Apa hal yang terburuk yang bisa terjadi pada manusia?
Kematian, mungkin salah satu jawabannya.
Sejak lima tahun lalu, persepsi kematian bagi saya berubah-ubah. Tepatnya saat Bapak meninggal.
Yang saya pikirkan karena sakit berkepanjangan atau kritis, tetapi tidak dengan Bapak saya. Meskipun beberapa kali dirawat sampai ICCU, Ia 'memilih' pergi di rumahnya sendiri. Menyusul ibunya setelah jeda 7 tahun.
Lalu dalam dua tiga tahun, bertubi-tubi orang terdekat saya pergi dengan cara yang hampir sama dengan Bapak. Ada juga yang memang sudah sakit.
Sampai kemarin, eyang kakung, ayahnya Bapak saya, menyusul istri dan anak ketiganya. Tidak dirawat rumah sakit, tetapi di rumah Yogyakarta. Setelah sore dan malamnya masih mengaji di mesjid dekat rumah dan makan di kamarnya sendiri.
Kaget tentu! Tetapi melihat umurnya yang sudah 83 tahun, ia sudah diberi cukup umur panjang sama Tuhan.
Dengan beberapa tahun membuat persepsi soal kematian, saya percaya kalau tugas di dunianya sudah (hampir) selesai maka Tuhan memanggilnya. Selanjutnya tugas yang hidup buat melanjutkan apapun perjuangan yang ditinggalkan.
Jelas, tidak mudah jadi orang yang ditinggalkan. Menata kembali hidup setelah sekian lama ada orang yang melakukan 'tugas' itu buat kita. Banyak PR. Tapi jadi banyak belajar. Apalagi dalam kasus saya adik semua masih sekolah dan selang beberapa bulan, Yangkung, bapaknya Ibu saya menyusul bapak saya. Dua tahun kemudian om saya, adik laki-laki Ibu satu-satunya juga dipanggil. Nggak kebayang rasanya Ibu kehilangan tiga laki-laki dalam hidupnya. PR makin menumpuk.
Kembali lagi, soal ketakutan tadi. Mungkin kalau ditelusuri lagi, ketakutan bukan soal mati-tidak bernyawa lagi. Tapi soal perpisahan dan keberlangsungan.
Bagaimana bisa berpisah dan melepaskan dengan ikhlas orang terdekat? Bagaimana cara bertahan dan yang hidup masih bisa melanjutkan perjalanannya sekaligus perjuangan pendahulunya?
PR bukan melulu soal beban tanggungan finansial atau moril saja tetapi bagi saya seperti meditasi. Berdiam sejenak, memindai keseluruhan badan dan pikiran, hubungan dengan yang ditinggalkan, apa yang bisa diperbaiki, apa yang memang harus dilepaskan. Tetap harus bernafas, membiarkan energi baik masuk dan melepas energi negatif. Pada akhirnya, ini soal acceptance (dan saya gak tau padanan kata paling pas untuk ini.
Foto dari pemakaman kemarin di Jogja. Saya tidak pernah tahu kalau Eyang Kakung ini masih veteran perang dulu. Yang saya tahu, almarhum memberi saya kenangan baik dan manis selama saya kecil di rumahnya dan menurunkan dalam hubungan dia ke Bapak dan tentunya saya ke Bapak.
Yang tenang di sana yang, salam buat Bapak, Eyang Uti, Yangkung, Momo dan Doni ya!
Foto terakhir bersama Eyang Kakung pas Lebaran 2017 di Jogja.
❤❤❤❤❤❤
PS: I try to move some of my writings (that scattered in another social media) to blog, just to keep it on track and archived.
No comments:
Post a Comment