Sunday, November 13, 2011

Mui Ne: There's No Such A Trip With No Drama

Ternyata butuh waktu lama meneruskan catatan perjalanan Vietnam Oktober lalu. Baiklah, mari kita lanjutkan ceritanya, sekarang saya mau sedikit berbagi perjalanan ke Mui Ne yang jaraknya sekitar 5 jam lewat perjalanan darat.
Awalnya kami bertiga sempat berpikir akan menghabiskan 5 hari di Vietnam hanya di Saigon karena perjalanan pindah kota tidak memungkinkan dilakukan dalam sehari-dua hari saja. Tentunya berkunjung ke Halong Bay di Hanoi atau pantai cantik di Da Nang juga menarik sayang waktunya terbatas. Akhirnya kami mencoba realistis (dan nekat) untuk mengunjungi Mui Ne tanpa harus bermalam di sana. Menuju ke Mui Ne ada 2 opsi moda transportasi, bisa bus atau kereta. Keduanya merupakan transportasi tidur yang artinya sepanjang perjalanan bisa dihabiskan untuk tidur dan kursi yang disediakan adalah kursi tidur yang nyaman. Kami memilih naik bus dengan tiket $5 sekali jalan. Hanya ada dua pilihan waktu untuk berangkat dan pulang. Dari Saigon kami memilih berangkat jam 8 pagi dan sampai sana jam 2 siang. Untuk menghemat waktu dan penginapan, kami memilih pulang kembali ke Saigon jam 2 pagi di hari berikutnya. Tentu dirasa cukup menghabiskan waktu nyaris dua belas jam menyusuri berbagai atraksi di Mui Ne.

Sleeper Bus
Mui Ne dikenal sebagai salah satu desa nelayan penghasil ikan dan udang sebagai komoditi utamanya. Hasil olahannya berupa minyak dan kecap ikan termasuk popular dikonsumsi oleh masyarakat Vietnam. Jadi, jangan heran ketika nanti ke Mui Ne di sepanjang jalannya bau amis ikan begitu terasa karena mereka mengeringkan udang rebon di jalan raya yang dilewati orang dan kendaraan. Fishing village juga dijadikan salah satu tourist attraction di Mui Ne bersama dua tujuan utama saya saat itu, Red Sand Dunes dan White Sand Dunes. Kedua bukit pasir tersebut sepeerti member kekontrasan nuansa pantai dan laut di Mui Ne. Saya yang selama ini belum pernah ke padang pasir tentu sangat excited dengan perjalanan ini. Perjalanan mengelilingi Mui Ne kami tempuh dengan jip sewaan beserta supirnya yang merangkap sebagai guide. Namanya Khan, dia cukup fasih berbahasa Inggris.

The Jeep

Pertama kami melewati Fishing Village yang dipenuhi para nelayan yang sedang mengumpulkan hasil tangkapannya. Kami tidak bisa turun melihat kapal-kapal dan ikan nelayan lebih dekat lagi tetapi hanya mengambil foto-fotonya. Selanjutnya kami menuju Fairy Stream, yaitu sungai yang dikelilingi tebing layaknya Grand Canyon. Kita bisa menyusuri sungai yang panjangnya 500-an M ini. Fairy Stream ini bukan salah satu itinerary kami dan kami tidak siap menyusuri sungai dengan dress ala pantai dan sandal jepit. Akhirnya atraksi yang satu ini kami lewatkan dan langsung menuju White Sand Dunes. Dalam waktu 20 menit akhirnya sampai juga di bukit pasir putih itu dan baru dari jauh saya sudah terpana melihatnya. Bukit pasir ini benar-benar berada di tengah dan puncak bukitnya terasa begitu dekat dengan matahari. Kita bisa jalan kaki mengitari bukit pasirnya tetapi untuk mencapai puncak harus naik oto-moto. Oto-moto ini bentuknya seperti motor mainan yang digerakkan dengan baterai. Satu oto-moto besar bisa berisi 4 orang termasuk pengemudinya. Tanpa safetybelt dan pegangan motor yang layak, guncangan di oto-moto makin terasa menegangkan apalagi pengemudinya kami yakin masih di bawah 17 tahun!

Menaiki undakan bukit pasir itu benar-benar menukik tajam dan curam. Tak sadar kami bertiga berteriak layaknya naik jetcoster dan berpegangan kencang satu sama lain. Belum selesai rasa deg-degannya, melihat pemandangan White Sand Dunes ini seperti membawa kami ke lokasi syuting film The Prince of Persian atau Sex and The City 2 dengan pemandangannya yang breathtaking. Hanya kami berempat yang berada di puncak bukit pasir dan terasa begitu dekat dengan matahari.

Setelah puas berjemur, kami kembali ke jip dan menuju Red Sand Dunes, bukit pasir yang tampak cantik saat sunset. Warna pasir yang cokelat kemerahan seperti menyatu dengan langit yang mulai memerah saat matahari terbenam. Berbeda dengan White Sand Dunes yang lebih menampakkan cerahnya, suasana di Red Sand Dunes membawa kami lebih dalam pada suasana tenang dan sedikit romansa.

Saatnya kembali ke pantai sebelum matahari benar-benar terbenam dan kami sempat menyaksikan matahari benar-benar terbenam. Suasana di pantai ini relatif sepi karena kebanyakan turis lebih memilih bersantai di cottage atau resort yang mereka sewa yang lokasinya tepat di pinggir pantai. Makin malam, kami menyusuri pantai menuju restoran seafood sepanjang pantai. Hanya dengan 100.000 D seporsi grilled scallop, kami santap bertiga lengkap dengan sayuran, nasi dan bir dingin.

The Beach and The Bitches

Menjelang jam 9 malam kami mulai mencari tempat untuk nongkrong sambil menikmati malam di Mui Ne. Nah, di sinilah drama dimulai. Suasana di Mui Ne tidak seramai yang kami bayangkan, jalanan termasuk sepi dan turis tidak banyak berkeliaran. Padahal hari itu merupakan akhir pekan, akhirnya kami memilih duduk di kafe dekat dengan tempat kami akan naik sleeper bus nanti. Dengan lampu yang sedikit-sedikit mulai dimatikan, kami tidak menemukan kafe tersebut ternyata lampu penanda sudah dimatikan dan kafe sudah tutup. Bingung memilih tempat lain, akhirnya pilihan jatuh ke kafe di sebelahnya. Setelah menikmati cemilan dan bonus wifi gratis sampai tengah malam, kafe itu tutup tepat jam 12 malam. Tentu saja kami bingung, masih ada 1 jam 30 menit lagi untuk menunggu kedatangan bis malam kembali ke Ho Chi Minh City. Kami sudah mulai diusir dan waitressnya menyuruh kami menunggu di kafe sebelah yang ternyata masih sister company. Akhirnya kami menunggu di kafe yang super gelap tanpa lampu dan di sana tidak ada pengunjung lain selain 2 penjaga kafe yang sedang nonton tv, tentunya dalam gelap. Akhirnya dengan modal wifi dan batere smart phone masing-masing, kami bertahan untuk tidak mati gaya dan serangan nyamuk yang bertubi-tubi. Beberapa menit menjelang 01.30, kami mulai awas dengan bus-bus yang melintas di depan kafe. Di tengah kami mencoba mengawasi bus yang lewat,mendadak hujan deras turun plus petir. Jujur, saat itu ada sedikit kecemasan dan membuat suasana makin mencekam di tengah kota Mui Ne yang benar-benar sepi. Mengingat perjalanan menuju HCMC yang lumayan lama, saya merasa harus ke toilet sebelum bis datang. Ditemani Idha akhirnya kami ke toilet yang berada di belakang kafe. Melihat lorong menuju toilet, mendadak nyali kami ciut.

Lorong menuju toilet berada di semi-outdoor, di kiri lorong ada beberapa wastafel lengkap dengan kaca, di kanan ada ruangan yang pintunya terbuka tanpa lampu, pintu kamar mandi hanya terbuat dari rumbai-rumbai seperti rok penari hula-hula yang dipasang di atas posisi pintu. Sebelum kepala saya membayangkan kejadian di film-film horror Asia akhirnya niat ke toilet dibatalkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30, mulai banyak bis-bis yang lewat depan kafe tetapi belum ada yang berhenti di depan tour yang posisinya tepat di depan kafe. Kami mulai khawatir ketika sampai 15 menit menuju jam 2 belum ada juga bus yang menjemput. Akhirnya saya menelpon hotel kami di HCMC yang memesankan tiket bus malam ini. Sambil menunggu konfirmasi, kami menunggu di pinggir jalan di tengah hujan. Kami perlahan-lahan jalan mencari tour yang masih buka, tiba-tiba ada seorang pria lokal mendekati kami dan bertanya-tanya dalam bahasa Vietnam. Kami pelan-pelan menjauh karena khawatir ia berniat jahat, sampai akhirnya dia berbicara bahasa Inggris bertanya “Are you waiting for the bus?” barulah kami berani menjawab “Yes, what time they arrive?” Ia pun melihat jam dan ia pun kaget, “Wow, it’s too late…” Sontak muka kami pun ikut kaget dan langsung ketakutan tidak bisa kembali ke HCMC. Menurut info, bus hanya datang jam 2 pagi dan 2 siang keesokan harinya, padahal flight kami ke Jakarta jam 8 malam keesokan harinya. Dengan waktu tempuh 5-6 jam, kalau baru berangkat jam 2 siang dari Mui Ne tentu kami akan ketinggalan pesawat. AKhirnya kami memutuskan kembali ke kafe dan saat kami masih berdiri di pinggir jalan, kantor tur di depan kafe mendadak menyala lampunya dan terlihat ada sosok pria muncul dari dalam tur. Kami sontak bergegas lari ke pintu tur dan menggedor-gedor sampai ia membuka pintu.

Di saat yang sama, orang dari hotel menelpon dan mengatakan bus akan datang tapi ia tidak bisa memastikan jam berapa. Ia hanya meminta kami menunggu di kafe tersebut. Saya tidak terima disuruh menunggu untuk waktu yang tidak jelas, saya pun menyuruh dia berbicara dengan orang di kantor tur. Ternyata si orang tur tidak mau berbicara dengan orang hotel di telpon, ia malah sibuk menelpon juga. Katanya ia menelpon supir bus malam. Suasana makin chaos karena si orang tur mengusir Idha dan Ucy dari kantornya, “Get out from my office, I don’t want you here!” Begitu katanya. Tentu saja dua teman saya marah, saya pun dengan orang di telepon. Di tengah-tengah kekisruhan ini, datanglah bus malam yang ditunggu. Langsung saya matikan telepon dan masuk ke dalam bus. Saat itu jam sudah menunjukkan jam 02.20, busnya telat 50 menit!! Kami pun masuk dan ternyata, bus malamnya penuh dan tidak ada bangku tersedia. Oh well, melihat semua penumpang sudah terlelap saya Cuma berharap bus ini membawa kami kembali ke HCMC. That’s it! Untungnya, supir bus membangunkan orang-orang yang kami rasa adalah kru bus dan kami bisa menempati bangku kami. Akhirnya, rasa deg-degan itu kami bayar dengan lelap selama perjalanan pulang ke HCMC.

Well, ada notes sendiri buat saya setelah perjalanan Mui Ne ini:
* Untuk menghindari hal-hal yang di luar dugaan memang sebaiknya menghindari bepergian di atas jam 12 malam, seaman apapun kota tersebut. Worst come to worst you have to prepare stay over a night for my case.
* Know your trip partner! Beberapa orang bisa cuek dalam situasi tidak terduga, berakhir tidur di pantai atau begadang semalaman tidak masalah. Pastikan mengenal karakter partner apalagi jika menghadapi worst case situation.
* I don't underestimate woman traveler,because i'm a woman too but yet i admit traveling with women is not that easy. So ladies, don't make hard on yourself. Be flexible and easy when you're traveling with limitation.

The edited version with less drama also published on AREA Magazine or click http://bit.ly/txB3D1

1 comment:

Unknown said...

Hi Gayatri,

Very nice posts, I can feel the atmosphere by reading your story. Looks like u are a tough traveler ;)
My name name is Dyn, btw. I'm planning to go to Cambodia & Vietnam for only 4 days in early February. Would you mind to give me your suggestions which places are best to visit in short time?
I really appreciate any help you can provide.

Thank you,
Dyn