Wednesday, December 22, 2010

Working Girls, Just Like You!



Seberapa sering kita mengganti channel televisi tiap ada tayangan musik dangdut atau kontes bakat? Seberapa sering kita menolak ajakan menonton pertunjukan sarat kedaerahan? Atau setiap kali waria yang muncul di depan kaca mobil kita sambil mengamen tangan kita hanya melambai lalu abaikan?

Ternyata puluhan jiwa berada di belakang tiga pekerja tersebut yang mayoritas adalah pekerja perempuan. Mereka yang hidupnya konon bisa berubah dari sebuah kontes adu bakat, mereka yang hidupnya berkisar di satu lokasi saja demi mempertunjukkan yang sepi penonton dan minim bayaran, dan juga mereka yang bertaruh nyawa karena pilihan hidup sebagai waria.

Working Girls adalah film antologi hasil workshop Kalyana Shira Foundation dan Kalyana Shira Film yang berusaha mengemas dan menyuarakan tiga isu tersebut lewat tangan 5 sutradaranya. Menyoroti para perempuan pekerja yang ternyata memikul beban berat sepanjang mereka mencari nafkah. Hasilnya? bisa segenggam berlian atau hanya sekadar sesuap nasi. Working Girls berisi 5 Menit lagi ah..ah..ah karya Sally Anom Sari dan Sammaria Simanjuntak , Asal Tak Ada Angin karya Anggi C. Noen , dan Ulfie Pulang Kampung karya Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C.Noer.

Riana, gadis belia yang memenangkan kontes bakat 'Stardut' hidupnya berubah 180 derajat dengan uang 100 juta yang didapatnya sebagai hadiah. Sontak keluarganya langsung mengubah ini-itu dari mulai merenovasi rumah sampai biaya berobat sang Ayah, Oces. Berjalannya waktu, popularitas Riana hanya bertahan dua tahun saja. Untuk menambal kebutuhan hidup keluarga, Riana pun menerima tawaran menyanyi di panggung-panggung lokal. Masalah makin terasa ketika Riana harus meneruskan sekolah dan biaya makin menipis. Di saat genting itu hadirlah Ayah Tito, laki-laki yang mengaku menyukai keluguan Riana dan bersedia mengangkat Riana jadi anak serta membiayai semua kebutuhan keluarga Riana.

Lain lagi dengan para pemain Ketoprak yang berisi senior citizen yang masih setia mengabdi pada paguyuban ketoprak yang sehari-hari hanya bisa memberikan upah 2000-8000 rupiah. Diceritakan dalam Asal Tak Ada AnginMereka yang rata-rata sudah lebih dari 10 tahun bermain ketoprak rela tinggal beratapkan seng yang sudah bobrok dan ringkih jika tertiup angin.

Transgender ibukota ternyata tidak merasa bebas dengan kehidupan urbannya. Di balik identitas yang dengan bebas mereka beberkan, ada identitas lain yang berusaha mereka tutupi yaitu sebagai ODHA lewat Ulfie Pulang Kampung Zulfikar alias Ulfie alias Koko harus memendam rahasia tentang kesehatannya ketika pulang kampung ke Aceh. Ia bahkan sudah terbuka dengan perubahan jenis kelaminnya tetapi tidak untuk yang satu itu. Ulfie juga berusaha menyelamatkan teman-teman warianya setelah satu persatu meninggal karena AIDS. Mereka yang tersisa sepertinya belum teredukasi akan pentingnya memakai kondom dan memilih berdiam di fase in denial tanpa mencoba melalukan tes darah.

Ketiga sosok perempuan tersebut berusaha menopang hidupnya dengan cara masing-masing dan dengan cobaannya masing-masing pula. Hubungan Riana dan Ayah Tito sekilas terasa akrab di telinga kita, mengingatkan kisah pedofilia yang kerap menimpa gadis-gadis lugu yang hidupnya jauh dari kota. Kasih sayang Ayah Tito yang menganggap dirinya 'ayah' terasa berbeda saat tertangkap di kamera. Bagaimana dia memangku Riana, bergandengan, memanggil 'Yang' sampai memeluk dan mencium kepala Riana tidak selayaknya kasih sayang Ayah pada anaknya. Kekhawatiran Oces justru dibantah dengan kepolosan ibu Riana. Tidak ada prasangka dari sang ibu mengamini apa kata Oces.

Para pemain ketoprak yang sudah puluhan tahun mengabdi tidak berpikir untuk pindah untuk mendapat kehidupan yang lebih layak dan semuanya dinikmati dengan tawa dan canda saja. Sosok transgender seperti Ulfie mungkin banyak mendapat cercaan dari keluarganya karena dianggap menyalahi kodrat tapi Ulfie pada akhirnya sama seperti manusia biasa yang begitu cinta pada keluarganya dan ingin melakukan giveback pada
komunitasnya, para kaum trangender.

Penayangan Working Girls yang bertepatan pada Hari Ibu 22 Desember lalu seperti ingin memaparkan bagaimana kuatnya perjalanan yang dilalui para perempuan pekerja tersebut bahkan tanpa mereka sadari. begitu juga dengan lingkungan yang memanfaatkannya, meremehkannya, menolak dan mengabaikannya. Mereka yang bekerja, menghidupi sendiri seperti yang dilakukan perempuan lain dengan pekerjaan 'konvensional' lainnya. Pada akhirnya, perempuan bekerja demi sebuah kesetaraan dirinya sendiri.

*dari berbagai sumber

No comments: