Wednesday, March 16, 2011

Tanpa Kisah Tragis, Apakah ini Cinta?



Bagaimana menceritakan kembali kisah cinta yang seharusnya romantis nan tragis ke dalam bahasa dan gerak gambar yang bisa dipahami semua umur? Film animasi memang identik dihadirkan untuk semua umur terutama menghibur anak-anak. Ketika salah satu drama seorang Shakespeare diadaptasi ke dalam animasi, tentu tidak semua originalitas yang sudah pernah ditampilkan bisa lolos juga. Kisah cinta tragis Romeo & Juliet banyak diadaptasi ke layar lebar dengan berbagai sudut pandang penceritaan. Mulai tahun 1968 diangkat ke layar lebar oleh Franco Zeffirelli dengan nuansa British Italian dan berhasil menyabet Oscar untuk "Best Cinematography" dan "Best Costume". Di era yang lebih modern, Baz Lurhmann menghadirkan duet Leonardo DiCaprio dan Claire Danes dengan nuansa yang lebih pop sebagai pasangan Romeo & Juliet di tahun 1996. Originalitas dialog Shakespeare tetap terasa meskipun latar yang sudah sangat hip dan kental suasana urban. Film lokal tidak mau kalah mengadaptasi kisah ini, perseteruan fans fanatik sepakbola Persija dan Persib menjadi latar film Romeo & Juliet karya Andi Bachtiar Yusuf dan menghasilkan kisah cinta terlarang ala Verona.

Untuk konsumsi yang lebih luas, tentunya banyak unsur yang berubah di dalam Gnomeo & Juliet ini. Dengan latar dua tetangga yang tinggal di Verona Drive bernama Montague dan Capulet yang selalu berseteru, hidup mahluk-mahluk yang tinggal di taman masing-masing pemilik rumah. Penghuni pekarangan Capulet dengan topi merahnya selalu mengolok-olok Montague yang bertopi biru dengan kata-kata gnome alias mahluk mungil dan terkesan lemah. Awalnya hanya masalah persaingan 'taman siapa yang lebih cantik' jadi berkembang ketika Juliet jatuh cinta pada Gnomeo. Suasana makin memanas ketika masing-masing berusaha menghancurkan taman musuh dan puncaknya ketika Tybalt, sepupu Juliet menantang Gnomeo adu balap mesin pemotong rumput dan Tybalt menabrak dinding lalu hancur berkeping-keping. Capulet tidak tinggal diam dan berusaha alas dendam untuk menghabisi Gnomeo. Cerita bergulir seperti kisah Romeo & Juliet yang kita kenal sebelumnya. Jadi, apa bedanya dengan versi aslinya?

Ketika mahluk-mahluk pekarangan ini hidup, sontak langsung teringat bagaimana mahluk di Night at Museum hidup. Mereka hidup sebagai alter-ego dari apa yang ditampilkan sebelumnya. Capulet dan Montague versi taman ini hadir sebagai karakter lucu yang menghidupkan suasana taman masing-masing. Ceria, ramah, dan gembira. Ketika mereka hidup, muncullah Gnomeo yang nakal, ingin mencoba sesuatu yang dilarang ibunya, Tybalt yang menggemaskan muncul sebagai karakter menyebalkan dan curang. Tokoh paling signifikan, Juliet digambarkan selalu ingin membuktikan bahwa dia tidak lemah dan bisa berdiri sendiri, bosan diremehkan oleh sang ayah yang protektif. Sayangnya, karakter para tokoh kurang kuat ditampilkan karena banyaknya tokoh sampingan yang juga ingin ditonjolkan. Benny dan Shroom sebagai sidekick Gnomeo masing-masing digambarkan bijaksana dan jenaka sedangkan Featherstone layaknya tokoh pendeta yang cukup membuat haru dengan kisah cintanya sekaligus penasehat bijaksana. Tokoh sampingan lainnya berperan sebagai minion tiap kubu yang begitu menggemaskan. Misalnya saja sekumpulan kelinci yang berkomunikasi hanya dengan mengatupkan kedua telinganya atau boneka mini yang selalu setuju dengan segala tindak tanduk Tybalt.

Bagi anak-anak di bawah umur, tontonan ini menjadi menyenangkan didukung oleh grafis yang apik menggabungkan animasi tiga dimensi dan dua dimensi penuh warna yang objeknya dekat dengan keseharian.Lalu di mana sisi romansa tragisnya? Rasanya tak lengkap Romeo & Juliet tanpa adegan ciuman membara atau bunuh dirinya. Mungkinkah adegan tersebut ditampilkan? Apakah tega mengingatkan anak-anak bahwa tidak semua kisah cinta berakhir bahagia? Atau sebenarnya film animasi ini bukanlah konsumsi anak-anak pada umumnya? Mungkin juga setelah menonton film ini, generasi pecinta hiburan digital akan mencari tahu apa saja sebenarnya yang tertulis dalam kisah terdahulu lewat hiburan primer ala tradisional, buku sastra.

No comments: