payam, Mojtaba, dan Arsham. Akhirnya, secara bertahap mereka mendapat suaka dan pindah ke Kanada untuk hidup yang lebih manusiawi. Mazen belum berani membuka kedoknya setelah ia masuk penjara karena ia seorang homoseksual dan diperlakukan layaknya binatang. Potret kehidupan manusia yang berjuang karena mereka ‘berbeda’ ini disajikan dalam bentuk yang cukup kontradiktif. Seperti yang banyak dipahami umat muslim, pandangan terhadap kaum homoseksual tertulis di kitab suci Al-qur’an dan dianggap sesuatu yang dilarang. Perilaku kaum Sodom dan Gomorrah menggambarkan bagaimana homoseksual adalah sesuatu deviasi seksual.
Keempat tokoh sentral dalam film ini merupakan umat yang takwa pada ajaran agama dan giat melaksanakan kewajiban ibadah. Hal ini menjadi sangat kontradiktif, di tengah ketaatan mereka shalat, mengkaji isi Al-qur’an, puasa, dan menutup auratnya, mereka dihadapkan pada sesuatu yang dianggap haram namun tidak bisa mereka hindari secara naluriah. Pertanyaan-pertanyaan muncul apakah memang Tuhan menciptakan kaum homoseksual di dunia ini? Kalau iya, mengapa seolah mereka diciptakan seolah berbeda dari manusia lainnya? Muchsin pernah meminta dan berdoa untuk ditunjukkan jalan apabila homoseksual itu salah. Pernikahan Muchsin dengan seorang wanita bukanlah jawaban dari pertanyaan yang justru makin menyiksanya. Muchsin akhirnya menerima keadaannya dan begitu pula anak-anaknya yang tetap berada di sisinya.
Simbol deviasi yang dialami tokoh-tokoh ini ditunjukkan dengan jelas dalam film ini. Saat Amir harus pindah dari Iran ke Turki, ia digambarkan sedang mengenakan pakaian dan hijab yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia adalah laki-laki di balik atribut perempuan itu. Sosok yang ditampilkan dengan hijab adalah wanita, namun atribut itu hanyalah topeng yang berusaha ditonjolkan untuk berlindung. Amir seolah merasa aman di balik jubah kewanitaannya padahal atribut wanita itulah yang membuat Amir tersiksa. Ironi. Perbedaan tempat tinggal juga ditunjukkan dengan perbedaan warna tembok warna hijau dan oranye yang bersebelahan. Rumah yang berada dalam satu wilayah itu seolah tidak mau disamakan antara kaum hetero dan homoseksual. Pandangan masyarakat atas penyimpangan itu membuat mereka ingin mengotak-kotakan kaum homoseksual di luar lingkungan mereka. Simbol lain muncul dalam adegan tiga sahabat Payam, Amir, dan Mojtaba. Mereka kerap bercerita bagaimana pernikahan mereka berlangsung sambil bersantai di atas bukit. Ketika ada iring-iringan jenazah, mereka berdiri di atas bukit dan memandang jenazah itu. Sosok ketiga lelaki tersebut tidak digambarkan dengan jelas tetapi hanya lewat siluet bayangan yang ada di atas bukit, berbeda dengan orang-orang yang sedang menggiring jenazah. Bagi orang lain, keberadaan Payam dkk menjadi bayangan yang tidak dapat tersentuh dan berbeda dari mereka yang seolah benar-benar ‘nyata’. Kelompok homoseksual seolah hidup dalam dunia yang tidak nyata dan terbatas. Dunia mereka seakan gelap dan tertutup. Simbol agama yang terasa sangat dalam adalah adegan terakhir ketika mereka semua mencoba menyatakan bahwa Tuhan adalah Maha Pengampun jadi jangan pernah berhenti memohon ampun atas apa yang dilakukan umat-Nya. Tidak ada yang bisa menghakimi umat manusia bahwa ia berdosa atau tidak selain Sang Pencipta. Dialog ini diiringi dengan adegan duduk tahiyat saat shalat.Saat mereka mengeluarkan telunjuknya dan mengucapkan bacaan tahiyat yang bermakna bahwa umat Muslim yang berjanji menyembah Allah dan selanjutnya adalah bentuk pengabdian manusia terhadap Tuhannya. Begitu pula dengan janji Allah yang berjanji mengampuni hamba-Nya. Tanpa perlu orang lain menghakimi dan berusaha membuat perhitungan dosa umatnya, urusan religi selalu menjadi hubungan yang pribadi bagi manusia dan Tuhan yang menciptakannya. Sesuai dengan judulnya, mereka sedang berjuang, berjihad. Berjuang atas cintanya terhadap Tuhan dan sesamanya. Mereka tidak mau kehilangan cinta Allah karena perbedaan yang dimilikinya karena bagi mereka cinta Allah lah yang terbesar dan bentuk pengabdian manusia pada Sang Pencipta.
source www.ajihadforlove.com
No comments:
Post a Comment