Sunday, November 27, 2011
The Raid: Serbuan Beruntun Tanpa Menyisakan Ruang Nafas
Film Indonesia tahun ini boleh dibilang menanjak. Buktinya, banyak apresiasi yang mendalam dari masyarakatnya sendiri. Mendapat kepercayaan dari masyarakat sendiri bukanlah hal mudah, mengingat reputasi kualitas film Indonesia begitu naik turun di tanah air. Bagaimana dengan film Indonesia yang sudah berjaya di festival internasional sebelum akhirnya tayang? Bisa dipastikan animo calon penonton begitu besar. Ada euforia tersendiri yang sudah diciptakan oleh penonton di negeri orang. Tentunya, karena merasa sebagai bagian dari film Indonesia, publik Indonesia pun tak mau kalah bergembira dengan menggelar serangkaian upacara penyambutan selamat datang di negeri sendiri.
The Raid mendapat kehormatan disambut dengan segala gemerlap penonton yang sudah siap dengan sorak sorai, bahkan sebelum tayang di jaringan bioskop. Dengan tangan dingin Gareth Evans, sutradara asal Wales yang juga berada di balik film Merantau, The Raid mendapat sambutan hangat di penutupan INAFFF 2011 (Indonesia International Fantastic Film Festival) hari Minggu lalu. Lepas dari segala gegap gempitanya, sebenarnya apa yang ditawarkan dari film laga satu ini?
Semua berawal dari sebuah truk yang membawa pasukan penuh tentara kemarin sore. Misi mereka: serbuan gembong narkoba di sebuah gedung. Serbuan ini merupakan aksi gelap yang dipimpin Jaka dengan anak buahnya yang tergolong baru di medan laga. Gembong yang dihadapi bukan main-main. Para tentara langsung dikepung sesaat mereka masuk ke gedung kumuh tersebut. Adu jotos pun tak terhindarkan. Baku hantam sampai baku tembak terjadi tanpa peringatan dan kompromi. Rama (Iko Uwais) dihadapkan pada masalah yang sudah ia tinggalkan di rumah bersama sang istri yang tengah hamil. Tak disangka, satu masalah bertambah saat ia bergabung dalam penyerbuan. Motif di balik penyerbuan makin terasa janggal ketika sersan tentara itu (Pierre Gruno) terlihat merahasiakan penyerbuan maut ini dari markas besar para tentara.
Dari trailer yang begitu sarat adegan laga yang mematikan, terlihat bagaimana plot cerita seolah dikesampingkan saat film dimulai. Evans memanjakan penonton sejak menit pertama dengan adegan yang memicu adrenalin dan tidak membiarkan penonton berkedip barang sejenak. Arus adrenalin dibangun perlahan-lahan, namun langsung menukik tajam menjelang menit ke sepuluh. Intro menuju inti film dibuat hanya sekilas lewat instruksi Jaka (Joe Taslim) pada anak buahnya. Saat itu, penonton seperti ikut menghitung mundur untuk masuk ke dalam serangkaian pertarungan yang menjanjikan adegan penuh aksi. Perjalanan para tentara menaiki anak tangga satu persatu ke markas musuh ikut menjadi perjalanan ketegangan penonton, sembari menunggu aksi-aksi brutal yang ketegangannya meningkat. Adegan laga sepanjang film ini merupakan orisinalitas Yayan Ruhiyan, sang koreografer bersama Iko Uwais. Inspirasinya adalah pencak silat, yang mengandalkan serangan bertubi-tubi dengan tangan kosong.
Awalnya, adegan silat ini hanya ditampilkan di awal film, saat Rama berlatih dengan samsaknya. Kemudian perlahan-lahan para tokoh utama, yang semula mengandalkan senjata api, hanya bertarung dengan tangan kosong. Adegan baku tembak menghasilkan pertarungan penuh darah lewat tembakan-tembakan yang bertubi-tubi. Saat pertarungan tanpa senjata dimulai, barulah terasa pergumulan dengan jurus-jurus silat menjadi nyawa dalam film laga ini. Tidak lupa cucuran darah yang dengan gamblang ditampilkan lewat adegan pertarungan dengan pistol dan golok tajam. Suasana tegang makin terasa.
Penguasaan ruang para pemain turut membangun ketegangan. Misalnya, di salah satu adegan adu jotos di koridor, kamera benar-benar menyorot dari ujung koridor ke ujung lainnya. Jarak antar koridor tersebut disisakan untuk penonton yang menanti dengan jantung berdegup, menebak-nebak apa yang akan terjadi sepersekian detik berikutnya. Salah satu adegan yang sangat detail adalah adegan di awal film, saat para mafia berjaga tepat di atas lantai para tentara berada. Saat itu lampu gedung dimatikan dan layar begitu gelap. Hanya ada bayangan mafia dari kejauhan. Penonton sendiri dihadapkan pada tentara yang sedang kebingungan. Suasana tegang muncul lewat sudut pandang orang ketiga, seolah penonton melihat kedua pihak tersebut dari posisi yang tersembunyi. Dalam beberapa detik, adegan seolah berhenti. Saat itulah, nafas penonton dibuat tertahan karena tegang menunggu adegan apa yang akan terjadi berikutnya.
Begitulah cara Evans membangun ketegangan: perlahan-lahan memburu nafas penonton, dan tak buru-buru menumpahkannya dalam satu-dua adegan saja. Satu hal yang Evans berusaha tampilkan dalam film laga penuh aksi pencak silat ini adalah logika. Film laga sering menuai protes karena tokoh utamanya yang tidak pernah lelah, atau peluru yang tidak pernah ada habisnya. Sepanjang The Raid, penonton akan menemukan situasi ‘logis’ yang jarang ditemukan dalam sebuah film laga. Mulai dari satu persatu tentara kehabisan peluru, bos mafia yang menembak korbannya dan menemukan pistolnya kosong, dan para tentara yang kelelahan di tengah-tengah bertarung. Logika ini juga yang akhirnya menumbangkan satu persatu tentara dan mafia serta memposisikan keduanya seimbang. Kisah yang masuk akal inilah yang nantinya juga membantu akhir cerita film, dan siapa yang akhirnya menjadi pemenang.
Hal lainnya yang kadang tak tersentuh dalam film laga adalah perkembangan karakter. Elemen tersebut kerap dikesampingkan demi keutuhan adegan laga yang bertubi-tubi. Salah satu contohnya adalah The Hurt Locker. Film peraih Oscar tahun 2010 tersebut mengekspos perjalanan tentara di daerah konflik. Sejak awal film, tanpa panjang lebar lagi aksi tembak menembak dimulai. Tidak ada intro yang mengenalkan kita pada latar belakang karakter yang muncul satu persatu. Hasilnya bagusnya tidak mengecewakan. Tanpa ikatan emosional penonton dengan para tokohnya, rasa simpati tetap terbangun dari pertahanan masing-masing tokohnya dalam berbagai situasi genting. Lebih kurang proses serupa terjadi dalam The Raid. Penonton tidak perlu dikenalkan pada tokohnya satu per satu. Bahkan kalau perlu tidak perlu ada ikatan emosional yang membuahkan empati penonton. Hal ini terjadi pada 80% karakter yang muncul di The Raid, kecuali satu tokoh: Rama.
Hanya Rama yang punya kisah latar belakang di balik rompi anti pelurunya. Tanpa panjang lebar, Rama diceritakan mempunyai keluarga yang ia tinggalkan demi misi penyerbuan ini. Rama juga yang akhirnya berkesempatan berinteraksi dengan warga sipil yang tinggal di gedung markas mafia tersebut, dan akhirnya berhasil membongkar suatu rahasia di balik motif penyerbuan maut ini. Mungkin kalau latar belakang kisah Rama ini dihilangkan, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan ketegangan aksi-aksi laga yang disampaikan. Namun, berkat kisah tersebut, muncul suatu praduga di benak penonton tentang The Raid. Tentunya praduga tersebut tidak mungkin dibeberkan di sini.
Satu hal lagi yang menarik adalah akting Ray Sahetapy sebagai Tama.Wajah bengisnya terasa begitu pas sebagai bos mafia. Saat ia membuka mulut, justru komentar jenaka dan sinis yang keluar. Hal ini memberikan sedikit ruang untuk penonton menghela nafas sejenak, tanpa menghilangkan unsur sadis pada karakter Tama. Dialog pada karakter Tama terasa begitu natural layaknya mafia yang jahat, namun seperti menyembunyikan kartu mati bagi musuh-musuhnya. Sejak awal, tokoh Tama cukup menarik perhatian lewat gerak geriknya. Bagusnya lagi, tokoh tersebut tak terjebak stereotip tentang sosok bos mafia, yang kerap digambarkan berpakaian serba hitam dan rambut tersisir rapi.
Ada sedikit kekhawatiran yang muncul ketika sutradara atau penulis asing berada di balik sebuah film Indonesia. Salah satunya adalah dialog-dialog dalam bahasa Indonesia baku, yang seringnya terasa kaku ketika diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari. Tentunya perlu adaptasi atau improvisasi dari aktor yang memerankannya. Di awal adegan sempat terasa dialog menggunakan kata-kata yang ganjil apabila digunakan dalam dialog sehari-hari. Kekakuan itu untungnya tidak berlangsung lama. Para aktor seperti Donny Alamsyah dan Ray Sahetapy mengikis kekakuan dialog bahasa Indonesia tersebut menjadi sangat santai. Bisa dipastikan dengan penggodokan bersama tim Merantau Film, mulai dari skrip hingga koreografinya, Dalam The Raid, Evans sukses mengawinkan unsur lokal dengan formula film laga berstandar Hollywood. Gerakan pencak silat menjadi kekuatan film dalam menampilkan identitas Indonesia, dan konon membuat penonton di Toronto Film Festival begitu tertarik.
Nampaknya butuh seorang asing untuk mengembalikan kepercayaan penonton Indonesia pada sinema nasionalnya sendiri. Entah euforia yang menjadikannya juara atau memang ada strategi tertentu dalam pemasaran The Raid, sehingga penonton di sini tak sabar menantinya. Kesabaran penonton Indonesia kembali diuji dengan diundurnya penayangan The Raid, dari Januari 2012 ke April 2012. Apakah The Raid bisa memuaskan para penonton Indonesia yang konon haus akan film nasional berkualitas? Butuh waktu untuk menjawab pertanyaan ini, namun melihat segala kualitas yang dipamerkan The Raid, bolehlah kita optimis barang sejenak.
The Raid | 2011 | Sutradara: Gareth Evans | Negara: Indonesia | Pemain: Iko Uwais, Pierre Gruno, Ray Sahetapy, Joe Taslim, Tegar Satria, Verdi Solaiman, Ananda George, Eka Rahmadia, R Iman Aji, Donny Alamsyah, Yayan Ruhian
Also published on cinemapoetica.com
Jogja, I'm In Denial
Setelah nyaris satu bulan saya bekerja di kantor baru, ini adalah kali pertamanya ditugaskan ke luar kota untuk menemani film yang akan diputar. Yak, film dokumenter batik yang konon peminatnya begitu membludak ini memang tidak boleh keluar sendiri dari kandangnya untuk memastikan tidak ada yang melalukan duplikasi film ini. Kali ini permintaan datang dari sebuah SMK di Klaten di bawah sebuah NGO. Akhirnya terjadilah perjalanan yang membutuhkan banyak energi, khususnya mata untuk benar-benar terbuka. Jumat tanggal 25 November 2011 tepat sehari (atau beberapa jam) setelah pemutaran perdana dan serangkaian acara red carpet film Arisan 2! Saya meluncur ke bandara Soekarno Hatta menuju Adisucipto. Jam 9 lewat lima belas menit, saya sudah berdiri cantik menunggu jemputan dari Titian Foundation, penyelenggara acara tersebut. Perjalanan langsung dilanjutkan ke Bayat, Klaten sekitar lebih kurang satu jam ke SMK 1 yang akan menjadi lokasi pemutaran film Batik Our Love Story.
Sudah terbayang kira-kira lokasi pemutaran akan sedikit ndeso seperti yang dikatakan Nila, salah satu officer dari Titian Foundation. Yak, perjalanan benar-benar melewati sawah dan gunung di kanan kiri jalan. Nila sempat menyebutkan sekolah ini berada di kaki Gunung Kidul, nama yang cukup familiar tapi tidak pernah saya ketahui di mana lokasinya. Akhirnya tiba di SMK 1 dan saya tercengang melihat sekolah tersebut. Dibangun 3 tahun lalu dari donasi bencana gempa Jogja, sekolah ini sangat bagus untuk ukuran sebuah sekolah negeri di pedesaan. Mereka punya studio batik dan keramik, sesuai jurusan SMK tersebut, guest house, dan pastinya auditorium sendiri untuk memutar film serta diskusi.
Dengan lokasi yang masih sangat alami sebenarnya pemandangan dari SMK 1 ini sungguh menyenangkan tetapi membayangkan harus menginap di guest house di tengah sawah yang selepas magrib hanya ada suara jangkrik, tentu membuat saya berpikir dua kali. Jadilah malam itu saya pamit untuk langsung meluncur ke Jogja, menginap di rumah eyang. Sebenarnya ada hidden agenda yang tadinya mau saya jalani. Sejak awal panitia acara menanyakan kapan saya mau pulang ke Jakarta. Sempat terpikir untuk mengunjungi Semarang barang semalam mengingat obsesi saya pada kuil dan Chinatown di Semarang. Sayangnya setelah sedikit berkonsultasi dengan beberapa teman, waktu satu hari terlalu mepet untuk dilalui di Semarang, nantinya hanya akan dapat lelah saja. Jadilah saya manfaatkan waktu satu setengah hari berkeliling di Jogja setelah terakhir kali mampir tahun 2008 lalu.
Jogja bukan kota asing bagi saya, selama lebih kurang 20 tahun pasti mampir meskipun hanya sekadar silaturahmi Lebaran satu tahun sekali. Saking seringnya, bagi saya tidak ada lagi yang menarik dijelajahi, bahkan saya tidak pernah benar-benar mampir ke Malioboro dengan alasan bosan dan macet. Ini menjadi sedikit burden bagi saya saat menuju Jogja. Mau ke mana saja di Jogja? Jujur saat itu hanya ada satu tempat di benak saya, kedai eskrim yang sempat saya baca ulasannya di twitter. It’s so unlike me, to visit a city without exploring about the city and what happened there. Akhirnya saya mencatat beberapa nama restoran dan kafe saja di Blackberry saya. Seperjalanan menuju Jogja barulah saya tahu tepat keesokan harinya akan dibuka perhelatan akbar Jogja Biennale yang akan berlangsung selama sebulan lebih.
Rasa penasaran pertama akhirnya terpenuhi dengan mengunjungi Artemy gelato bar di dekat Hotel Ibis Malioboro yang konon menyajikan rasa ferrero roche. Sayang malam itu tidak tersedia, akhirnya saya cukup puas dengan rasa cotton candy dan spekulas. Hanya 19.000 sudah lengkap dengan waffle cone dan taburan sprinkles.
Lanjut, saya minta dibawa menyicipi bakso ala Jogja yang dilengkapi dengan bakso gorengnya tak jauh dari kedai es krim tadi. Hanya dengan enam ribu rupiah, semangkuk bakso hangat sukses menyeimbangkan rasa manis dan dingin eksrim. Yes, i am cheap!
Keesokannya, barulah kembali perjalanan menyusuri kuliner Jogja dilanjutkan. Saya sedikit bersikeras mampir ke sebuah coffeeshop atas rekomendasi teman yang hobi nongkrong di sini. Kafe Noir, terbayang suasana kelam sesuai namanya dan menurut promo di twitter, mereka juga punya red velvet cupcake. Saya sedikit kecewa melihat kafe yang sederhana itu tanpa penampakan red velvet cupcake. Untungnya kekecewaan itu terbayar dengan creme brule blended coffee yang rasanya menyegarkan hanya dengan 19.000 saja.
Sejujurnya saya sudah kehabisan ide (yaiyalah Cuma nabung 2 tempat makan doang!) tiba-tiba saya ingat saat ada pameran kuliner Jogja di TIM beberapa bulan lalu oleh Jalansutera. Ada sate klatak yang padat peminat dan saya kehabisan saat itu. Jadilah saya mencari sate klatak yang konon terkenal di Jl. Imogiri tetapi bisa ditemui di beberapa kedai sate kambing. Akhirnya, sate kambing dengan bumbu sederhana bawang putih dan garam ini hadir di hadapan saya. Bagi beberapa orang mungkin akan terasa kering tanpa bumbu kecap atau kacang, tetapi untuk saya entah mengapa terada mirip dengan BBQ di restoran Korea.
Perut kenyang, hati puas. Perjalanan pulang dilanjutkan melewati Malioboro dan tugu Serangan 11 Maret. Seperti yang saya sebutkan di atas, saya tidak pernah tertarik menyusuri Malioboro lebih lanjut. Mendadak saya terpana dengan sebuah patung kelinci emas dengan tulisan soal toleransi, lalu juga sebuah art work warna merah tepat di depan tugu 11 Maret. Tangan saya terlalu lambat untuk meraih kamera dan memotretnya. Saat itu ramai sekali jalanan sekitar Malioboro dan pak supir pun menyeletuk, “Wah ntar malam itu perayaan 1 Suro. Pantas ramai sekali ini mbak..”
“Biasanya ngapain pak kalo 1 Suro?” “Itu dari kraton ada yang keliling benteng, pokoknya ramai semalam suntuk”
Damn! Dalam hati saya kesal luar biasa pada diri sendiri. Ini mungkin salah satu perayaan budaya yang cukup besar, kabarnya ada ritual sendiri di Pantai Selatan yang unik. Saya menyesal mengapa saya begitu in denial dengan kota yang terlalu sering saya kunjungi tapi jarang dieksplorasi. Begitu pula saat melewati Klaten dan melihat signage Candi Boko dan candi-candi lainnya di perjalanan pulang. Diketahui kemudian, pembukaan Jogja Biennale juga ramai dengan eksebisi karya seni yang terbuka untuk umum. Sungguh penyesalan kuadrat. Oh well, nampaknya saya tidak boleh menanaktirikan kota manapun, seberapa seringnya kita sudah berkunjung karena akan selalu ada hal baru yang menarik diulik. Penyesalan tak berguna masih terasa sampai mendarat di Soekarno Hatta semalam. Bummer!
Sudah terbayang kira-kira lokasi pemutaran akan sedikit ndeso seperti yang dikatakan Nila, salah satu officer dari Titian Foundation. Yak, perjalanan benar-benar melewati sawah dan gunung di kanan kiri jalan. Nila sempat menyebutkan sekolah ini berada di kaki Gunung Kidul, nama yang cukup familiar tapi tidak pernah saya ketahui di mana lokasinya. Akhirnya tiba di SMK 1 dan saya tercengang melihat sekolah tersebut. Dibangun 3 tahun lalu dari donasi bencana gempa Jogja, sekolah ini sangat bagus untuk ukuran sebuah sekolah negeri di pedesaan. Mereka punya studio batik dan keramik, sesuai jurusan SMK tersebut, guest house, dan pastinya auditorium sendiri untuk memutar film serta diskusi.
Dengan lokasi yang masih sangat alami sebenarnya pemandangan dari SMK 1 ini sungguh menyenangkan tetapi membayangkan harus menginap di guest house di tengah sawah yang selepas magrib hanya ada suara jangkrik, tentu membuat saya berpikir dua kali. Jadilah malam itu saya pamit untuk langsung meluncur ke Jogja, menginap di rumah eyang. Sebenarnya ada hidden agenda yang tadinya mau saya jalani. Sejak awal panitia acara menanyakan kapan saya mau pulang ke Jakarta. Sempat terpikir untuk mengunjungi Semarang barang semalam mengingat obsesi saya pada kuil dan Chinatown di Semarang. Sayangnya setelah sedikit berkonsultasi dengan beberapa teman, waktu satu hari terlalu mepet untuk dilalui di Semarang, nantinya hanya akan dapat lelah saja. Jadilah saya manfaatkan waktu satu setengah hari berkeliling di Jogja setelah terakhir kali mampir tahun 2008 lalu.
Jogja bukan kota asing bagi saya, selama lebih kurang 20 tahun pasti mampir meskipun hanya sekadar silaturahmi Lebaran satu tahun sekali. Saking seringnya, bagi saya tidak ada lagi yang menarik dijelajahi, bahkan saya tidak pernah benar-benar mampir ke Malioboro dengan alasan bosan dan macet. Ini menjadi sedikit burden bagi saya saat menuju Jogja. Mau ke mana saja di Jogja? Jujur saat itu hanya ada satu tempat di benak saya, kedai eskrim yang sempat saya baca ulasannya di twitter. It’s so unlike me, to visit a city without exploring about the city and what happened there. Akhirnya saya mencatat beberapa nama restoran dan kafe saja di Blackberry saya. Seperjalanan menuju Jogja barulah saya tahu tepat keesokan harinya akan dibuka perhelatan akbar Jogja Biennale yang akan berlangsung selama sebulan lebih.
Rasa penasaran pertama akhirnya terpenuhi dengan mengunjungi Artemy gelato bar di dekat Hotel Ibis Malioboro yang konon menyajikan rasa ferrero roche. Sayang malam itu tidak tersedia, akhirnya saya cukup puas dengan rasa cotton candy dan spekulas. Hanya 19.000 sudah lengkap dengan waffle cone dan taburan sprinkles.
Lanjut, saya minta dibawa menyicipi bakso ala Jogja yang dilengkapi dengan bakso gorengnya tak jauh dari kedai es krim tadi. Hanya dengan enam ribu rupiah, semangkuk bakso hangat sukses menyeimbangkan rasa manis dan dingin eksrim. Yes, i am cheap!
Keesokannya, barulah kembali perjalanan menyusuri kuliner Jogja dilanjutkan. Saya sedikit bersikeras mampir ke sebuah coffeeshop atas rekomendasi teman yang hobi nongkrong di sini. Kafe Noir, terbayang suasana kelam sesuai namanya dan menurut promo di twitter, mereka juga punya red velvet cupcake. Saya sedikit kecewa melihat kafe yang sederhana itu tanpa penampakan red velvet cupcake. Untungnya kekecewaan itu terbayar dengan creme brule blended coffee yang rasanya menyegarkan hanya dengan 19.000 saja.
Sejujurnya saya sudah kehabisan ide (yaiyalah Cuma nabung 2 tempat makan doang!) tiba-tiba saya ingat saat ada pameran kuliner Jogja di TIM beberapa bulan lalu oleh Jalansutera. Ada sate klatak yang padat peminat dan saya kehabisan saat itu. Jadilah saya mencari sate klatak yang konon terkenal di Jl. Imogiri tetapi bisa ditemui di beberapa kedai sate kambing. Akhirnya, sate kambing dengan bumbu sederhana bawang putih dan garam ini hadir di hadapan saya. Bagi beberapa orang mungkin akan terasa kering tanpa bumbu kecap atau kacang, tetapi untuk saya entah mengapa terada mirip dengan BBQ di restoran Korea.
Perut kenyang, hati puas. Perjalanan pulang dilanjutkan melewati Malioboro dan tugu Serangan 11 Maret. Seperti yang saya sebutkan di atas, saya tidak pernah tertarik menyusuri Malioboro lebih lanjut. Mendadak saya terpana dengan sebuah patung kelinci emas dengan tulisan soal toleransi, lalu juga sebuah art work warna merah tepat di depan tugu 11 Maret. Tangan saya terlalu lambat untuk meraih kamera dan memotretnya. Saat itu ramai sekali jalanan sekitar Malioboro dan pak supir pun menyeletuk, “Wah ntar malam itu perayaan 1 Suro. Pantas ramai sekali ini mbak..”
“Biasanya ngapain pak kalo 1 Suro?” “Itu dari kraton ada yang keliling benteng, pokoknya ramai semalam suntuk”
Damn! Dalam hati saya kesal luar biasa pada diri sendiri. Ini mungkin salah satu perayaan budaya yang cukup besar, kabarnya ada ritual sendiri di Pantai Selatan yang unik. Saya menyesal mengapa saya begitu in denial dengan kota yang terlalu sering saya kunjungi tapi jarang dieksplorasi. Begitu pula saat melewati Klaten dan melihat signage Candi Boko dan candi-candi lainnya di perjalanan pulang. Diketahui kemudian, pembukaan Jogja Biennale juga ramai dengan eksebisi karya seni yang terbuka untuk umum. Sungguh penyesalan kuadrat. Oh well, nampaknya saya tidak boleh menanaktirikan kota manapun, seberapa seringnya kita sudah berkunjung karena akan selalu ada hal baru yang menarik diulik. Penyesalan tak berguna masih terasa sampai mendarat di Soekarno Hatta semalam. Bummer!
Monday, November 21, 2011
The Raid : Menghadap Penonton Indonesia di Penutupan INAFFF
“The Raid” memang bukan film Indonesia pertama yang berjaya di festival film internasional. Kalau mau kilas balik, film-film seperti “Berbagi Suami”,” Pintu Terlarang”, “Madame-X”, dan yang terbaru film karya Teddy Soeriaatmaja sukses menorehkan namanya di festival film internasional. Apakah memang setelah membuat penonton internasional berdecak kagum akan memudahkan jalannya untuk tayang di Tanah Air sendiri? Setidaknya, itu yang terjadi pada film karya Gareth Evans, “The Raid” yang tayang perdana di Indonesia sebagai film penutup Indonesia International Fantastic Film Festival 2011 hari Minggu malam lalu.
Kisahnya berkisar tentang penyerbuan besar-besaran sebuah gedung yang tidak pernah tersentuh oleh polisi. Dipimpin oleh Jaka (Joe Taslim), pasukan tentara ini berusaha menangkap pemimpin kelompok mafia kelas kakap yang diperankan aktor senior Ray Sahetapy. Penyerbuan ini merupakan perjuangan mati-matian tanpa backup yang memadai. Hiruk-pikuk dalam baku tembak ini akhirnya terjadi dengan sedikit melibatkan warga sipil yang juga tinggal di gedung rumah susun tersebut. Selain Jaka, ada Rama (Iko Uwais) yang berada dalam barisan polisi tersebut dan juga sersan yang ternyata punya misi tersendiri atas penyerbuan tersebut (Pierre Gruno).
Tak disangka, gedung tersebut dijaga ketat dengan pasukan yang bersenjata dan tidak main-main mau menghabisi pasukan polisi tersebut. Sebelum menghadapi bos mafia, ada kaki tangan yang disebut mad dog (Yayan Ruhiyan) yang siap menghabisi siapa saja yang berusaha memporakporandakan istana mafia tersebut. Bagaimana pertahanan para polisi bau kencur yang masih gemetar saat memegang senjata ini harus berhadapan dengan mafia bersenjata yang siap menghabisi tanpa kenal ampun?
Animo penonton Indonesia sudah dibangun sedemikian rupa sejak film ini berhasil menjadi People’s Choice Award di Toronto Film Festival September lalu. “The Raid” sendiri sudah tampil di kancah internasional sejak Cannes Film Festival bulan Mei 2011 silam. Saat itu, hanya potongan film dari proses syuting yang dibawa ke festival bergengsi dunia tersebut. Dari potongan film yang syutingnya baru selesai Juni lalu, akhirnya Sony Pictures Worldwide membeli hak distribusinya untuk wilayah Amerika dan resmi berganti nama dari “Serbuan Maut” menjadi “The Raid”. Sejak saat itulah nama Gareth Evans, Iko Uwais, dan Yayan Ruhiyan disebut-sebut sebagai aktor utama di balik kesuksesan film ini.
Ketertarikan Evans akan film laga ini sudah terlihat dalam film sebelumnya, “Merantau”. Film yang juga dibintangi Iko Uwais ini menampilkan aksi pencak silat yang menjadi koreografi utama film tersebut. Nasib pemutaran “Merantau” berbeda jauh dengan “The Raid”. “Merantau” tayang di Indonesia tahun 2009 dan hanya bertahan beberapa minggu saja di layar bioskop. Kemudian , Evans membawa film ini ke Amerika, dan tidak disangka berhasil meraih penghargaan Action Fest 2010 di Asheville, North Carolina.
Melihat titik cerah untuk film laga Indonesia, Evans makin memantapkan untuk menggodok film berikutnya. Berkolaborasi dengan Iko yang memang atlet pencak silat dan Yayan, menjadikan “The Raid” sebagai film laga berciri khas pencak silat. Unsur yang sangat Indonesia inilah yang menjadikannya bersinar dan terlihat unik. Meskipun banyak adegan baku tembak penuh darah dalam film ini, setiap aktornya menampilkan kemampuan akting laga, terutama adegan berkelahi dengan tangan kosong. Dari mulai adegan pertama, Iko terlihat menampilkan kemampuannya sebagai master Pencak Silat sampai sepanjang 101 menit kemudian.
Penayangan perdana “The Raid” membuktikan kalau publik Indonesia begitu haus dan tertarik pada film Indonesia berkualitas. Meskipun disutradarai oleh filmmaker asal Inggris, kru dan pemain dalam film ini 90% merupakan warga lokal. Jadi, kita bisa dengan bangga mengatakan “The Raid” merupakan salah satu karya film Indonesia yang menjanjikan. Di depan 500 penonton yang beruntung menyaksikan film ini untuk pertama kali, terlihat optimisme dan juga pujian-pujian yang dilontarkan termasuk oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, yang ikut menonton dan memuji kerja keras kru serta pemain dari film ini.
Kamu penasaran dengan film yang mendapat rating 8.6 di forum dan situs film internasional ini? Nampaknya harus cukup sabar sampai pertengahan tahun depan. Awalnya film ini dikabarkan akan tayang Februari 2012 mendatang, tetapi kabar baru berhembus katanya baru awal April film ini bisa ditayangkan serentak di tanah air. Well, it’s worth to wait!
Also posted in FIMELA.com
Friday, November 18, 2011
Adam Liaw: The Authenticity Over Two Kitchens and Two Continents to Finally on One Plate.
Adam Liaw datang ke Jakarta untuk mendemokan dan menyajikan masakannya tanggal 18 dan 19 November 2011. Terbang langsung dari Sydney, Adam langsung menuju Portico dan mengecek kelengkapan dapur dan tim yang akan membantunya memasak. Untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Jakarta, Adam cukup excited melihat publik Jakarta yang sudah penasaran dengan tiga menu yang akan disajikan, Tuna Tartare dengan Yuzu Jelly, Wasabi Avocado Cream, Pink Peppercorn dan Garlic Crisp. Untuk main coursenya ada pilihan Roasted Seabass atau Tea Smoked Lamb dan tak lupa makanan penutup spesial es krim truffle yang akan diolah dengan Strawberry Custard dan meringue. Untuk persiapan menyajikan menu tergolong cepat, Adam hanya punya waktu kurang dari lima minggu termasuk untuk menyediakan beberapa bahan yang dibawa langsung dari Australia. Bagi Adam bisa memasak dan menyiapkan hidangan otentiknya adalah bentuk kecintaannya pada kuliner. “You should put your feeling on a plate,” ungkapnya tentang bagaimana ia memasak dengan hati dan bisa menunjukkan bagaimana ia menunjukkan identitasnya sebagai koki. Layaknya seni, memasak seperti membuat sebuah desain yang bisa dinikmati rasa dan penampilannya yang cantik.
Adam yang sudah memasak sejak masa remaja, nampaknya harus berterimakasih pada sang nenek yang menjadi guru sekaligus inspirasi memasaknya. Sang Nenek yang berusia 85 tahun adalah tipikal seorang nenek yang sering memarahinya di dapur. Pasca kesuksesannya di Masterchef, tentu ia tidak akan menyesal dengan segala kitchen-chaos yang dialaminya bersama sang nenek. Sampai sekarang, ia selalu menyempatkan diri mengunjungi neneknya di Adelaide dan setiap Adam berkunjung sang nenek akan membuat masakan spesial sesuai permintaan Adam. “My grandma’s chicken rice is my favorite. If you give me three ingredients; chicken, rice and ginger then I could cook chicken rice and eat it everyday!” katanya sambil tertawa renyah.
Selama satu tahun berjuang di Masterchef, penghargaan terbesar Adam akhirnya ia bisa menerbitkan buku pertamanya Two Asian Kitchens yang dalam waktu dekat juga akan diterjemahkan ke bahasa Belanda. Menulis buku masakan ini merupakan proses yang menyenangkan bagi Adam, “Everyone who cook must like to publish a cookbook.” Adam mengingat kisah tentang buku favoritnya yang ia beli di pasar loak Tokyo, ia membeli sebuah buku tentang masakan ala California di era 50-an. Saat itu yang ada di pikiran Adam, masakan tahun di tahun itu hanya berkisar hot dog atau burger, ternyata mereka saat itu sudah mengenal char siew, sushi, teriyaki. “But frankly, I never cook anything from that book.”
Pengalaman bersama kontestan Masterchef memang bukan drama reality show yang menunjukkan bagaimana mereka saling memaki di dalam dapur atau juri-juri membentak kontestannya dengan ‘F-word’. Tinggal bersama hampir satu tahun lamanya, kedekatan Adam dan kontestan lain terutama Callum masih terjaga sampai saat ini. Kalau mau kilas balik, Adam mengaku momen terbaiknya terjadi bukan saat ia diumumkan jadi pemenang Masterchef Australia musim kedua. “Setelah seharian memasak, kami biasanya menikmati sisa hari di balkon rumah mengobrol dan bercanda. Saat itulah momen terbaik yang membuat kami sangat dekat. Sebaliknya, momen menyedihkan setelah pressure test harus menebak siapa kontestan yang harus pulang.” “Begitu dekat dan akrabnya,kami tidak menganggap sesama kontestan adalah kompetitor, salah satu dari kami menang bukan karena salah satu memasak lebih baik dari lainnya.” ucapnya. Baru-baru ini, Adam menghabiskan waktu bermain futsal bersama Callum di liga futsal kampus, “We lost, 7-0!” katanya dengan ringan.
Rencana besar selanjutnya adalah pembukaan restorannya di Sydney. Setelah mengembangkan restoran Izikaya di Jepang yang akan dibuka dalam bulan ini, Adam akan membuka restoran yang juga menjadi ambisinya sejak lama, “We already got almost everything, the chefs, the menu, the design but not the place yet.” Bocorannya, Adam akan membuat restoran tersebut bergaya klasik Jepang berpadu dengan modern-art dan siap dibuka bulan Februari 2012 mendatang. Baginya, atmosfir juga penting agar suasana menikmati makanan akan lebih menyenangkan. Di sisa tahun 2011 ini, Adam akan menikmati perjalanan kuliner yang membawanya keliling dunia dan memperkaya pengalaman serta citarasa. “I’m more adventurous on food now after Masterchef than when I was younger.”Adam juga sudah menyiapkan reuni keluarga besar Natal mendatang di Bangkok.
Published exclusively for FIMELA.com
Sunday, November 13, 2011
Mui Ne: There's No Such A Trip With No Drama
Ternyata butuh waktu lama meneruskan catatan perjalanan Vietnam Oktober lalu. Baiklah, mari kita lanjutkan ceritanya, sekarang saya mau sedikit berbagi perjalanan ke Mui Ne yang jaraknya sekitar 5 jam lewat perjalanan darat.
Awalnya kami bertiga sempat berpikir akan menghabiskan 5 hari di Vietnam hanya di Saigon karena perjalanan pindah kota tidak memungkinkan dilakukan dalam sehari-dua hari saja. Tentunya berkunjung ke Halong Bay di Hanoi atau pantai cantik di Da Nang juga menarik sayang waktunya terbatas. Akhirnya kami mencoba realistis (dan nekat) untuk mengunjungi Mui Ne tanpa harus bermalam di sana. Menuju ke Mui Ne ada 2 opsi moda transportasi, bisa bus atau kereta. Keduanya merupakan transportasi tidur yang artinya sepanjang perjalanan bisa dihabiskan untuk tidur dan kursi yang disediakan adalah kursi tidur yang nyaman. Kami memilih naik bus dengan tiket $5 sekali jalan. Hanya ada dua pilihan waktu untuk berangkat dan pulang. Dari Saigon kami memilih berangkat jam 8 pagi dan sampai sana jam 2 siang. Untuk menghemat waktu dan penginapan, kami memilih pulang kembali ke Saigon jam 2 pagi di hari berikutnya. Tentu dirasa cukup menghabiskan waktu nyaris dua belas jam menyusuri berbagai atraksi di Mui Ne.
Sleeper Bus
Mui Ne dikenal sebagai salah satu desa nelayan penghasil ikan dan udang sebagai komoditi utamanya. Hasil olahannya berupa minyak dan kecap ikan termasuk popular dikonsumsi oleh masyarakat Vietnam. Jadi, jangan heran ketika nanti ke Mui Ne di sepanjang jalannya bau amis ikan begitu terasa karena mereka mengeringkan udang rebon di jalan raya yang dilewati orang dan kendaraan. Fishing village juga dijadikan salah satu tourist attraction di Mui Ne bersama dua tujuan utama saya saat itu, Red Sand Dunes dan White Sand Dunes. Kedua bukit pasir tersebut sepeerti member kekontrasan nuansa pantai dan laut di Mui Ne. Saya yang selama ini belum pernah ke padang pasir tentu sangat excited dengan perjalanan ini. Perjalanan mengelilingi Mui Ne kami tempuh dengan jip sewaan beserta supirnya yang merangkap sebagai guide. Namanya Khan, dia cukup fasih berbahasa Inggris.
The Jeep
Pertama kami melewati Fishing Village yang dipenuhi para nelayan yang sedang mengumpulkan hasil tangkapannya. Kami tidak bisa turun melihat kapal-kapal dan ikan nelayan lebih dekat lagi tetapi hanya mengambil foto-fotonya. Selanjutnya kami menuju Fairy Stream, yaitu sungai yang dikelilingi tebing layaknya Grand Canyon. Kita bisa menyusuri sungai yang panjangnya 500-an M ini. Fairy Stream ini bukan salah satu itinerary kami dan kami tidak siap menyusuri sungai dengan dress ala pantai dan sandal jepit. Akhirnya atraksi yang satu ini kami lewatkan dan langsung menuju White Sand Dunes. Dalam waktu 20 menit akhirnya sampai juga di bukit pasir putih itu dan baru dari jauh saya sudah terpana melihatnya. Bukit pasir ini benar-benar berada di tengah dan puncak bukitnya terasa begitu dekat dengan matahari. Kita bisa jalan kaki mengitari bukit pasirnya tetapi untuk mencapai puncak harus naik oto-moto. Oto-moto ini bentuknya seperti motor mainan yang digerakkan dengan baterai. Satu oto-moto besar bisa berisi 4 orang termasuk pengemudinya. Tanpa safetybelt dan pegangan motor yang layak, guncangan di oto-moto makin terasa menegangkan apalagi pengemudinya kami yakin masih di bawah 17 tahun!
Menaiki undakan bukit pasir itu benar-benar menukik tajam dan curam. Tak sadar kami bertiga berteriak layaknya naik jetcoster dan berpegangan kencang satu sama lain. Belum selesai rasa deg-degannya, melihat pemandangan White Sand Dunes ini seperti membawa kami ke lokasi syuting film The Prince of Persian atau Sex and The City 2 dengan pemandangannya yang breathtaking. Hanya kami berempat yang berada di puncak bukit pasir dan terasa begitu dekat dengan matahari.
Setelah puas berjemur, kami kembali ke jip dan menuju Red Sand Dunes, bukit pasir yang tampak cantik saat sunset. Warna pasir yang cokelat kemerahan seperti menyatu dengan langit yang mulai memerah saat matahari terbenam. Berbeda dengan White Sand Dunes yang lebih menampakkan cerahnya, suasana di Red Sand Dunes membawa kami lebih dalam pada suasana tenang dan sedikit romansa.
Saatnya kembali ke pantai sebelum matahari benar-benar terbenam dan kami sempat menyaksikan matahari benar-benar terbenam. Suasana di pantai ini relatif sepi karena kebanyakan turis lebih memilih bersantai di cottage atau resort yang mereka sewa yang lokasinya tepat di pinggir pantai. Makin malam, kami menyusuri pantai menuju restoran seafood sepanjang pantai. Hanya dengan 100.000 D seporsi grilled scallop, kami santap bertiga lengkap dengan sayuran, nasi dan bir dingin.
The Beach and The Bitches
Menjelang jam 9 malam kami mulai mencari tempat untuk nongkrong sambil menikmati malam di Mui Ne. Nah, di sinilah drama dimulai. Suasana di Mui Ne tidak seramai yang kami bayangkan, jalanan termasuk sepi dan turis tidak banyak berkeliaran. Padahal hari itu merupakan akhir pekan, akhirnya kami memilih duduk di kafe dekat dengan tempat kami akan naik sleeper bus nanti. Dengan lampu yang sedikit-sedikit mulai dimatikan, kami tidak menemukan kafe tersebut ternyata lampu penanda sudah dimatikan dan kafe sudah tutup. Bingung memilih tempat lain, akhirnya pilihan jatuh ke kafe di sebelahnya. Setelah menikmati cemilan dan bonus wifi gratis sampai tengah malam, kafe itu tutup tepat jam 12 malam. Tentu saja kami bingung, masih ada 1 jam 30 menit lagi untuk menunggu kedatangan bis malam kembali ke Ho Chi Minh City. Kami sudah mulai diusir dan waitressnya menyuruh kami menunggu di kafe sebelah yang ternyata masih sister company. Akhirnya kami menunggu di kafe yang super gelap tanpa lampu dan di sana tidak ada pengunjung lain selain 2 penjaga kafe yang sedang nonton tv, tentunya dalam gelap. Akhirnya dengan modal wifi dan batere smart phone masing-masing, kami bertahan untuk tidak mati gaya dan serangan nyamuk yang bertubi-tubi. Beberapa menit menjelang 01.30, kami mulai awas dengan bus-bus yang melintas di depan kafe. Di tengah kami mencoba mengawasi bus yang lewat,mendadak hujan deras turun plus petir. Jujur, saat itu ada sedikit kecemasan dan membuat suasana makin mencekam di tengah kota Mui Ne yang benar-benar sepi. Mengingat perjalanan menuju HCMC yang lumayan lama, saya merasa harus ke toilet sebelum bis datang. Ditemani Idha akhirnya kami ke toilet yang berada di belakang kafe. Melihat lorong menuju toilet, mendadak nyali kami ciut.
Lorong menuju toilet berada di semi-outdoor, di kiri lorong ada beberapa wastafel lengkap dengan kaca, di kanan ada ruangan yang pintunya terbuka tanpa lampu, pintu kamar mandi hanya terbuat dari rumbai-rumbai seperti rok penari hula-hula yang dipasang di atas posisi pintu. Sebelum kepala saya membayangkan kejadian di film-film horror Asia akhirnya niat ke toilet dibatalkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30, mulai banyak bis-bis yang lewat depan kafe tetapi belum ada yang berhenti di depan tour yang posisinya tepat di depan kafe. Kami mulai khawatir ketika sampai 15 menit menuju jam 2 belum ada juga bus yang menjemput. Akhirnya saya menelpon hotel kami di HCMC yang memesankan tiket bus malam ini. Sambil menunggu konfirmasi, kami menunggu di pinggir jalan di tengah hujan. Kami perlahan-lahan jalan mencari tour yang masih buka, tiba-tiba ada seorang pria lokal mendekati kami dan bertanya-tanya dalam bahasa Vietnam. Kami pelan-pelan menjauh karena khawatir ia berniat jahat, sampai akhirnya dia berbicara bahasa Inggris bertanya “Are you waiting for the bus?” barulah kami berani menjawab “Yes, what time they arrive?” Ia pun melihat jam dan ia pun kaget, “Wow, it’s too late…” Sontak muka kami pun ikut kaget dan langsung ketakutan tidak bisa kembali ke HCMC. Menurut info, bus hanya datang jam 2 pagi dan 2 siang keesokan harinya, padahal flight kami ke Jakarta jam 8 malam keesokan harinya. Dengan waktu tempuh 5-6 jam, kalau baru berangkat jam 2 siang dari Mui Ne tentu kami akan ketinggalan pesawat. AKhirnya kami memutuskan kembali ke kafe dan saat kami masih berdiri di pinggir jalan, kantor tur di depan kafe mendadak menyala lampunya dan terlihat ada sosok pria muncul dari dalam tur. Kami sontak bergegas lari ke pintu tur dan menggedor-gedor sampai ia membuka pintu.
Di saat yang sama, orang dari hotel menelpon dan mengatakan bus akan datang tapi ia tidak bisa memastikan jam berapa. Ia hanya meminta kami menunggu di kafe tersebut. Saya tidak terima disuruh menunggu untuk waktu yang tidak jelas, saya pun menyuruh dia berbicara dengan orang di kantor tur. Ternyata si orang tur tidak mau berbicara dengan orang hotel di telpon, ia malah sibuk menelpon juga. Katanya ia menelpon supir bus malam. Suasana makin chaos karena si orang tur mengusir Idha dan Ucy dari kantornya, “Get out from my office, I don’t want you here!” Begitu katanya. Tentu saja dua teman saya marah, saya pun dengan orang di telepon. Di tengah-tengah kekisruhan ini, datanglah bus malam yang ditunggu. Langsung saya matikan telepon dan masuk ke dalam bus. Saat itu jam sudah menunjukkan jam 02.20, busnya telat 50 menit!! Kami pun masuk dan ternyata, bus malamnya penuh dan tidak ada bangku tersedia. Oh well, melihat semua penumpang sudah terlelap saya Cuma berharap bus ini membawa kami kembali ke HCMC. That’s it! Untungnya, supir bus membangunkan orang-orang yang kami rasa adalah kru bus dan kami bisa menempati bangku kami. Akhirnya, rasa deg-degan itu kami bayar dengan lelap selama perjalanan pulang ke HCMC.
Well, ada notes sendiri buat saya setelah perjalanan Mui Ne ini:
* Untuk menghindari hal-hal yang di luar dugaan memang sebaiknya menghindari bepergian di atas jam 12 malam, seaman apapun kota tersebut. Worst come to worst you have to prepare stay over a night for my case.
* Know your trip partner! Beberapa orang bisa cuek dalam situasi tidak terduga, berakhir tidur di pantai atau begadang semalaman tidak masalah. Pastikan mengenal karakter partner apalagi jika menghadapi worst case situation.
* I don't underestimate woman traveler,because i'm a woman too but yet i admit traveling with women is not that easy. So ladies, don't make hard on yourself. Be flexible and easy when you're traveling with limitation.
The edited version with less drama also published on AREA Magazine or click http://bit.ly/txB3D1
Awalnya kami bertiga sempat berpikir akan menghabiskan 5 hari di Vietnam hanya di Saigon karena perjalanan pindah kota tidak memungkinkan dilakukan dalam sehari-dua hari saja. Tentunya berkunjung ke Halong Bay di Hanoi atau pantai cantik di Da Nang juga menarik sayang waktunya terbatas. Akhirnya kami mencoba realistis (dan nekat) untuk mengunjungi Mui Ne tanpa harus bermalam di sana. Menuju ke Mui Ne ada 2 opsi moda transportasi, bisa bus atau kereta. Keduanya merupakan transportasi tidur yang artinya sepanjang perjalanan bisa dihabiskan untuk tidur dan kursi yang disediakan adalah kursi tidur yang nyaman. Kami memilih naik bus dengan tiket $5 sekali jalan. Hanya ada dua pilihan waktu untuk berangkat dan pulang. Dari Saigon kami memilih berangkat jam 8 pagi dan sampai sana jam 2 siang. Untuk menghemat waktu dan penginapan, kami memilih pulang kembali ke Saigon jam 2 pagi di hari berikutnya. Tentu dirasa cukup menghabiskan waktu nyaris dua belas jam menyusuri berbagai atraksi di Mui Ne.
Sleeper Bus
Mui Ne dikenal sebagai salah satu desa nelayan penghasil ikan dan udang sebagai komoditi utamanya. Hasil olahannya berupa minyak dan kecap ikan termasuk popular dikonsumsi oleh masyarakat Vietnam. Jadi, jangan heran ketika nanti ke Mui Ne di sepanjang jalannya bau amis ikan begitu terasa karena mereka mengeringkan udang rebon di jalan raya yang dilewati orang dan kendaraan. Fishing village juga dijadikan salah satu tourist attraction di Mui Ne bersama dua tujuan utama saya saat itu, Red Sand Dunes dan White Sand Dunes. Kedua bukit pasir tersebut sepeerti member kekontrasan nuansa pantai dan laut di Mui Ne. Saya yang selama ini belum pernah ke padang pasir tentu sangat excited dengan perjalanan ini. Perjalanan mengelilingi Mui Ne kami tempuh dengan jip sewaan beserta supirnya yang merangkap sebagai guide. Namanya Khan, dia cukup fasih berbahasa Inggris.
The Jeep
Pertama kami melewati Fishing Village yang dipenuhi para nelayan yang sedang mengumpulkan hasil tangkapannya. Kami tidak bisa turun melihat kapal-kapal dan ikan nelayan lebih dekat lagi tetapi hanya mengambil foto-fotonya. Selanjutnya kami menuju Fairy Stream, yaitu sungai yang dikelilingi tebing layaknya Grand Canyon. Kita bisa menyusuri sungai yang panjangnya 500-an M ini. Fairy Stream ini bukan salah satu itinerary kami dan kami tidak siap menyusuri sungai dengan dress ala pantai dan sandal jepit. Akhirnya atraksi yang satu ini kami lewatkan dan langsung menuju White Sand Dunes. Dalam waktu 20 menit akhirnya sampai juga di bukit pasir putih itu dan baru dari jauh saya sudah terpana melihatnya. Bukit pasir ini benar-benar berada di tengah dan puncak bukitnya terasa begitu dekat dengan matahari. Kita bisa jalan kaki mengitari bukit pasirnya tetapi untuk mencapai puncak harus naik oto-moto. Oto-moto ini bentuknya seperti motor mainan yang digerakkan dengan baterai. Satu oto-moto besar bisa berisi 4 orang termasuk pengemudinya. Tanpa safetybelt dan pegangan motor yang layak, guncangan di oto-moto makin terasa menegangkan apalagi pengemudinya kami yakin masih di bawah 17 tahun!
Menaiki undakan bukit pasir itu benar-benar menukik tajam dan curam. Tak sadar kami bertiga berteriak layaknya naik jetcoster dan berpegangan kencang satu sama lain. Belum selesai rasa deg-degannya, melihat pemandangan White Sand Dunes ini seperti membawa kami ke lokasi syuting film The Prince of Persian atau Sex and The City 2 dengan pemandangannya yang breathtaking. Hanya kami berempat yang berada di puncak bukit pasir dan terasa begitu dekat dengan matahari.
Setelah puas berjemur, kami kembali ke jip dan menuju Red Sand Dunes, bukit pasir yang tampak cantik saat sunset. Warna pasir yang cokelat kemerahan seperti menyatu dengan langit yang mulai memerah saat matahari terbenam. Berbeda dengan White Sand Dunes yang lebih menampakkan cerahnya, suasana di Red Sand Dunes membawa kami lebih dalam pada suasana tenang dan sedikit romansa.
Saatnya kembali ke pantai sebelum matahari benar-benar terbenam dan kami sempat menyaksikan matahari benar-benar terbenam. Suasana di pantai ini relatif sepi karena kebanyakan turis lebih memilih bersantai di cottage atau resort yang mereka sewa yang lokasinya tepat di pinggir pantai. Makin malam, kami menyusuri pantai menuju restoran seafood sepanjang pantai. Hanya dengan 100.000 D seporsi grilled scallop, kami santap bertiga lengkap dengan sayuran, nasi dan bir dingin.
The Beach and The Bitches
Menjelang jam 9 malam kami mulai mencari tempat untuk nongkrong sambil menikmati malam di Mui Ne. Nah, di sinilah drama dimulai. Suasana di Mui Ne tidak seramai yang kami bayangkan, jalanan termasuk sepi dan turis tidak banyak berkeliaran. Padahal hari itu merupakan akhir pekan, akhirnya kami memilih duduk di kafe dekat dengan tempat kami akan naik sleeper bus nanti. Dengan lampu yang sedikit-sedikit mulai dimatikan, kami tidak menemukan kafe tersebut ternyata lampu penanda sudah dimatikan dan kafe sudah tutup. Bingung memilih tempat lain, akhirnya pilihan jatuh ke kafe di sebelahnya. Setelah menikmati cemilan dan bonus wifi gratis sampai tengah malam, kafe itu tutup tepat jam 12 malam. Tentu saja kami bingung, masih ada 1 jam 30 menit lagi untuk menunggu kedatangan bis malam kembali ke Ho Chi Minh City. Kami sudah mulai diusir dan waitressnya menyuruh kami menunggu di kafe sebelah yang ternyata masih sister company. Akhirnya kami menunggu di kafe yang super gelap tanpa lampu dan di sana tidak ada pengunjung lain selain 2 penjaga kafe yang sedang nonton tv, tentunya dalam gelap. Akhirnya dengan modal wifi dan batere smart phone masing-masing, kami bertahan untuk tidak mati gaya dan serangan nyamuk yang bertubi-tubi. Beberapa menit menjelang 01.30, kami mulai awas dengan bus-bus yang melintas di depan kafe. Di tengah kami mencoba mengawasi bus yang lewat,mendadak hujan deras turun plus petir. Jujur, saat itu ada sedikit kecemasan dan membuat suasana makin mencekam di tengah kota Mui Ne yang benar-benar sepi. Mengingat perjalanan menuju HCMC yang lumayan lama, saya merasa harus ke toilet sebelum bis datang. Ditemani Idha akhirnya kami ke toilet yang berada di belakang kafe. Melihat lorong menuju toilet, mendadak nyali kami ciut.
Lorong menuju toilet berada di semi-outdoor, di kiri lorong ada beberapa wastafel lengkap dengan kaca, di kanan ada ruangan yang pintunya terbuka tanpa lampu, pintu kamar mandi hanya terbuat dari rumbai-rumbai seperti rok penari hula-hula yang dipasang di atas posisi pintu. Sebelum kepala saya membayangkan kejadian di film-film horror Asia akhirnya niat ke toilet dibatalkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30, mulai banyak bis-bis yang lewat depan kafe tetapi belum ada yang berhenti di depan tour yang posisinya tepat di depan kafe. Kami mulai khawatir ketika sampai 15 menit menuju jam 2 belum ada juga bus yang menjemput. Akhirnya saya menelpon hotel kami di HCMC yang memesankan tiket bus malam ini. Sambil menunggu konfirmasi, kami menunggu di pinggir jalan di tengah hujan. Kami perlahan-lahan jalan mencari tour yang masih buka, tiba-tiba ada seorang pria lokal mendekati kami dan bertanya-tanya dalam bahasa Vietnam. Kami pelan-pelan menjauh karena khawatir ia berniat jahat, sampai akhirnya dia berbicara bahasa Inggris bertanya “Are you waiting for the bus?” barulah kami berani menjawab “Yes, what time they arrive?” Ia pun melihat jam dan ia pun kaget, “Wow, it’s too late…” Sontak muka kami pun ikut kaget dan langsung ketakutan tidak bisa kembali ke HCMC. Menurut info, bus hanya datang jam 2 pagi dan 2 siang keesokan harinya, padahal flight kami ke Jakarta jam 8 malam keesokan harinya. Dengan waktu tempuh 5-6 jam, kalau baru berangkat jam 2 siang dari Mui Ne tentu kami akan ketinggalan pesawat. AKhirnya kami memutuskan kembali ke kafe dan saat kami masih berdiri di pinggir jalan, kantor tur di depan kafe mendadak menyala lampunya dan terlihat ada sosok pria muncul dari dalam tur. Kami sontak bergegas lari ke pintu tur dan menggedor-gedor sampai ia membuka pintu.
Di saat yang sama, orang dari hotel menelpon dan mengatakan bus akan datang tapi ia tidak bisa memastikan jam berapa. Ia hanya meminta kami menunggu di kafe tersebut. Saya tidak terima disuruh menunggu untuk waktu yang tidak jelas, saya pun menyuruh dia berbicara dengan orang di kantor tur. Ternyata si orang tur tidak mau berbicara dengan orang hotel di telpon, ia malah sibuk menelpon juga. Katanya ia menelpon supir bus malam. Suasana makin chaos karena si orang tur mengusir Idha dan Ucy dari kantornya, “Get out from my office, I don’t want you here!” Begitu katanya. Tentu saja dua teman saya marah, saya pun dengan orang di telepon. Di tengah-tengah kekisruhan ini, datanglah bus malam yang ditunggu. Langsung saya matikan telepon dan masuk ke dalam bus. Saat itu jam sudah menunjukkan jam 02.20, busnya telat 50 menit!! Kami pun masuk dan ternyata, bus malamnya penuh dan tidak ada bangku tersedia. Oh well, melihat semua penumpang sudah terlelap saya Cuma berharap bus ini membawa kami kembali ke HCMC. That’s it! Untungnya, supir bus membangunkan orang-orang yang kami rasa adalah kru bus dan kami bisa menempati bangku kami. Akhirnya, rasa deg-degan itu kami bayar dengan lelap selama perjalanan pulang ke HCMC.
Well, ada notes sendiri buat saya setelah perjalanan Mui Ne ini:
* Untuk menghindari hal-hal yang di luar dugaan memang sebaiknya menghindari bepergian di atas jam 12 malam, seaman apapun kota tersebut. Worst come to worst you have to prepare stay over a night for my case.
* Know your trip partner! Beberapa orang bisa cuek dalam situasi tidak terduga, berakhir tidur di pantai atau begadang semalaman tidak masalah. Pastikan mengenal karakter partner apalagi jika menghadapi worst case situation.
* I don't underestimate woman traveler,because i'm a woman too but yet i admit traveling with women is not that easy. So ladies, don't make hard on yourself. Be flexible and easy when you're traveling with limitation.
The edited version with less drama also published on AREA Magazine or click http://bit.ly/txB3D1
Immortals : Reversi Hidup dan Mati dalam Keabadian
Musim festival film di Indonesia kembali hadir di bulan November ini apalagi untukpecinta film fantasi, horor, thriller dan sci-fi. INAFFF alias Indonesia International Fantasy Film Festival resmi dibuka Jumat lalu tepat di tanggal cantik 11-11-11. Sebagai pembuka yang cantik juga, film Immortals hadir bersamaan denga pemutaran resminya di Amerika.
Immortals adalah film terbaru karya Tarsem Singh yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara The Fall dan The Cell. Mengangkat kisah Theseus seorang dari kelompok rakyat jelata yang menjadi saksi ketidakadilan Raja Hyperion. Hyperion melakukan pembantaian massal sebagai bentuk amarahnya pada para dewa dan pencarian busur Epirus. Keberadaan Epirus hanya bisa ditemukan lewat penglihatan peramal yang masih perawan dan dilindungi oleh kuil setempat. Di tengah kekacauan yang terjadi, Theseus berusaha menjadi pemimpin kelompoknya setelah melihat sendiri ibunya tewas dibunuh di depan matanya oleh kaki tangan Hyperion. Ia juga mendapat penglihatan bahwa dialah yang dipilih Zeus untuk terus berjalan melawan Hyperion dan mempertahankan kelompoknya. Di tengah perjalanannya, Theseus juga bertemu peramal suci, Phaedra yang perlahan-lahan memberikan petunjuk di mana lokasi Epirus itu. Theseus pun berkejaran dengan waktu dan tentara Hyperion yang jumlahnya berkali-kali lipat untuk mencari Epirus dan mempertahankan diri dari kekejaman Hyperion. Belum lagi ancaman akan dilepaskannya Titans yang tentu akan membuat kekacauan baru.
Singh menampilkan kisah patriotik seorang anak dari rakyat jelata yang diberi kekuatan dan dipercaya oleh dewa-dewa bisa menyelamatkan kekacauan. Sebagai dewa yang konon dipercaya punya kekuatan untuk hidup abadi, mereka merasa berkewajiban berada di sisi manusia untuk menjaga kelanjutan hidup mereka yang tidak abadi. Ada rantai kehidupan yang mencoba diuraikan dalam Immortals, ketidakpercayaan Hyperion akan eksistensi para dewa membuatnya melakukan apapun agar para manusia akhirnya menggantungkan hidupnya pada Raja Hyperion seorang. Dengan membunuh rakyatnya terutama yang pria dan menyisakan para perempuan muda baginya, itu membuat eksistensi Raja Hyperion akan terus ada sampai generasi mendatang. Ia menjadikan dirinya abadi secara gen dan keturunan, berbalik dengan masyarakatnya yang ia sisa dan dibiarka mengabdi tanpa tahu kapan Hyperion memutus takdirnya untuk mati atau tidak. Dalam pencarian Epirus, keambisiusan Hyperion mempertemukan prajuritnya dengan Theseus yang hadir layaknya titisan dewa Zeus dan juga dibantu penglihatan oleh Phaedra. Theseus sendiri sebenarnya tidak punya kekuatan khusus yang membuatnya begitu kuat, ia hanya mencoba menyusun puzzle satu persatu demi menemukan cara mengumpulkan kelompoknya melawan kebengisan Hyperion agar tidak berlanjut lebih lama lagi. Kekuatan utamanya justru berasal dari amarah yang dipupuk menjadi kebencian sebagai masyarakat kelas tiga yang dibuang akibat dianggap sebagai sampah. Kebenciannya itu ditemukan Zeus sebagai kekuatan yang bisa digunakan para dewa untuk menggiring manusia mempertahankan kelompoknya sendiri.
Lewat visualisasi yang ditampilkan, Immortals benar-benar mencirikan karya Singh dan mencoba mengingatkan kembali film-filmnya terdahulu. Sebagai film yang mengangkat kisah dewa mitologi Yunani, warna dalam film ini terasa begitu kontras antara emas yang menggambarkan kemewahan dan posisi tinggi sebagai dewa dalam kostum Zeus, Athena, dan Poseidon. Begitu berbeda dengan karakter-karakter jelata Theseus dan kawanan prajuritnya yang dekat dengan warna kelam dan lusuh. Para peramal juga berikan tahta warna merah sebagai penanda kedudukan mereka yang disucikan dan berbeda dengan rakyat jelata. Kontrasnya warna ini sebagai penanda kedudukan tergambar saat Theseus dkk yang baru selesai berjalan jauh dan kelelahan istirahat di pinggir kolam berwarna putih bersih lalu muncul para peramal yang mengenakan kostum merah yang menutupi seluruh tubuh dan wajah mereka. Di situlah pertama kali keduanya bertemu dalam satu tempat yang sama tanpa memandang siapa yang lebih tinggi kedudukannya. Para dewa tidak digambarkan muncul dalam satu adegan bersama dengan jelata atau peramal tetapi di saat pertarungan dengan Titans yang menampilkan bagaimana pada akhirnya dewa-dewa tersebut tidak bisa mempertahankan keabadian mereka sebagai yang memberikan harkat hidup pada manusia.
Penggambaran dewa-dewa Yunani di film ini mungkin sedikit berbeda dari mitologi yang dikenal luas oleh masyarakat, mereka akhirnya berjuang sendiri sebagai individu. Bukanlah mereka yang menjaga manusia, the mortals untuk tetap berdiri sebagai the immortals tetapi pada satu titik mereka bergantung pada manusia. Seperti yang dikatakan Theseus, pada akhirnya kematian akhirnya membuat manusia menorehan cerita sejarah dan membuatnya diingat oleh kaumnya untuk selamanya.
Immortals adalah film terbaru karya Tarsem Singh yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara The Fall dan The Cell. Mengangkat kisah Theseus seorang dari kelompok rakyat jelata yang menjadi saksi ketidakadilan Raja Hyperion. Hyperion melakukan pembantaian massal sebagai bentuk amarahnya pada para dewa dan pencarian busur Epirus. Keberadaan Epirus hanya bisa ditemukan lewat penglihatan peramal yang masih perawan dan dilindungi oleh kuil setempat. Di tengah kekacauan yang terjadi, Theseus berusaha menjadi pemimpin kelompoknya setelah melihat sendiri ibunya tewas dibunuh di depan matanya oleh kaki tangan Hyperion. Ia juga mendapat penglihatan bahwa dialah yang dipilih Zeus untuk terus berjalan melawan Hyperion dan mempertahankan kelompoknya. Di tengah perjalanannya, Theseus juga bertemu peramal suci, Phaedra yang perlahan-lahan memberikan petunjuk di mana lokasi Epirus itu. Theseus pun berkejaran dengan waktu dan tentara Hyperion yang jumlahnya berkali-kali lipat untuk mencari Epirus dan mempertahankan diri dari kekejaman Hyperion. Belum lagi ancaman akan dilepaskannya Titans yang tentu akan membuat kekacauan baru.
Singh menampilkan kisah patriotik seorang anak dari rakyat jelata yang diberi kekuatan dan dipercaya oleh dewa-dewa bisa menyelamatkan kekacauan. Sebagai dewa yang konon dipercaya punya kekuatan untuk hidup abadi, mereka merasa berkewajiban berada di sisi manusia untuk menjaga kelanjutan hidup mereka yang tidak abadi. Ada rantai kehidupan yang mencoba diuraikan dalam Immortals, ketidakpercayaan Hyperion akan eksistensi para dewa membuatnya melakukan apapun agar para manusia akhirnya menggantungkan hidupnya pada Raja Hyperion seorang. Dengan membunuh rakyatnya terutama yang pria dan menyisakan para perempuan muda baginya, itu membuat eksistensi Raja Hyperion akan terus ada sampai generasi mendatang. Ia menjadikan dirinya abadi secara gen dan keturunan, berbalik dengan masyarakatnya yang ia sisa dan dibiarka mengabdi tanpa tahu kapan Hyperion memutus takdirnya untuk mati atau tidak. Dalam pencarian Epirus, keambisiusan Hyperion mempertemukan prajuritnya dengan Theseus yang hadir layaknya titisan dewa Zeus dan juga dibantu penglihatan oleh Phaedra. Theseus sendiri sebenarnya tidak punya kekuatan khusus yang membuatnya begitu kuat, ia hanya mencoba menyusun puzzle satu persatu demi menemukan cara mengumpulkan kelompoknya melawan kebengisan Hyperion agar tidak berlanjut lebih lama lagi. Kekuatan utamanya justru berasal dari amarah yang dipupuk menjadi kebencian sebagai masyarakat kelas tiga yang dibuang akibat dianggap sebagai sampah. Kebenciannya itu ditemukan Zeus sebagai kekuatan yang bisa digunakan para dewa untuk menggiring manusia mempertahankan kelompoknya sendiri.
Lewat visualisasi yang ditampilkan, Immortals benar-benar mencirikan karya Singh dan mencoba mengingatkan kembali film-filmnya terdahulu. Sebagai film yang mengangkat kisah dewa mitologi Yunani, warna dalam film ini terasa begitu kontras antara emas yang menggambarkan kemewahan dan posisi tinggi sebagai dewa dalam kostum Zeus, Athena, dan Poseidon. Begitu berbeda dengan karakter-karakter jelata Theseus dan kawanan prajuritnya yang dekat dengan warna kelam dan lusuh. Para peramal juga berikan tahta warna merah sebagai penanda kedudukan mereka yang disucikan dan berbeda dengan rakyat jelata. Kontrasnya warna ini sebagai penanda kedudukan tergambar saat Theseus dkk yang baru selesai berjalan jauh dan kelelahan istirahat di pinggir kolam berwarna putih bersih lalu muncul para peramal yang mengenakan kostum merah yang menutupi seluruh tubuh dan wajah mereka. Di situlah pertama kali keduanya bertemu dalam satu tempat yang sama tanpa memandang siapa yang lebih tinggi kedudukannya. Para dewa tidak digambarkan muncul dalam satu adegan bersama dengan jelata atau peramal tetapi di saat pertarungan dengan Titans yang menampilkan bagaimana pada akhirnya dewa-dewa tersebut tidak bisa mempertahankan keabadian mereka sebagai yang memberikan harkat hidup pada manusia.
Penggambaran dewa-dewa Yunani di film ini mungkin sedikit berbeda dari mitologi yang dikenal luas oleh masyarakat, mereka akhirnya berjuang sendiri sebagai individu. Bukanlah mereka yang menjaga manusia, the mortals untuk tetap berdiri sebagai the immortals tetapi pada satu titik mereka bergantung pada manusia. Seperti yang dikatakan Theseus, pada akhirnya kematian akhirnya membuat manusia menorehan cerita sejarah dan membuatnya diingat oleh kaumnya untuk selamanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)