Thursday, September 01, 2011

Di Bawah Lindungan Ka'Bah : Film Cinta Nan Islami


Di pertengahan bulan puasa lalu, saya sempat menghadiri diskusi seputar Islam dan Film di Salihara bersama kritikus Eric Sasono dan produser film Putut Wijanarko. Pembahasan malam itu sempat menyebut-nyebut beberapa film yang menghadirkan tema Islam dan pembaharuan Islam di dalamnya, termasuk Para Perintis Kemerdekaan, film karya Asrul Sani yang diilhamid dari novel Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dalam diskusi tersebut sempat dibahas pergantian judul dari novel ke film karena beberapa alasan politik. Saat film ini dirilis kebetulan bertepatan dengan pemilihan umum tahun 1977 dan konon, kata-kata ka’bah sebagai judul novel dinilai merepresentasikan partai tertentu di masa orde baru tersebut. Jadilah Para Perintis dipilih sebagai judul baru film adaptasi karya sastra tersebut. Meskipun belum menonton film tersebut, dari beberapa resensi menyatakan film tersebut memang cukup banyak muatan politik seputar perjuangan melawan penjajah Belanda.

Tiga puluh empat tahun kemudian, MD Pictures kembali mengangkat kisah Hamid dan Zainab ke layar lebar. Kali ini disutradarai Hanny R.Saputra yang sebelumnya sudah menyutradarai film Virgin & Heart. Masih seputar kisah cinta terlarang antara Hamid (Herjunot Ali) dan Zainab (Laudya C.Bella) dengan latar tahun 20-an. Hamid adalah pemuda desa yang sederhana tinggal dengan ibunya yang sakit-sakitan bersama keluarga Jafar (Didi Petet). Pasca menyelesaikan pendidikan agamanya dengan predikat lulusan termuda, Hamid kemudian mengajar di desa setempat sebagai bentuk baktinya pada masyarakat. Hubungan Hamid dan Zainab diam-diam tetap terjalin tanpa diketahui oleh orang di sekitarnya. Suatu hari, Hamid mengikuti pertandingan debat di surau desa, tentunya Zainab ingin melihat aksi Hamid dan menyemangatinya. Sayang di tengah jalan, sepeda Zainab terlempar ke sungai dan ia pun tenggelam. Di tengah kerumunan penduduk desa dan para santri lelaki, Rosna (Niken Anjani), sahabat Zainab berteriak minta tolong dan saat itulah Hamid datang layaknya superhero menyelamatkan Zainab yang tidak sadarkan diri. Berbagai usaha menyadarkan Zainab ditempuh Hamid termasuk memberikan CPR atau nafas buatan kepada Zainab. Akibat pertolongan Hamid, Zainab selamat dari bencana tenggelam yang mengegerkan itu. Apakah bencana selesai di situ saja? Tidak bagi Hamid. Segenap masyarakat desa ternyata menganggap tindakan Hamid tidak pantas dilakukan bagi dua laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Akibat perbuatannya itu, Hamid harus menjalani hukuman dari tetua desa yang membuatnya harus menghilangkan angan-angannya untuk bisa bersatu dengan Zainab.

Melihat judul yang kental nuansa Islamnya, tentu ada sedikit harapan melihat bagaimana Islam dibawakan dalam film ini apalagi penayangannya nyaris bertepatan di libur Lebaran 2011. Dengan membawa nama besar Hamka yang memang sudah dikenal sebagai salah satu sastrawan dan ulama di Indonesia tentu tidak main-main ketika novelnya diangkat (lagi) ke layar lebar. Sayangnya, esensi Islam yang ditampilkan di Di Bawah lebih banyak berbicara seputar latar belakang para tokohnya yang memang dibesarkan di lingkungan pesantren dan impian mengunjungi rumah Allah di Mekkah. Fokus utama tetap pada cinta terlarang si kaya dan si miskin, Hamid yang berasal dari keluarga miskin dan sang ibu (Jenny Rachman) mengabdi pada keluarga Haji Jafar yang sudah menyekolahkan Hamid sampai lulus. Zainab, anak Haji Jafar yang juga mencintai Hamid ternyata harus menerima kenyataan dijodohkan dengan Arifin, pemuda tampan nan pintar yang masih sanak keluarganya. Besarnya cinta Hamid & Zainab ternyata mampu melumpuhkan keduanya, bahkan pasca perginya Hamid dari desa, Zainab seperti kehilangan separuh jiwanya. Terkesan cerita cinta keduanya mendapat porsi besar layaknya kisah cinta anak muda di film era modern saat ini. Lepas dari rezim politik apa yang sedang berjalan saat film ini diedarkan, nampaknya tidak perlu khawatir ada unsur politik tertentu yang dimuat di balik film ini. Dua pemeran utama juga nampak mewakili era penonton masa kini yang menampilkan sosok apik dan dicintai penonton film maupun layar kaca. Herjunot Ali memang memainkan perannya dengan cukup maksimal meskipun ada beberapa bagian yang terkesan tidak seimbang. Tokoh Hamid digambarkan sebagai pribadi yang sempurna sebagai sosok yang tampan, cerdas, dan dicintai. Lepas dari ketidakberuntungannya secara ekonomi dan percintaan yang terhalangi status sosial serta norma masyarakat. Namun ia tidak menunjukkannya pada penonton, sepanjang film yang saya rasakan tokoh ini cenderung nrimo dan tidak merasa tertekan atau sedih. Entah ini memang sosok yang ingin ditampilkan para penulis atau tidak. Bersanding dengan beberapa aktor kawakan seperti Didi Petet, Widyawati dan Jenny Rachman, tentu memberikan kesan tersendiri apalagi film ini mengambil latar tahun sebelum kemerdekaan. Ketika adegan Hamid dengan Zainab, yang muncul justru sepasang muda mudi yang mungkin biasa kita lihat di layar kaca sinema elektronik atau film-film bertema chic-flick. Terlihat saat adegan Hamid dan Zainab berada di halaman belakang rumah Zainab dibatasi tembok, mereka tertawa bersama menyadari kebersamaannya tetap bisa terjadi dan berbagi canda tawa. Sayangnya adegan yang penuh dengan ‘dialog’ tertawa bersama itu terkesan begitu dibuat-buat akibat durasi yang terlampau panjang. Begitu juga dengan adegan saat Hamid dan Zainab kehujanan di tengah pasar, mereka seolah ingin menampilkan sisi lain remaja yang seolah tertekan dengan segala norma agama dan sosial yang berlaku di desa itu.

Lalu di manakah ka’bah yang dijanjikan di awal? Memang bukan “ka’bah” secara harfiah yang ditampilkan sampai penghujung film tetapi esensi sebagai film Islam, selain berlatar Islam nampaknya cukup terlupakan. Sepanjang film penonton akan disuguhi perjuangan cinta muda mudi yang mempertaruhkan nasibnya dengan berpasrah diri pada jalan Tuhan dan takdir. Impian menyambangi tanah suci Mekkah dijadikan suatu alat yang konon akan mempertemukan takdir mereka. Selain itu, kabar yang mengatakan film ini berbujet 25 miliar kurang tampak secara visual terutama menyoroti suasana Mekkah yang ternyata ‘hanya’bermodalkan manipulasi teknologi greenscreen. Nampaknya kali ini adaptasi karya sastra termasyur Hamka ini harus berhenti pada titik cinta masih menaungi semuanya, tentunya masih terbatas cinta sesama manusia.

Di Bawah Lindungan Ka’Bah | 2011 | Sutradara: Hanny R. Saputra | Pemain: Herjunot Ali, Laudya C.Bella, Didi Petet, Jenny Rachman, Widyawati Sophiaan| Rating: 5.5/10

No comments: