Thursday, September 01, 2011

Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2: Seruan Menuju Kematian yang Abadi


Tujuh novel, delapan film dan sepuluh tahun kebersamaan dalam dunia sihir fantasi akhirnya harus ditutup dengan perpisahan yang penuh ketegangan antara hidup dan mati. Selama satu dekade, empat sutradara berperan mengangkat novel-novel tebal J.K Rowling ke layar lebar dan membuat fantasi pembaca setia Harry Potter seolah jadi nyata. Tentunya tidak mudah menyuarakan akhir perpisahan tiga sekawan Ron, Hermione dan pastinya Harry pada puluhan peran penting dalam film ini serta pembaca atau penontonnya. Sebagai penonton yang bukan pembaca ketujuh novelnya, kenikmatan saya selama lebih kurang seratus dua puluh menit tidak memerlukan komparasi yang signifikan. Rasanya dari awal tetap sama: menegangkan dan ada perasaan tidak siap mengucapkan selamat tinggal pada franchise film ini.

Pencarian horcrux dari Part 1 diteruskan dengan melibatkan peran-peran penting dan juga usaha mencari titik lemah You-Know-Who, yang akhirnya mulai menemukan titik terang. Bukan hanya itu, rahasia lain mulai satu persatu terbongkar tanpa disengaja. Kekuatan Harry sebagai the boy who lived come to die makin terasah, apalagi Harry seperti berbagi pikiran dan kekuatan dengan Voldemort. Kemunculan kata-kata dari trailer Part 2 tersebut seperti menjadi penekanan tentang gambaran film keseluruhan. Selain itu, perjalanan Harry menuju medan pertempuran dibayang-bayangi ancaman pasukan Voldemort untuk menghabisi Harry. Lalu tokoh-tokoh yang berperan penting dalam hidup Harry pun memunculkan jejaknya. Hal itu seperti membukakan jalan pada kematian yang konon disiapkan Voldemort untuk bocah yang paling dicari selepas kematian Dumbledore.

Munculnya orangtua Harry dan juga Sirius Black sebelum Harry memulai pertempurannya seperti memberikan kode-kode atas situasi yang mungkin dihadapi Harry. Di sisi lain, mungkin juga pertarungan Harry dengan Voldemort secara tidak ia sadari adalah ajang balas dendam atas apa yang telah menimpa orang terdekatnya. Alam bawah sadar Harry saat itu seperti mendorong dirinya sendiri untuk mengumpulkan keberanian melawan Voldemort. Munculnya sosok-sosok Lily, James dan Sirius seperti hanya dalam pikirannya saja, sama ketika ia bertemu Dumbledore. Pertanyaan Harry pada Dumbledore ”Apakah ini atau nyata?” dijawab dengan ”Semuanya ada di pikiranmu.” Ada keinginan dalam diri Harry yang begitu kuat untuk bertemu Dumbledore dengan segala kebingungan yang luar biasa atas apa yang harus ia lakukan.

Pada akhirnya, Dumbledore pun tetap menyerahkan semua keputusan di tangan Harry. Bangun dan kembali pada pertarungan yang mempertaruhkan hidupnya atau Harry bisa menyerah pada Voldemort tanpa mengadakan perlawanan dan melewati jembatan kematian itu dengan sambutan orang-orang terkasihnya yang lebih dulu tewas dengan tragis.

Bukan hanya seputar kematian dirinya yang menjadi taruhan, misteri kematian orang terdekat Harry satu persatu terbongkar kebenarannya dan juga membongkar misteri lainnya yang telah terkubur. Kebencian Harry atas matinya petinggi Hogwarts, Albus Dumbledore ternyata harus dibayar mahal dengan sebuah rahasia yang dibuka pasca kematian Snape. Tentunya tanpa membaca bukunya, ini merupakan salah satu kejutan apik di penghujung sepak terjang Severus Snape. Mendadak ada sedikit simpati yang muncul berbalik 180 derajat setelah sepanjang enam seri sebelumnya banyak kebencian yang muncul pada tokoh yang diperankan Alan Rickman ini.

Seruan kematian juga menghantui Hogwarts yang seolah redup dan tidak lagi bernyawa pasca kepemimpinan Snape. Guru, staf dan murid Hogwarts seolah kehilangan nyawa dan merasa terancam karena misteri keberadaan Harry. Sekembalinya Harry ke Hogwarts, ternyata ada kepanikan yang melanda karena mereka tahu pasti ada korban ketika Harry muncul. Namun, kepanikan atas serangan dementor dan pasukan Pangeran Kegelapan seolah memicu team Potter untuk mengentaskan nyawa Voldemort dan menjadikan Harry pahlawan sejatinya. Sayangnya, Harry Potter bukan lagi laki-laki lugu yang dibesarkan lewat latar sihir warna-warni. Ia tumbuh dalam kecaman penguasa abadi kegelapan yang konon tidak memberikannya pilihan untuk hidup atau mati, untuk menjadi pahlawan atau pengecut. Apakah mungkin kematian adalah jalan pintas yang abadi? Atau hanya sebagai jalan pembuka bagi seseorang untuk menyebut dirinya pahlawan?

Meskipun tidak banyak berekspektasi, tentu masih ada rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana pertarungan terakhir Harry dan Voldemort akan berlangsung. Sebagai bagian terakhir dari seri yang akan menutup perjalanan cerita Potter dan juga menutup akhir hidup dari salah satu tokohnya, pertarungan hebat diharapkan bisa menjadi tutupan megah. Sejak adegan pertama sebagai sambungan dari Part 1, suasana yang dibangun adalah kelam. Dengan warna yang ditampilkan penuh kegelapan, lalu ketika pertahanan Hogwarts dibangun dengan matera yang dibuat oleh para profesornya makin menambah kegelapan dan kekelaman yang terjadi. Pertarungan massal antara Potter versus Voldemort juga membuat penonton bergidik dan menyiapkan diri siapa pun bisa tewas dari pertarungan hebat itu.

Sayangnya pertarungan hebat yang selayaknya sarat dengan adegan berdarah-darah, yang mungkin sayang dilewatkan meski hanya satu detik saja. Pertarungan sepertinya terfokus pada hancurnya horcrux satu persatu dan juga usaha untuk menghabisi Nagini. Adegan ini beberapa kali dimunculkan, saat Ron & Hermione mengambil taring Basilisk sebagai salah satu senjata ampuh untuk menghabisi Nagini. Adegan tersebut cukup terasa efek dasyatnya sama seperti ketika tiara milik Rowena Ravenclaw musnah di Ruang Penyimpanan. dan juga saat Voldemort merasakan efek pasca hancurnya horcrux tersebut. Kedahsyatan pertarungan secara satu persatu itulah yang lebih terasa daripada pertarungan ketika Harry dan Voldemort berhadapan satu sama lain. Seolah energi mereka telah habis sebelum mereka berdua bertatapmuka.

Sebagai penonton –dan bukan pembaca– perlu banyak merangkum sendiri rangkaian cerita yang kadang terlalu detail dan butuh kerja ingatan lebih kuat untuk bisa mengikuti jalannya cerita. Secara garis besar, plot yang digambarkan dalam film cenderung panjang dan berliku. Hubungan Antar tokoh satu sama lain bukan hanya dikaitkan dalam satu seri filmnya saja tetapi ketujuh seri secara lengkap. Penceritaan yang dilakukan lewat rangkaian petualangan tiga sekawan tersebut juga begitu banyak perkembangan sejalan dengan perkembangan kemampuan Harry, Ron dan Hermione menyusun puzzle misteri seputar intrik kawanan Voldemort. Penonton diminta juga membantu merangkai sendiri jalonan cerita yang tidak mungkin dijabarkan lebih detail lagi lewat layar lebar. Tentunya usaha itu tidak mudah dilakukan.

Beberapa penonton yang mungkin kecewa pasca menonton akhir dari kisah ini, karena bayangan akan kedasyatan pertarungan babak akhir Potter versus Voldemort. Konon, ketegangan dalam membaca buku yang penuh adegan pertarungan lebih memicu adrenalina ketimbang dinikmati secara visual. Nampaknya konsep theater of mind lebih berhasil ketimbang divisualisasikan. Adilnya memang nikmatilah film Harry Potter tanpa adanya perbandingan atau ekspektasi yang mengarah ke bukunya. Namun, layaknya sebuah adaptasi karya seni memang orisinalitas tulisan ribuan halaman memang takkan bisa tergantikan secantik apapun karya adaptasi tersebut. Akhirnya Harry Potter memang sudah saatnya menggantung tongkat, atau lebih tepat mematahkan tongkat yang menjadi senjata segala kericuhan yang muncul selama sebelas tahun karenanya. Seperti layaknya ia mematahkan hati ribuan penggemar yang takkan bisa sepenuh hati mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya.

Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 | 2011 | Sutradara: David Yates | Negara: Inggris, Amerika Serikat | Pemain: Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Helena Bonham Carter, Jim Broadbent, Robbie Coltrane, Warwick Davis, Ralph Fiennes, Michael Gambon, John Hurt, Jason Isaacs, Alan Rickman, Maggie Smith

also posted in Cinemapoetica.com

No comments: