Friday, August 06, 2010

Sakit yang Tersisa dari Dua Belas Tahun Lalu



Apa yang tersisa dari kejadian Mei 1998? Tentu banyak yang tersakiti dan banyak pula yang terkubur ceritanya dan tidak berharap pernah membukanya lagi. Memoar tentang kejadian ini salah satunya ditulis oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya, Clara. Cerpen tersebut bercerita tentang gadis Tionghoa yang menjadi korban kebejatan warga pribumi yang memperkosa dan merampas hartanya. Bukan hanya itu, petugas yang seharusnya membantu Clara menyelesaikan masalahnya justru seolah tidak peduli dengan penderitaan Clara dan menambahkan cibiran pada penderitaan yang diderita gadis itu.

Dalam sinema Indonesia, bulan Mei 1998 menorehkan cerita dalam layar, salah satunya film MAY karya Viva Westi yang sudah beberapa kali diputar salah satunya di Jakarta International Film Festival 2009. Setelah 2 kali terlewatkan, akhirnya MAY kembali diputar di layar Kineforum "Identitas Untuk Semua", 3 Agustus lalu.

Film yang memenangkan 11 dari 12 nominasi pada Festival Film Indonesia 2008 * ini mengangkat kisah-kisah di balik tragedi 13 Mei 1998. Etnis Tionghoa yang banyak menjadi korban disimbolkan oleh (lagi-lagi) perempuan yang menjadi korban perkosaan dan harus menanggung derita terpisah dengan keluarganya. May (Jenny Chang) gadis yang sedang menjalin cinta dengan Ares (Yama Carlos) laki-laki pribumi yang sedang meniti karir menjadi pembuat film documenter terjebak dalam kerusuhan 13 Mei 1998 ketika ia sedang casting di sebuah rumah produksi. Ares yang berjanji menjemputnya tidak datang dan naasnya May pun menjadi korban perkosaan. May ditolong oleh seorang jurnalis asing yang akhirnya merawat anak yang dilahirkan May.

Petaka tidak hanya menimpa May, ibu May Cik Bing (Tutie Kirana) terjepit dalam situasi kehilangan jejak May dan usaha menyelamatkan diri ke luar negeri. Dengan berbekal selembar sertifikat tanah, Cik Bing pun meninggalkan tanah air demi keselamatannya.
Tahun berlalu, tragedi itu masih menyisakan pertanyaan dan perih korban-korbannya. May yang bekerja menjadi penyanyi kafe di Malaysia ternyata masih menarik perhatian Ares yang mencarinya untuk meminta maaf. Cik Bing pun masih terperangkap dengan kesendiriannya. Tiba-tiba muncul tokoh Gandang (Lukman Sardi) yang entah darimana hubungannya dengan May atau Ares. Ternyata, munculnya tokoh Gandang inilah awal dari keperihan yang lebih mendalam dari tragedi ini.

Gandang adalah salah satu korban yang dijadikan alat oleh orang-orang yang memanfaatkan keterbatasan akomodasi dalam aksi penyelamatan diri etnis Tionghoa dari chaos 1998. Bekerja di sebuah hotel, Gandang menjadi saksi kebejatan seorang staff hotel yang tega menjual 3 lembar tiket pesawat dengan sebuah mobil sedan bahkan 1 lembar tiket pesawat dengan sepetak tanah. Kala itu Gandang yang hanya buruh cuci tentu tergoda, apalagi ia diiming-imingi naiknya nilai tanah yang bisa ia nikmati tanpa harus susah-susah bekerja. Gandang beberapa tahun kemudian menyesali perbuatannya. Masih melekat di pikirannya wajah ibu yang kebingungan, Cik Bing yang masih tidak mengetahui keberadaan May akhirnya menyerahkan harta benda satu-satunya demi keselamatannya di negeri orang. Tak heran Cik Bing dan beberapa keluarga etnis Tionghoa yang saat itu memang menjadi korban merasa lebih baik melarikan diri karena di negara yang tercetak di paspor sebagai kewarganegaraannya, keamanan adalah barang langka. Menyakitkan melihat rasisme menjadi alat untuk merasakan kenikmatan sesaat. Alat untuk menikmati barang jarahan yang selama ini hanyalah mimpi dari sebuah kemewahan untuk memiliki, alat untuk memuaskan nafsu yang selama ini bersembunyi di balik pakaian tertutup, dan juga kekuatan untuk memeras dalam suasana terjepit yang selama ini kekuatan mereka tidak pernah dipedulikan. Berapa lama kemewahan, kepuasan, dan kekuatan itu bertahan? Sekejap. Sakitnya? Abadi.

*sumber inilah.com
Foto berbagai sumber

No comments: