Tuesday, December 20, 2011

Garuda di Dadaku 2 : Menikmati Permainan Formula Lama dalam Lapangan Hijau



Sembilan tahun lalu merupakan awal perkenalan publik secara luas dengan lima sekawan dengan balutan seragam SMA yang dinamis dan enerjik. Cinta, Maura, Alya, Milly, dan Karmen adalah kelompok ideal bagi remaja yang sedang menikmati masa sekolah menengah dengan segala intriknya yang mengharubiru. Ada kisah romansa antar dua sejoli yang seolah begitu rumit, ada tekanan batin dalam masalah keluarga yang kompleks, belum lagi konflik pertemanan yang sebenarnya saling membutuhkan. Formula dari film Ada Apa dengan Cinta? Yang digarap Rudi Soedjarwo tersebut seperti memberi tempat tersendiri bagi penonton untuk meletakkan memori seputar masa sekolah yang abu-abu, perjalanan memaknai apa sebenarnya ‘cinta’ itu. Memori yang menyenangkan, menyedihkan, dan juga ada ruang kekesalah dibalut dalam jalinan cerita yang menghangatkan hati di ujung kisah.

Begitulah Rudi Soedjarwo membuat formula film yang mengena bagi penontonnya. Kali ini kehangatan tersebut kembali dirasakan dalam film sekuel Garuda Di Dadaku 2 yang seri pertamanya disutradarai Ifa Isfansyah. Masih seputar kisah Bayu (Emir Mahira) yang akhirnya menjadi kapten di tim nasional junior Indonesia. Kali ini ia dihadapkan dengan berbagai masalah yang lebih pelik, mulai dari menurunnya prestasinya sebagai pemain timnas, pergantian pelatih yang melibatkan unsur politik di lapangan hijau, sampai tuntutan untuk mengejar ketinggalan pelajarannya di sekolah. Timnas junior ini harus beradaptasi dengan pelatih baru, Pak Wisnu (Rio Dewanto) yang datang dengan segala inovasi untuk melatih anak-anak tersebut. Pak Wisnu tidak sekadar memperjuangkan nasib Garuda di lapangan hijau tetapi juga menjaga Bayu dkk agar tidak terjebak dalam permainan politik para pengurus timnas sepakbola yang bisa mempengaruhi stamina dan konsentrasi bertanding. Bayu pun berjuang demi timnya di tengah masuknya Yusuf, seorang pemain baru yang langsung melejit permainan dan popularitasnya. Ia juga berjuang mempertahankan persahabatannya dengan Heri (Aldo Tansani) yang selama ini selalu menjadi wingman dan pendukung setia namun mendadak menjadi sahabat Yusuf. Belum lagi, prestasi Bayu mulai dipertanyakan di sekolah dan perlakuan Anya (Monica Sayangbati), teman sekelasnya yang tidak peduli dengan segala kesibukan Bayu mengemban tugas negara. Bayu, pemain timnas junior di bawah usia tigabelas tahun itu harus bertemu dengan segala masalah tersebut dan berusaha melepaskannya di lapangan hijau. Tentunya, Bayu yang dulu tidak akan bisa semudah itu mengatasi semua masalah yang ia hadapi sekarang.


Mengambil tema sepakbola memang nampaknya mudah menarik perhatian penonton, dewasa dan anak-anak. Keduanya punya kesenangan tersendiri dengan isu sepakbola tersebut. Film ini bukan sekadar menampilkan perjuangan seorang anak meraih mimpinya mencetak gol dan menjadikan Garuda juara. Rudi menambahkan isu-isu nasional berkaitan dengan sepakbola dalam beberapa adegan. Mungkin kita masih bisa merasakan sakitnya dikalahkan tim Malaysia saat piala AFF lalu atau SEAGAMES dengan lawan yang sama. Permainan politik yang konon melatari kekalahan timnas kembali disebut dalam GDD2, untuk mengingatkan dan menjadi koreksi bagi siapapun yang terlibat. Dari situ, emosi penonton sudah bisa terbawa ke dalam suasana yang lebih mendalam dan merasa adanya ikatan dengan Bayu dkk.

Tokoh Bayu sendiri mengalami perkembangan karakter yang tadinya hanya seorang anak-anak dengan impian tinggi, kini harus memanggul beban berat lebih dari sekadar urusan membuat gol di lapangan. Bayu dihadapkan dengan situasi pelik layaknya orang dewasa. Pendewasaan Bayu tidak lagi dilihat dari apa yang nampak secara visual, seorang anak berseragam putih-biru dengan rambut ala penyanyi populer masa kini. Bayu berhadapan dengan masalah hidup yang sesungguhnya dan Pak Wisnu ada untuk menggiringnya menyelesaikan sendiri semua. Ketika Yusuf masuk ke dalam timnas, sebagai kapten Bayulah yang seharusnya mengetahui semua timnya secara mendalam dan menjadikannya pengatur strategi agar timnya juara. Bayu tidak lagi berpikiran layaknya anak-anak, ia memahami politik yang terjadi di lapangan hijau. Politik siapa yang lebih unggul dari siapa dan politik siapa yang harus dihilangkan dari aksinya di lapangan. Pikiran-pikiran tersebut membuat Bayu kemudian juga harus memutar otak agar semua masalah di luar hal turnamen sepakbola perlahan-lahan menghilang. Anya, teman sekelasnya menanggap Bayu tidak bisa menentukan prioritasnya sebagai pelajar dan atlet. Sentakan dari Anya membuat Bayu tertampar ketika Bayu dalam posisi putus asa dan berencana meninggalkan teman-tema satu timnya berlaga tanpa dirinya. Lewat Anya jugalah, Bayu mencoba memahami sebenarnya apa yang sebaiknya dilakukan seorang laki-laki sejati, minimal di mata gadis pujaannya tersebut. Lagi, masalah di rumah menghadapkan Bayu dengan sosok laki-laki lain dalam kehidupan keluarganya. Sang ibu mulai mengenalkan sosok baru yang mungkin nantinya akan bernama ‘ayah’. Di tengah segala kekisruhan hidup Bayu, ia lupa masih ada nasib Garuda beserta keduapuluh orang temannya yang punya kepercayaan penuh padanya.

Masalah demi masalah dihadirkan lebih kurang selama 90 menit dan sedikit mengingatkan pada formula Rudi pada AADC? dalam bentuk yang berbeda. Menariknya, di GDD2 menampilkan bagaimana satu persatu masalah memiliki celah yang siap dimasuki oleh sang aktor utama. Celah itu bisa menghadirkan suatu sudut pandang baru dalam masalah tersebut. Misalnya saja, ketika Bayu berusaha menjegal posisi Yusuf yang dielu-elukan penggemar dan teman-temannya. Bayu ditinggalkan pada situasi, ia mendengarkan saran Heri yang mengetahui kekuatan Yusuf di lapangan atau justru membiarkan hal itu menjadi kelemahan Yusuf dan membuat dirinya kembali bersinar. Celah yang muncul adalah apakah Bayu mau dianggap pahlawan atau menjadikan dirinya pahlawan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut nyaris muncul di semua situasi permasalahan Bayu. Pak Wisnu juga menunjukkan perannya yang ikut mendewasakan Bayu dkk. Ketika pertandingan final, Pak Wisnu menyerahkan segala permasalahan saat pertandingan kepada anak-anaknya. Suasana secara visual juga dibangun saat Pak Wisnu berada di ruang ganti sedangkan anak-anak sedang bertanding. Pak Wisnu benar-benar memisahkan diri secara fisik namun ada suara latar yang menandakan apakah pertandingan saat itu dimenangkan oleh Garuda atau tidak. Saat itu jugalah Rio Dewanto mengeksplorasi emosinya sebagai Pak Wisnu yang ditonjolkan sisi galak dan hangatnya secara bergantian. Justru saat adegan itu Rio menampilkan sisi Pak Wisnu tanpa embel-embel pelatih yang adaa di depan anak didiknya. Emosi kesal, marah, ketakutan, senang, dan bingung ditampilkan secara total.

Antusiasme yang dibangun dalam film ini nampaknya perlu mendapat perhatian lebih. Membayangkan tim sepakbola berlaga membawa nama bangsa, tentu membayangkan gemuruh yang diciptakan suporter Garuda yang memerah dan penuh gegap gempita. Sayangnya suasana yang sering nampak di berbagai pertandingan bola nasional tidak terlalu kuat terlihat sekilaspun. Kekosongan penonton yang semangatnya sudah terasa, menjadi sedikit buyar saat melihat bangku-bangku di Gelora Bung Karno tampak melompong. Dengan sedikit trik, seharusnya Rudi dkk bisa mengakali hal tersebut. Secara rasa, film ini memberikan rasa hangat ketika semua permasalahan satu persatu diselesaikan dengan perlahan tapi pasti. Masing-masing tokoh mampu memberikan nyawa pada tiap karakter yang dimainkan dan memberikan rasa nyaman saat mengikuti perjalanannya. Sang sutradara dan penulis nampaknya berhasil menciptakan gol bukan hanya pada mata, tetapi juga pada hati penonton tepat pada sasaran. Ketegangan-ketegangan yang dibangun ikut memanaskan bagian dari tiap adegan menjadi kumpulan yang menyatu dari keseluruhan cerita. Dari semua karya Aghi Narottama, Bembi Gusti, dan Ramondo Gascaro dalam film, GDD2 inilah yang paling berhasil menyulap potongan adegan secara dramatis tanpa perlu didramatisir secara berlebihan. Menariknya, selama tiga perempat film berjalan menuju akhir cerita, ada kenyamanan sendiri yang muncul justru sebelum film berakhir. Klimaksnya justru terasa bukan di akhir film dan membuat adegan akhir dalam film ini tidak terlalu dinantikan. Entah ini menjadi sesuatu yang baik atau tidak, pastinya klimaks tersebut memberikan rasa nikmat dalam pengalaman menonton film ini. Tidak lupa, memberikan ruang tersendiri bagi penonton untuk meletakkannya dalam pikiran masing-masing sebagai film yang dekat dengan keluarga atau film yang berusaha berbicara atas nama sepakbola.

No comments: