Sunday, November 27, 2011
The Raid: Serbuan Beruntun Tanpa Menyisakan Ruang Nafas
Film Indonesia tahun ini boleh dibilang menanjak. Buktinya, banyak apresiasi yang mendalam dari masyarakatnya sendiri. Mendapat kepercayaan dari masyarakat sendiri bukanlah hal mudah, mengingat reputasi kualitas film Indonesia begitu naik turun di tanah air. Bagaimana dengan film Indonesia yang sudah berjaya di festival internasional sebelum akhirnya tayang? Bisa dipastikan animo calon penonton begitu besar. Ada euforia tersendiri yang sudah diciptakan oleh penonton di negeri orang. Tentunya, karena merasa sebagai bagian dari film Indonesia, publik Indonesia pun tak mau kalah bergembira dengan menggelar serangkaian upacara penyambutan selamat datang di negeri sendiri.
The Raid mendapat kehormatan disambut dengan segala gemerlap penonton yang sudah siap dengan sorak sorai, bahkan sebelum tayang di jaringan bioskop. Dengan tangan dingin Gareth Evans, sutradara asal Wales yang juga berada di balik film Merantau, The Raid mendapat sambutan hangat di penutupan INAFFF 2011 (Indonesia International Fantastic Film Festival) hari Minggu lalu. Lepas dari segala gegap gempitanya, sebenarnya apa yang ditawarkan dari film laga satu ini?
Semua berawal dari sebuah truk yang membawa pasukan penuh tentara kemarin sore. Misi mereka: serbuan gembong narkoba di sebuah gedung. Serbuan ini merupakan aksi gelap yang dipimpin Jaka dengan anak buahnya yang tergolong baru di medan laga. Gembong yang dihadapi bukan main-main. Para tentara langsung dikepung sesaat mereka masuk ke gedung kumuh tersebut. Adu jotos pun tak terhindarkan. Baku hantam sampai baku tembak terjadi tanpa peringatan dan kompromi. Rama (Iko Uwais) dihadapkan pada masalah yang sudah ia tinggalkan di rumah bersama sang istri yang tengah hamil. Tak disangka, satu masalah bertambah saat ia bergabung dalam penyerbuan. Motif di balik penyerbuan makin terasa janggal ketika sersan tentara itu (Pierre Gruno) terlihat merahasiakan penyerbuan maut ini dari markas besar para tentara.
Dari trailer yang begitu sarat adegan laga yang mematikan, terlihat bagaimana plot cerita seolah dikesampingkan saat film dimulai. Evans memanjakan penonton sejak menit pertama dengan adegan yang memicu adrenalin dan tidak membiarkan penonton berkedip barang sejenak. Arus adrenalin dibangun perlahan-lahan, namun langsung menukik tajam menjelang menit ke sepuluh. Intro menuju inti film dibuat hanya sekilas lewat instruksi Jaka (Joe Taslim) pada anak buahnya. Saat itu, penonton seperti ikut menghitung mundur untuk masuk ke dalam serangkaian pertarungan yang menjanjikan adegan penuh aksi. Perjalanan para tentara menaiki anak tangga satu persatu ke markas musuh ikut menjadi perjalanan ketegangan penonton, sembari menunggu aksi-aksi brutal yang ketegangannya meningkat. Adegan laga sepanjang film ini merupakan orisinalitas Yayan Ruhiyan, sang koreografer bersama Iko Uwais. Inspirasinya adalah pencak silat, yang mengandalkan serangan bertubi-tubi dengan tangan kosong.
Awalnya, adegan silat ini hanya ditampilkan di awal film, saat Rama berlatih dengan samsaknya. Kemudian perlahan-lahan para tokoh utama, yang semula mengandalkan senjata api, hanya bertarung dengan tangan kosong. Adegan baku tembak menghasilkan pertarungan penuh darah lewat tembakan-tembakan yang bertubi-tubi. Saat pertarungan tanpa senjata dimulai, barulah terasa pergumulan dengan jurus-jurus silat menjadi nyawa dalam film laga ini. Tidak lupa cucuran darah yang dengan gamblang ditampilkan lewat adegan pertarungan dengan pistol dan golok tajam. Suasana tegang makin terasa.
Penguasaan ruang para pemain turut membangun ketegangan. Misalnya, di salah satu adegan adu jotos di koridor, kamera benar-benar menyorot dari ujung koridor ke ujung lainnya. Jarak antar koridor tersebut disisakan untuk penonton yang menanti dengan jantung berdegup, menebak-nebak apa yang akan terjadi sepersekian detik berikutnya. Salah satu adegan yang sangat detail adalah adegan di awal film, saat para mafia berjaga tepat di atas lantai para tentara berada. Saat itu lampu gedung dimatikan dan layar begitu gelap. Hanya ada bayangan mafia dari kejauhan. Penonton sendiri dihadapkan pada tentara yang sedang kebingungan. Suasana tegang muncul lewat sudut pandang orang ketiga, seolah penonton melihat kedua pihak tersebut dari posisi yang tersembunyi. Dalam beberapa detik, adegan seolah berhenti. Saat itulah, nafas penonton dibuat tertahan karena tegang menunggu adegan apa yang akan terjadi berikutnya.
Begitulah cara Evans membangun ketegangan: perlahan-lahan memburu nafas penonton, dan tak buru-buru menumpahkannya dalam satu-dua adegan saja. Satu hal yang Evans berusaha tampilkan dalam film laga penuh aksi pencak silat ini adalah logika. Film laga sering menuai protes karena tokoh utamanya yang tidak pernah lelah, atau peluru yang tidak pernah ada habisnya. Sepanjang The Raid, penonton akan menemukan situasi ‘logis’ yang jarang ditemukan dalam sebuah film laga. Mulai dari satu persatu tentara kehabisan peluru, bos mafia yang menembak korbannya dan menemukan pistolnya kosong, dan para tentara yang kelelahan di tengah-tengah bertarung. Logika ini juga yang akhirnya menumbangkan satu persatu tentara dan mafia serta memposisikan keduanya seimbang. Kisah yang masuk akal inilah yang nantinya juga membantu akhir cerita film, dan siapa yang akhirnya menjadi pemenang.
Hal lainnya yang kadang tak tersentuh dalam film laga adalah perkembangan karakter. Elemen tersebut kerap dikesampingkan demi keutuhan adegan laga yang bertubi-tubi. Salah satu contohnya adalah The Hurt Locker. Film peraih Oscar tahun 2010 tersebut mengekspos perjalanan tentara di daerah konflik. Sejak awal film, tanpa panjang lebar lagi aksi tembak menembak dimulai. Tidak ada intro yang mengenalkan kita pada latar belakang karakter yang muncul satu persatu. Hasilnya bagusnya tidak mengecewakan. Tanpa ikatan emosional penonton dengan para tokohnya, rasa simpati tetap terbangun dari pertahanan masing-masing tokohnya dalam berbagai situasi genting. Lebih kurang proses serupa terjadi dalam The Raid. Penonton tidak perlu dikenalkan pada tokohnya satu per satu. Bahkan kalau perlu tidak perlu ada ikatan emosional yang membuahkan empati penonton. Hal ini terjadi pada 80% karakter yang muncul di The Raid, kecuali satu tokoh: Rama.
Hanya Rama yang punya kisah latar belakang di balik rompi anti pelurunya. Tanpa panjang lebar, Rama diceritakan mempunyai keluarga yang ia tinggalkan demi misi penyerbuan ini. Rama juga yang akhirnya berkesempatan berinteraksi dengan warga sipil yang tinggal di gedung markas mafia tersebut, dan akhirnya berhasil membongkar suatu rahasia di balik motif penyerbuan maut ini. Mungkin kalau latar belakang kisah Rama ini dihilangkan, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan ketegangan aksi-aksi laga yang disampaikan. Namun, berkat kisah tersebut, muncul suatu praduga di benak penonton tentang The Raid. Tentunya praduga tersebut tidak mungkin dibeberkan di sini.
Satu hal lagi yang menarik adalah akting Ray Sahetapy sebagai Tama.Wajah bengisnya terasa begitu pas sebagai bos mafia. Saat ia membuka mulut, justru komentar jenaka dan sinis yang keluar. Hal ini memberikan sedikit ruang untuk penonton menghela nafas sejenak, tanpa menghilangkan unsur sadis pada karakter Tama. Dialog pada karakter Tama terasa begitu natural layaknya mafia yang jahat, namun seperti menyembunyikan kartu mati bagi musuh-musuhnya. Sejak awal, tokoh Tama cukup menarik perhatian lewat gerak geriknya. Bagusnya lagi, tokoh tersebut tak terjebak stereotip tentang sosok bos mafia, yang kerap digambarkan berpakaian serba hitam dan rambut tersisir rapi.
Ada sedikit kekhawatiran yang muncul ketika sutradara atau penulis asing berada di balik sebuah film Indonesia. Salah satunya adalah dialog-dialog dalam bahasa Indonesia baku, yang seringnya terasa kaku ketika diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari. Tentunya perlu adaptasi atau improvisasi dari aktor yang memerankannya. Di awal adegan sempat terasa dialog menggunakan kata-kata yang ganjil apabila digunakan dalam dialog sehari-hari. Kekakuan itu untungnya tidak berlangsung lama. Para aktor seperti Donny Alamsyah dan Ray Sahetapy mengikis kekakuan dialog bahasa Indonesia tersebut menjadi sangat santai. Bisa dipastikan dengan penggodokan bersama tim Merantau Film, mulai dari skrip hingga koreografinya, Dalam The Raid, Evans sukses mengawinkan unsur lokal dengan formula film laga berstandar Hollywood. Gerakan pencak silat menjadi kekuatan film dalam menampilkan identitas Indonesia, dan konon membuat penonton di Toronto Film Festival begitu tertarik.
Nampaknya butuh seorang asing untuk mengembalikan kepercayaan penonton Indonesia pada sinema nasionalnya sendiri. Entah euforia yang menjadikannya juara atau memang ada strategi tertentu dalam pemasaran The Raid, sehingga penonton di sini tak sabar menantinya. Kesabaran penonton Indonesia kembali diuji dengan diundurnya penayangan The Raid, dari Januari 2012 ke April 2012. Apakah The Raid bisa memuaskan para penonton Indonesia yang konon haus akan film nasional berkualitas? Butuh waktu untuk menjawab pertanyaan ini, namun melihat segala kualitas yang dipamerkan The Raid, bolehlah kita optimis barang sejenak.
The Raid | 2011 | Sutradara: Gareth Evans | Negara: Indonesia | Pemain: Iko Uwais, Pierre Gruno, Ray Sahetapy, Joe Taslim, Tegar Satria, Verdi Solaiman, Ananda George, Eka Rahmadia, R Iman Aji, Donny Alamsyah, Yayan Ruhian
Also published on cinemapoetica.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment