Thursday, September 01, 2011
Tendangan Dari Langit: Nasionalisme Berbalut Produk Impor
Nikmatnya sepak bola di negeri ini tidak hanya bisa disaksikan di lapangan hijau saja. Serunya menyerukan semangat bagi tim nasional yang mencoba mencetak gol kini bukan hanya milik penggemar fanatik olahraga ini saja, tetapi juga menjadi salah satu pemicu menyeruaknya semangat nasionalisme di negeri ini. Lewat layar lebar pula semangat itu ditularkan bagi penggemar film. Dua tahun lalu, Salto Film mempersembahkan Garuda Di Dadaku yang berkisah tentang mimpi seorang anak dan dunia sepak bola. Tahun 2011 ini, mimpi itu kembali muncul lewat bakat seorang remaja asal Gunung Bromo dengan arahan sutradara Hanung Bramantyo produksi Dapur Film.
Sepak bola sebagai olahraga yang begitu dekat dengan masyarakat Indonesia ternyata masih terlalu jauh untuk diraih bagi remaja asal Langitan, Wahyu (Yosie Kristanto). Konon ia punya bakat besar dan mimpi yang sama besarnya untuk bisa bergabung di Persema (Persatuan Sepak Bola Malang) bersama dua nama besar yang sedang populer, Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan. Wahyu mungkin mewakili beberapa jiwa anak muda yang ingin menjadikan sepak bola sebagai pilihan kariernya. Berawal dari pemain bayaran untuk Desa Karangsari di lereng Gunung Bromo, Wahyu beruntung bisa bertemu dengan Coach Timo sang pelatih Persema ketika menolong anaknya yang diganggu anak jalanan di Malang. Pertemuan mereka memang hanya sekilas saja. Namun, ‘jodoh’ mempertemukan mereka kembali saat Coach Timo melihat Wahyu yang sedang berlatih bola di Gunung Bromo.
Menganggap bakatnya bisa diasah, Coach Timo mengajak Wahyu ikut try out Persema, tentunya bersama Bachdim dan Kurniawan. Masalah mulai muncul pasca tes kesehatan ditemukan penyakit osgoodschlatter di kaki kanan Wahyu. Harapan mulai pupus bagi Wahyu untuk membuktikan bahwa anak Langitan bisa bersanding dengan para pemain naturalisasi di lapangan hijau Gajayana sampai nantinya di Gelora Bung Karno. Ini bukan masalah pertama yang dihadapi Wahyu, sang ayah Darto (Sujiwo Tejo) terang-terangan menolak sepak terjang Wahyu di lapangan sepak bola. Baginya, sepak bola hanyalah memberikan angan-angan palsu tanpa ada hasil yang konkret. Namun hati Darto akhirnya luluh setelah Wahyu memenangkan pertandingan besar dan menghadiahkan kuda untuk membantu ayahnya bekerja.
Menonton film ini bagi penonton awam sepak bola tentu menjadi kesenangan tersendiri, apalagi melihat bagaimana pencapaian anak daerah menuju mimpi lapangan hijau kota besar, Malang dan Jakarta, berkali-kali disebut. Tanpa bermaksud membandingkan, Tendangan memiliki kemiripan pola mengejar mimpi karier sepak bola dengan Garuda. Berawal dari hobi, ‘dikompori’ orang terdekat untuk bisa meraih mimpi lebih tinggi tetapi terbentur dengan larangan keluarga.
Di Tendangan begitu banyak tokoh yang berperan menjadi ‘kompor’ untuk memanasi Wahyu pilihan mana yang sebaiknya dipilih. Awalnya, ketika Wahyu berseteru dengan Darto yang terus melarangnya bermain bola, Hasan (Agus Kuncoro) selalu berada di belakang Wahyu mendukung setiap pilihan langkahnya. Hasan bahkan mempertemukan Wahyu dengan Gatot (Toro Margens), yang akhirnya menghadiahinya kuda setelah memenangkan pertandingan. Hasan selalu muncul di saat-saat terburuk Wahyu, termasuk saat amarah Darto memuncak Hasan juga membongkar kenapa Darto begitu membenci sepak bola. Saat itu Wahyu merasa ada dalam lindungan Hasan, sang Pak Le yang bisa menyelamatkan mimpinya di lapangan hijau.
Keadaan menjadi berbalik ketika Darto mulai luluh dan mengizinkan Wahyu main sepak bola. Awalnya terkesan mendukung Wahyu bermain bola untuk mengejar impian sekaligus mendapat uang tambahan, Hasan justru sempat menghalangi niat Wahyu untuk menerima tawaran Coach Timo di Persema. Hasan memang sempat mengantar Wahyu menuju markas Persema, tapi ketika di tengah jalan ban motor Hasan pecah dan Wahyu nyaris terlambat, Hasan masih berniat membuat Wahyu mengurungkan niatnya itu.
Perlahan-lahan karakter Hasan terlihat memiliki hidden agenda terhadap Wahyu. Ia ingin Wahyu tetap bermain sebagai pemain bayaran sebagai bahan taruhan bola warga Karangsari. Hal ini baru terungkap jelas di akhir film ketika ia berhasil mengumpulkan banyak uang taruhan saat Wahyu kembali bermain untuk Karangsari. Padahal, bagi saya sendiri tokoh yang diperankan Agus Kuncoro ini begitu menarik perhatian. Mulai dari sikapnya yang provokatif bagi Wahyu, terkadang jenaka kala bercanda, sampai sikapnya yang agak penakut ketika berhadapan dengan Gatot. Terlihat dari dialognya dengan Wahyu yang cukup mendominasi di awal film. Ia juga memposisikan dirinya sebagai pelindung Wahyu dengan berkali-kali menyebut dirinya “Pak Le” alias paman untuk mengesankan kedekatannya dengan Wahyu. Didukung dengan ketidakakuran Wahyu dengan Darto, situasi tersebut sangat menguntungkan posisi Hasan di mata Wahyu.
Ketamakan Hasan terbongkar seiring dengan perubahan sikap Darto yang melunak. Sang ayah yang sudah terbuka dan mengizinkan Wahyu bergabung di Persema ditunjukan dengan mimik Sujiwo Tejo yang makin mengumbar senyum. Pemilihan kata-kata yang seperti berpantun makin menguatkan sosok Darto yang justru sudah berada di pihak Wahyu dan membebaskan pilihannya. Hal ini terlihat ketika Wahyu didera kebingungan memilih antara cintanya dengan Indah (Maudy Ayunda), sang gadis impian atau sepak bola. Darto hanya memberikan nasihat “Cinta itu harus memilih salah satu, yang satunya lagi hanya menghormati” atau cara Darto yang berusaha menggoda Wahyu dengan pantunnya, “Kalau cinta melekat, tai kucing terasa cokelat”. Guyonan Darto tersebut seolah meruntuhkan karakternya yang sebelumnya ditampilkan sebagai ayah yang kaku, pemarah dan tidak suportif.
Celetukan Sujiwo Tejo yang banyak menyelipkan kritik sosial seputar sepak bola, politik dan percintaan remaja memberikan kesegaran tersendiri bagi tokoh Darto dan dialog yang dilontarkannya. Selipan nyeleneh Darto ini seperti ingin menyindir masalah-masalah persepakbolaan Indonesia yang kini penuh dengan campur tangan beberapa pihak. Di sisi lain, tidak dipungkiri sepak bola masih dianggap sebagai salah satu alat pemicu nasionalisme di negeri ini. Hal ini juga terlihat di awal film ketika menampilkan pertandingan sepak bola zaman dulu sampai kekalahan tim nasional Indonesia di piala AFF dengan Malaysia. Masyarakat pun menyatukan suara dan semangat untuk tetap mendukung Indonesia.
Kembali ke film, dua tokoh Hasan dan Darto ini membantu menguatkan karakter Wahyu yang masih nampak datar dan tidak dominan. Wahyu mungkin memang tidak digambarkan sebagai sosok yang ekspresif atau jenaka seperti kedua temannya yang diperankan oleh Jodi Onsu dan Joshua Suherman. Namun, tokoh Wahyu justru menonjol akibat munculnya karakter-karakter lain yang menguatkan sosok Wahyu itu sendiri.
Adegan Wahyu yang menangis akibat vonis kaki kanannya makin terasa emosional saat Darto berusaha menenangkan sekaligus ikut marah lewat kata-katanya yang menyalahkan sistim politik dan sepak bola Indonesia. Adegan tersebut melibatkan Wahyu, Darto dan ibu Wahyu pada tiga tempat berbeda namun mereka semua merasakan kepedihan yang sama. Selain itu, adegan Wahyu-Darto-Hasan yang berkelahi di depan warung kopi lapangan Karangsari juga memanas lewat dialog-dialog Darto dan Wahyu. Kembali emosi penonton dipancing lewat amarah Darto dan pernyataan tulus Wahyu tentang keinginannya membahagiakan sang ayah. Boleh diakui, dialog antar tokoh inilah yang menjadi salah satu kekuatan film yang cukup membuat mengharubiru.
Terlepas dari dialog-dialog yang memorable, beberapa detail adegan nampaknya luput dari perhatian. Kaki kanan Wahyu divonis osgoodschlatter, namun ketika Wahyu tumbang saat main bola di Karangsari, ia terlihat memegang kaki kirinya. Di adegan berikutnya ia baru memegang kaki kanannya. Film yang kental unsur Jawa Timur ini seperti ingin masuk sampai logat para pemainnya. Sayangnya logat Maudy Ayunda justru terkesan dipaksakan. Terasa perbedaan signifikan dengan Melly atau Wahyu sendiri.
Lepas dari semua itu, Tendangan merupakan salah satu film yang menyenangkan ditonton di musim libur Lebaran ini. Unsur lokal yang kental lewat lokasi dan dialognya, nuansa sepak bola yang penuh pesan nasionalisme sekaligus ajang jualan para pemain naturalisasi yang sedap dipandang mata. Meskipun Bachdim dan Kurniawan dipajang sebagai ‘dagangan’ utama film ini, bagi saya dua bule abg itu tidak membuat ingin menatap mereka lebih lama, atau mendengar mereka berdialog dalam bahasa Indonesia barang sepatah dua patah kata. Tidak perlu produk impor untuk membuat film ini enak dipandang dan didengar. Cukup memandang indahnya lereng Bromo, mendengar celetukan nyeleneh khas Sujiwo Tejo maka lengkaplah film ini untuk bisa nendang bagi penikmat film tanpa perlu menjadi pecinta sepak bola.
.
Tendangan Dari Langit | 2011 | Sutradara: Hanung Bramantyo | Negara: Indonesia | Pemain: Yosie Kristanto, Maudy Ayundya, Agus Kuncoro, Sudjiwo Tejo, Yati Surachman, Timo Scheunemann, Irfan Bachdim
also posted in cinemapoetica.com
Di Bawah Lindungan Ka'Bah : Film Cinta Nan Islami
Di pertengahan bulan puasa lalu, saya sempat menghadiri diskusi seputar Islam dan Film di Salihara bersama kritikus Eric Sasono dan produser film Putut Wijanarko. Pembahasan malam itu sempat menyebut-nyebut beberapa film yang menghadirkan tema Islam dan pembaharuan Islam di dalamnya, termasuk Para Perintis Kemerdekaan, film karya Asrul Sani yang diilhamid dari novel Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dalam diskusi tersebut sempat dibahas pergantian judul dari novel ke film karena beberapa alasan politik. Saat film ini dirilis kebetulan bertepatan dengan pemilihan umum tahun 1977 dan konon, kata-kata ka’bah sebagai judul novel dinilai merepresentasikan partai tertentu di masa orde baru tersebut. Jadilah Para Perintis dipilih sebagai judul baru film adaptasi karya sastra tersebut. Meskipun belum menonton film tersebut, dari beberapa resensi menyatakan film tersebut memang cukup banyak muatan politik seputar perjuangan melawan penjajah Belanda.
Tiga puluh empat tahun kemudian, MD Pictures kembali mengangkat kisah Hamid dan Zainab ke layar lebar. Kali ini disutradarai Hanny R.Saputra yang sebelumnya sudah menyutradarai film Virgin & Heart. Masih seputar kisah cinta terlarang antara Hamid (Herjunot Ali) dan Zainab (Laudya C.Bella) dengan latar tahun 20-an. Hamid adalah pemuda desa yang sederhana tinggal dengan ibunya yang sakit-sakitan bersama keluarga Jafar (Didi Petet). Pasca menyelesaikan pendidikan agamanya dengan predikat lulusan termuda, Hamid kemudian mengajar di desa setempat sebagai bentuk baktinya pada masyarakat. Hubungan Hamid dan Zainab diam-diam tetap terjalin tanpa diketahui oleh orang di sekitarnya. Suatu hari, Hamid mengikuti pertandingan debat di surau desa, tentunya Zainab ingin melihat aksi Hamid dan menyemangatinya. Sayang di tengah jalan, sepeda Zainab terlempar ke sungai dan ia pun tenggelam. Di tengah kerumunan penduduk desa dan para santri lelaki, Rosna (Niken Anjani), sahabat Zainab berteriak minta tolong dan saat itulah Hamid datang layaknya superhero menyelamatkan Zainab yang tidak sadarkan diri. Berbagai usaha menyadarkan Zainab ditempuh Hamid termasuk memberikan CPR atau nafas buatan kepada Zainab. Akibat pertolongan Hamid, Zainab selamat dari bencana tenggelam yang mengegerkan itu. Apakah bencana selesai di situ saja? Tidak bagi Hamid. Segenap masyarakat desa ternyata menganggap tindakan Hamid tidak pantas dilakukan bagi dua laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Akibat perbuatannya itu, Hamid harus menjalani hukuman dari tetua desa yang membuatnya harus menghilangkan angan-angannya untuk bisa bersatu dengan Zainab.
Melihat judul yang kental nuansa Islamnya, tentu ada sedikit harapan melihat bagaimana Islam dibawakan dalam film ini apalagi penayangannya nyaris bertepatan di libur Lebaran 2011. Dengan membawa nama besar Hamka yang memang sudah dikenal sebagai salah satu sastrawan dan ulama di Indonesia tentu tidak main-main ketika novelnya diangkat (lagi) ke layar lebar. Sayangnya, esensi Islam yang ditampilkan di Di Bawah lebih banyak berbicara seputar latar belakang para tokohnya yang memang dibesarkan di lingkungan pesantren dan impian mengunjungi rumah Allah di Mekkah. Fokus utama tetap pada cinta terlarang si kaya dan si miskin, Hamid yang berasal dari keluarga miskin dan sang ibu (Jenny Rachman) mengabdi pada keluarga Haji Jafar yang sudah menyekolahkan Hamid sampai lulus. Zainab, anak Haji Jafar yang juga mencintai Hamid ternyata harus menerima kenyataan dijodohkan dengan Arifin, pemuda tampan nan pintar yang masih sanak keluarganya. Besarnya cinta Hamid & Zainab ternyata mampu melumpuhkan keduanya, bahkan pasca perginya Hamid dari desa, Zainab seperti kehilangan separuh jiwanya. Terkesan cerita cinta keduanya mendapat porsi besar layaknya kisah cinta anak muda di film era modern saat ini. Lepas dari rezim politik apa yang sedang berjalan saat film ini diedarkan, nampaknya tidak perlu khawatir ada unsur politik tertentu yang dimuat di balik film ini. Dua pemeran utama juga nampak mewakili era penonton masa kini yang menampilkan sosok apik dan dicintai penonton film maupun layar kaca. Herjunot Ali memang memainkan perannya dengan cukup maksimal meskipun ada beberapa bagian yang terkesan tidak seimbang. Tokoh Hamid digambarkan sebagai pribadi yang sempurna sebagai sosok yang tampan, cerdas, dan dicintai. Lepas dari ketidakberuntungannya secara ekonomi dan percintaan yang terhalangi status sosial serta norma masyarakat. Namun ia tidak menunjukkannya pada penonton, sepanjang film yang saya rasakan tokoh ini cenderung nrimo dan tidak merasa tertekan atau sedih. Entah ini memang sosok yang ingin ditampilkan para penulis atau tidak. Bersanding dengan beberapa aktor kawakan seperti Didi Petet, Widyawati dan Jenny Rachman, tentu memberikan kesan tersendiri apalagi film ini mengambil latar tahun sebelum kemerdekaan. Ketika adegan Hamid dengan Zainab, yang muncul justru sepasang muda mudi yang mungkin biasa kita lihat di layar kaca sinema elektronik atau film-film bertema chic-flick. Terlihat saat adegan Hamid dan Zainab berada di halaman belakang rumah Zainab dibatasi tembok, mereka tertawa bersama menyadari kebersamaannya tetap bisa terjadi dan berbagi canda tawa. Sayangnya adegan yang penuh dengan ‘dialog’ tertawa bersama itu terkesan begitu dibuat-buat akibat durasi yang terlampau panjang. Begitu juga dengan adegan saat Hamid dan Zainab kehujanan di tengah pasar, mereka seolah ingin menampilkan sisi lain remaja yang seolah tertekan dengan segala norma agama dan sosial yang berlaku di desa itu.
Lalu di manakah ka’bah yang dijanjikan di awal? Memang bukan “ka’bah” secara harfiah yang ditampilkan sampai penghujung film tetapi esensi sebagai film Islam, selain berlatar Islam nampaknya cukup terlupakan. Sepanjang film penonton akan disuguhi perjuangan cinta muda mudi yang mempertaruhkan nasibnya dengan berpasrah diri pada jalan Tuhan dan takdir. Impian menyambangi tanah suci Mekkah dijadikan suatu alat yang konon akan mempertemukan takdir mereka. Selain itu, kabar yang mengatakan film ini berbujet 25 miliar kurang tampak secara visual terutama menyoroti suasana Mekkah yang ternyata ‘hanya’bermodalkan manipulasi teknologi greenscreen. Nampaknya kali ini adaptasi karya sastra termasyur Hamka ini harus berhenti pada titik cinta masih menaungi semuanya, tentunya masih terbatas cinta sesama manusia.
Di Bawah Lindungan Ka’Bah | 2011 | Sutradara: Hanny R. Saputra | Pemain: Herjunot Ali, Laudya C.Bella, Didi Petet, Jenny Rachman, Widyawati Sophiaan| Rating: 5.5/10
Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2: Seruan Menuju Kematian yang Abadi
Tujuh novel, delapan film dan sepuluh tahun kebersamaan dalam dunia sihir fantasi akhirnya harus ditutup dengan perpisahan yang penuh ketegangan antara hidup dan mati. Selama satu dekade, empat sutradara berperan mengangkat novel-novel tebal J.K Rowling ke layar lebar dan membuat fantasi pembaca setia Harry Potter seolah jadi nyata. Tentunya tidak mudah menyuarakan akhir perpisahan tiga sekawan Ron, Hermione dan pastinya Harry pada puluhan peran penting dalam film ini serta pembaca atau penontonnya. Sebagai penonton yang bukan pembaca ketujuh novelnya, kenikmatan saya selama lebih kurang seratus dua puluh menit tidak memerlukan komparasi yang signifikan. Rasanya dari awal tetap sama: menegangkan dan ada perasaan tidak siap mengucapkan selamat tinggal pada franchise film ini.
Pencarian horcrux dari Part 1 diteruskan dengan melibatkan peran-peran penting dan juga usaha mencari titik lemah You-Know-Who, yang akhirnya mulai menemukan titik terang. Bukan hanya itu, rahasia lain mulai satu persatu terbongkar tanpa disengaja. Kekuatan Harry sebagai the boy who lived come to die makin terasah, apalagi Harry seperti berbagi pikiran dan kekuatan dengan Voldemort. Kemunculan kata-kata dari trailer Part 2 tersebut seperti menjadi penekanan tentang gambaran film keseluruhan. Selain itu, perjalanan Harry menuju medan pertempuran dibayang-bayangi ancaman pasukan Voldemort untuk menghabisi Harry. Lalu tokoh-tokoh yang berperan penting dalam hidup Harry pun memunculkan jejaknya. Hal itu seperti membukakan jalan pada kematian yang konon disiapkan Voldemort untuk bocah yang paling dicari selepas kematian Dumbledore.
Munculnya orangtua Harry dan juga Sirius Black sebelum Harry memulai pertempurannya seperti memberikan kode-kode atas situasi yang mungkin dihadapi Harry. Di sisi lain, mungkin juga pertarungan Harry dengan Voldemort secara tidak ia sadari adalah ajang balas dendam atas apa yang telah menimpa orang terdekatnya. Alam bawah sadar Harry saat itu seperti mendorong dirinya sendiri untuk mengumpulkan keberanian melawan Voldemort. Munculnya sosok-sosok Lily, James dan Sirius seperti hanya dalam pikirannya saja, sama ketika ia bertemu Dumbledore. Pertanyaan Harry pada Dumbledore ”Apakah ini atau nyata?” dijawab dengan ”Semuanya ada di pikiranmu.” Ada keinginan dalam diri Harry yang begitu kuat untuk bertemu Dumbledore dengan segala kebingungan yang luar biasa atas apa yang harus ia lakukan.
Pada akhirnya, Dumbledore pun tetap menyerahkan semua keputusan di tangan Harry. Bangun dan kembali pada pertarungan yang mempertaruhkan hidupnya atau Harry bisa menyerah pada Voldemort tanpa mengadakan perlawanan dan melewati jembatan kematian itu dengan sambutan orang-orang terkasihnya yang lebih dulu tewas dengan tragis.
Bukan hanya seputar kematian dirinya yang menjadi taruhan, misteri kematian orang terdekat Harry satu persatu terbongkar kebenarannya dan juga membongkar misteri lainnya yang telah terkubur. Kebencian Harry atas matinya petinggi Hogwarts, Albus Dumbledore ternyata harus dibayar mahal dengan sebuah rahasia yang dibuka pasca kematian Snape. Tentunya tanpa membaca bukunya, ini merupakan salah satu kejutan apik di penghujung sepak terjang Severus Snape. Mendadak ada sedikit simpati yang muncul berbalik 180 derajat setelah sepanjang enam seri sebelumnya banyak kebencian yang muncul pada tokoh yang diperankan Alan Rickman ini.
Seruan kematian juga menghantui Hogwarts yang seolah redup dan tidak lagi bernyawa pasca kepemimpinan Snape. Guru, staf dan murid Hogwarts seolah kehilangan nyawa dan merasa terancam karena misteri keberadaan Harry. Sekembalinya Harry ke Hogwarts, ternyata ada kepanikan yang melanda karena mereka tahu pasti ada korban ketika Harry muncul. Namun, kepanikan atas serangan dementor dan pasukan Pangeran Kegelapan seolah memicu team Potter untuk mengentaskan nyawa Voldemort dan menjadikan Harry pahlawan sejatinya. Sayangnya, Harry Potter bukan lagi laki-laki lugu yang dibesarkan lewat latar sihir warna-warni. Ia tumbuh dalam kecaman penguasa abadi kegelapan yang konon tidak memberikannya pilihan untuk hidup atau mati, untuk menjadi pahlawan atau pengecut. Apakah mungkin kematian adalah jalan pintas yang abadi? Atau hanya sebagai jalan pembuka bagi seseorang untuk menyebut dirinya pahlawan?
Meskipun tidak banyak berekspektasi, tentu masih ada rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana pertarungan terakhir Harry dan Voldemort akan berlangsung. Sebagai bagian terakhir dari seri yang akan menutup perjalanan cerita Potter dan juga menutup akhir hidup dari salah satu tokohnya, pertarungan hebat diharapkan bisa menjadi tutupan megah. Sejak adegan pertama sebagai sambungan dari Part 1, suasana yang dibangun adalah kelam. Dengan warna yang ditampilkan penuh kegelapan, lalu ketika pertahanan Hogwarts dibangun dengan matera yang dibuat oleh para profesornya makin menambah kegelapan dan kekelaman yang terjadi. Pertarungan massal antara Potter versus Voldemort juga membuat penonton bergidik dan menyiapkan diri siapa pun bisa tewas dari pertarungan hebat itu.
Sayangnya pertarungan hebat yang selayaknya sarat dengan adegan berdarah-darah, yang mungkin sayang dilewatkan meski hanya satu detik saja. Pertarungan sepertinya terfokus pada hancurnya horcrux satu persatu dan juga usaha untuk menghabisi Nagini. Adegan ini beberapa kali dimunculkan, saat Ron & Hermione mengambil taring Basilisk sebagai salah satu senjata ampuh untuk menghabisi Nagini. Adegan tersebut cukup terasa efek dasyatnya sama seperti ketika tiara milik Rowena Ravenclaw musnah di Ruang Penyimpanan. dan juga saat Voldemort merasakan efek pasca hancurnya horcrux tersebut. Kedahsyatan pertarungan secara satu persatu itulah yang lebih terasa daripada pertarungan ketika Harry dan Voldemort berhadapan satu sama lain. Seolah energi mereka telah habis sebelum mereka berdua bertatapmuka.
Sebagai penonton –dan bukan pembaca– perlu banyak merangkum sendiri rangkaian cerita yang kadang terlalu detail dan butuh kerja ingatan lebih kuat untuk bisa mengikuti jalannya cerita. Secara garis besar, plot yang digambarkan dalam film cenderung panjang dan berliku. Hubungan Antar tokoh satu sama lain bukan hanya dikaitkan dalam satu seri filmnya saja tetapi ketujuh seri secara lengkap. Penceritaan yang dilakukan lewat rangkaian petualangan tiga sekawan tersebut juga begitu banyak perkembangan sejalan dengan perkembangan kemampuan Harry, Ron dan Hermione menyusun puzzle misteri seputar intrik kawanan Voldemort. Penonton diminta juga membantu merangkai sendiri jalonan cerita yang tidak mungkin dijabarkan lebih detail lagi lewat layar lebar. Tentunya usaha itu tidak mudah dilakukan.
Beberapa penonton yang mungkin kecewa pasca menonton akhir dari kisah ini, karena bayangan akan kedasyatan pertarungan babak akhir Potter versus Voldemort. Konon, ketegangan dalam membaca buku yang penuh adegan pertarungan lebih memicu adrenalina ketimbang dinikmati secara visual. Nampaknya konsep theater of mind lebih berhasil ketimbang divisualisasikan. Adilnya memang nikmatilah film Harry Potter tanpa adanya perbandingan atau ekspektasi yang mengarah ke bukunya. Namun, layaknya sebuah adaptasi karya seni memang orisinalitas tulisan ribuan halaman memang takkan bisa tergantikan secantik apapun karya adaptasi tersebut. Akhirnya Harry Potter memang sudah saatnya menggantung tongkat, atau lebih tepat mematahkan tongkat yang menjadi senjata segala kericuhan yang muncul selama sebelas tahun karenanya. Seperti layaknya ia mematahkan hati ribuan penggemar yang takkan bisa sepenuh hati mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya.
Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 | 2011 | Sutradara: David Yates | Negara: Inggris, Amerika Serikat | Pemain: Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Helena Bonham Carter, Jim Broadbent, Robbie Coltrane, Warwick Davis, Ralph Fiennes, Michael Gambon, John Hurt, Jason Isaacs, Alan Rickman, Maggie Smith
also posted in Cinemapoetica.com
Subscribe to:
Posts (Atom)