Saturday, June 27, 2009
Ketika Cinta Romeo & Juliet Bertasbih Di Dadaku
Akhirnya, saya menonton juga film Garuda di Dadaku, Sabtu 27 Juni 09 ini. Untuk ketiga kalinya antri dan gagal mendapatkan tiket, malam ini terpuaskan sudah hasrat untuk menonton film yang (katanya) sangat direkomendasikan ini.
Sebelumnya, saya sudah menonton Ketika Cinta Bertasbih (KCB) yang sempat heboh dengan tagline 'ASLI MESIR' itu. Sebenarnya saya tidak begitu ingin menonton film ini, apalagi dua teman saya, Ucan & Dian cerita panjang lebar sepanjang Jakarta-Anyer betapa 'sinetron'-nya film ini. Saya pribadi mencoba selalu menonton semua film Indonesia (yang cukup bermutu pastinya) dan juga karena ada teman saya yang main di KCB.
Secara keseluruhan saya memberikan nilai 4 dari 10 buat KCB
Kekuatan film ini memang ada di pemainnya. Aktingnya oke dan terkesan natural, malah cenderung lucu terutama pemain yang menjadi teman-temannya Azzam.
Sayangnya, alur cerita membuat saya bingung apalagi saya memang bukan pembaca bukunya.
Ada bagian yang seolah-olah terasa melompat. Pertanyaan saya, sebenarnya Sarah yang meneror Furqon itu siapa dan mengapa Furqon diteror (at the first place)?
Sinematografi yang paling disayangkan dari film Asli Mesir ini, blue screen yang terlihat sangat film tahun 70-an (since it looks so vintage in technology). Ketika Adegan ketika Azzam sedang masak di pinggir laut. Entah apakah akan terjawab di KCB 2, we'll see. Satu lagi, begitu banyak hard-sell yang ditampilkan dalam film ini menjadi kesinetronan film ini makin menjadi.
To KCB producers and (especially) writer please remember this is movie not soap opera,but i do remember this is business as well!
Saya jadi ingat kata-kata Kang Abik,sang penulis, ketika film Ayat-Ayat Cinta (AAC) meledak tahun lalu. Ia ingin film berikutnya (KCB) lebih mendekati dengan bukunya, termasuk pemainnya. Oke, pemain KCB sudah cukup baik tetapi unsur lainnya jadi sangat berbanding terbalik, Sorry..
I prefer AAC than KCB.
Film berikutnya ternyata juga masih menjual beberapa produk sponsor di dalamnya, untung saja mereka tidak 'sekuat' itu menjualnya.
Mengomentari Garuda Di Dadaku (GDD), Sepertinya semua orang bisa menilai isi cerita dan pesan moral yang sangat universal dalam film ini. Simple,touchy and it belongs to everybody!
Film Indonesia yang berusaha memperhatikan realitas anak-anak di negara ini sejauh ini baru film ini dan Laskar Pelangi. Lagi-lagi kita disuguhkan kenyataan ketika seseorang yang punya mimpi tinggi harus terhalang oleh orang lain atau uang.
Saya cukup tersentuh melihat persahabatan Bayu dan Heri yang sangat tulus apalagi latar belakang Heri yang anak orang kaya sedangkan Bayu sebaliknya.
Sayangnya, karakter Heri kurang diperdalam dengan konflik dirinya sendiri atau dengan Bayu. Satu lagi, saya sedikit bertanya-tanya, apakaha benar anak seusia itu bisa berbicara banyak tentang mimpi dan hidup sampai setinggi itu? Kalau iya, saya acungi empat jempol!
Klimaks bagi saya, jelas di adegan ketika pengumuman Bayu lolos seleksi timnas.
Tanpa ada dialog panjang lebar, akhir film tersebut benar-benar seperti apa yang saya bayangkan.
Baju merah dengan garuda di dada kiri sudah dipakai Bayu dan ia siap berlaga di bawah sorotan lampu stadion. I can imagine how does it feel to be there!
GDD mendapat 8.5 dari 10
Lalu, kenapa ada Romeo&Juliet (R&J) di tengah-tengah itu semua?
Beberapa waktu lalu, saya dan dua teman nekat nonton R&J di bioskop terpencil dekat rumah. Sudah tidak ada lagi yang memutar R&J kala itu.
Setelah menonton, teman saya yang memang bukan penggemar bola Indonesia tapi fans Bayer Munchen, berkomentar film ini terlalu 'berani' mengangkat isu sensitif ke dalam film.
Saya,yang sama sekali tidak paham bola, berpendapat mungkin memang tujuannya memberikan gambaran kehidupan yang paling nyata dari penggemar bola.
Bedanya dengan GDD, yah memang beda.
Kalau GDD mengusung bola sebagai 'mimpi' yang ingin dicapai dengan cara apapun, R&J justru menjadikannya sebagai 'sekte' yang membuat penggemarnya mau melakukan apapun demi bola.
Bayu bisa berkata 'tidak' bahkan pada Heri dan impian menjadi pemain nasional dengan bakat terpendamnya itu demi cintanya pada sang Kakek, tetapi ternyata cinta Rangga pada Desi masih terkalahkan dengan cintanya pada Persija.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
gue setuju banget dengan rekomendasi lo tentang GDD. dan gue mau tambah satu poin. GDD tentang sebuah nasionalisme yang konkret dan tidak klise. bagi Bayu, nasionalisme adalah bagaimana dia memakai kaus merah dengan lambang Garuda di dada dan bertanding membela tim nasional.
film ini bisa jadi contoh betapa nasionalisme adalah sebuah hal yang konkret dan tidak mengawang-awang.
salute!
sebenarnya daripada GDD gw lebih suka King. gtw mungkin bwat gw badminton Indo tu perlu bibit2 baru jadinya bwat gw tu film berguna aja. hehhe..
Soal KCB, pas liat trailernya, gw jadi mikir knapa dulu gw mau ntn AAC. its more to the crazy publishing-kind-of-thing that's attracts me most. tapi dari segi cerita si biasa aja, cuma settingan, angle, sama warna2nya yang mnurut gw cocok aja buat ambience filmnya. tapi bgtu lari ke KCB, smua orang yang dulu bilang AAC itu very2 romanic, touchy, revolusioner *lebai ga sih?* bgtu slesai nonton KCB bilang klo KCB just another big budget soap opera in big screen.in other words,not recommended, kcuali lo enek liat naysilla mirdad nangis di tiap episode sinetronnya, ato manohara yang mukanya mw nangis mw dtampar datar2 aja gtu.
Intinya gw setuju ma lo nad klo soal KCB soalnya pendapat tmen2 gw juga sama kaya lo.
Post a Comment