Zaman SMP saya suka berorganisasi, mulai dari OSIS di SMP Al-Azhar Pejaten, eskul seni dan kepanitiaan acara di sekolah saya tersebut saya ikuti. Hasilnya menyenangkan dan membanggakan, acara-acara seperti Alpen Cup dan LDKS bisa tercapai atas usaha keras segelintir anak SMP yang ambisius saat itu.
Zaman SMA saya lebih mencintai menari tradisional sebagai hal baru yang saya coba saat itu dan menerbangkan tim kami berisi tiga puluh orang itu ke Festival de la Collina di Itali.
Zaman kuliah makin terbuka lebar kesempatan dan pilihan pun beragam. Mulai dari menjadi marketing di majalah kampus, salah satu penari tradisional, atau organisasi yang lebih serius dan cenderung politis sempat menarik perhatian saya. Namun hanya satu yang kala itu benar-benar mencuri hati saya. Radio kampus RTC UI FM adalah jurusan saya saat itu. Merangkap jadi marketing and communication, public relation dan produser makin membangkitkan gairah saya di dunia radio. Kesempatan mengenal radio swasta makin terbuka, kami sempat berkunjung ke beberapa radio swasta Mustang FM dan Trax FM Jakarta. Saya melihat bagaiman kalau saya bisa bekerja di dunia radio yang menyenangkan dan menghidupi. Melihat bagaimana sisi jurnalistik saya pun bisa terasah dan nantinya sekaligus mempromosikan radio itu sendiri. Saat menginjakkan ke dua radio besar dan menambah ilmu broadcasting seperti mendorong keinginan saya yang dulu sempat terkubur saat mau memilih jurusan kuliah broadcast journalism dan beralih ke sastra Indonesia.
Yah, mimpi memang menyenangkan untuk dilakukan. Berandai-andailah saya saat itu.
Sepanjang empat tahun di kampus, tiga tahun di radio kampus, saya masih tergoda mencicipi kegiatan lain di luar kampus. Di mulai saat menjadi volunteer JIFFEST 2007, saya tersentak dan ingat obrolan menjelang ujian lulus SMA. Saya ingat waktu saya memilih jurusan dan kampus untuk kuliah. Selain jurusan komunikasi UI, pilihan saya waktu itu adalah IKJ jurusan film. Banyak kontroversi saat itu kebanyakan seputar ospek dan izin orangtua yang saat itu masih memandang sekolah seni sebelah mata. Untungnya orangtua saya saat itu mengizinkan dan saya mencoba mengumpulkan mental untuk segala ospeknya. Sayangnya, impian itu gagal diwujudkan saat pengumuman SPMB yang meloloskan saya jadi salah satu mahasiswi fakultas ilmu budaya UI. Bye bye IKJ!
Ya, pasca bergabung di JIFFEST dan bertemu banyak orang-orang di bidang film saya jadi terpacu lagi untuk menempa impian saya yang dulu. Tidak berhenti, setelah itu sederet volunteer festival film saya ikuti untuk mendekatkan diri dengan industrinya dan pastinya menambah ilmu. Europe On Screen, Festival Film Pendek Konfiden, V-Film Festival, dan pastinya JIFFEST tahun berikutnya. Lepas kuliah, mulai memikirkan pekerjaan, entah kenapa pekerjaan film tidak muncul dalam benak saya. Sempat tawaran bergabung di salah satu perusahaan film terbesar datang di bulan ke lima saat saya baru jadi produser di Cosmopolitan FM, tentunya saya tolak karena masih terikat kontrak. Tawaran kembali datang dari salah satu teman di JIFFEST untuk menjadi koordinator, kembali saya tolak karena pekerjaan itu hanya temporal. Makin lama menjadi radioslave, tanpa saya sadar saya coba mengimbangi dengan berbagai kegiatan film yang saya ikuti. Hanya dari sekadar rutin menghadiri festival fil (untuk nonton tentunya) sampai mencoba berkontribusi menulis di beberapa media film. Jalan ternyata tidak mulus, tidak semua sukses dijalani seiring dengan pekerjaan tetap saya. Mulailah saya bertanya pada diri sendiri, what actually you wanna do in life?
Salah satu inspirasi :)
Tanpa dorongan yang kuat ternyata sulit menemukan jawabannya. Tidak mudah menemukan jawaban kalau ternyata saya mau terlibat dalam sebuah diskusi film yang kadang begitus serius atau bahkan hanya obrolan warung kopi, ternyata saya mau membagi ide-ide yang muncul setelah menonton satu film, ternyata saya mau ketika saya berbagi lewat tulisan atau wacana ada orang yang tergerak mau menonton film itu, ternyata saya mau orang tidak lagi mencela film-film Indonesia yang berkualitas tanpa menontonnya dulu, ternyata saya mau film lebih dihargai, ternyata saya mau mempromosikan film meskipun tanpa embel-embel komersial, ternyata saya begitu inginnya menjadi bagian dalam film itu sendiri.
Begitu banyak kenyataan yang ternyata baru terbuka selama dua tahun bekerja di radio swasta. Bukan, bukannya saya merasa salah jalur menjadi budak radio. Saya mencintai pekerjaan saya menggodok program yang fresh dan mengedukasi, saya mencintai pekerjaan saya menghadirkan bintang tamu yang bisa memberikan insight baru ke pendegar, saya mencintai berada di keramaian, berbaur dan menyebarkan berita baik ke pendengar saya, saya mencintai pekerjaan saya yang dekat dengan musik yang saya sukai, saya mencintai pekerjaan saya yang selalu menuntut saya terus kreatif. Tidak pernah ada yang salah dalam motivasi kerja saya selama ini di MRA Broadcast Media ini. Satu hal saja yang tidak saya miliki selama ini, visi ke depan tentang apa keinginan saya. Saya tidak berambisi menjadikan show saya nomer satu di rating AC Nielsen, saya tidak berambisi menjadikan radio saya punya ratecard yang mahalnya menjulang dijadikan rebutan bagi pemasang iklan, saya tidak berambisi menjadi program director atau menduduki jabatan penting dalam perusahaan ini atau industri radio nasional. Visi saya tidak setajam itu di dunia radio.
Makin saya sadari saat kembali berada di lingkungan film blogger, penulis film, dan kritikus film. Saya mau berada di sana! Mungkin itu ambisi yang terlalu tinggi, but we never stop dreaming right? Akhirnya perlahan-lahan saya sadar, saya harus merangkak lagi dari bawah demi satu kata yang sedang populer, passion. Passion yang membuat saya menggebu-gebu tiap membicarakannya, yang membuat saya terpacu untuk belajar lebih, yang membuat saya tersenyum setelah menonton atau menulisnya, yang membuat saya berani meninggalkan hal-hal lain tanpa merasa sia-sia. Proses perjalanan itu sangat tidak mudah dan cepat, sempat saya merasa down karena merasa terlambat memulai semua dari awal. Tapi melihat hal baik yang terjadi pada orang lain, saya merasa masih sempat mengejar keterlambatan karena saya merasa punya semangat dan keinginan yang sama besarnya. I’ve worked on radio for years and i know it’s worthed to leave when it comes to film. Bukan berarti dua tahun yang sia-sia, tetapi visi yang lebih tajam akhirnya memanggil saya untuk memulai semua dari awal and it feels so effin’ good
1 comment:
selamat mengejar passion! *tos dulu*
Post a Comment