Sunday, January 29, 2012

Ummi Aminah : Bermain-main dengan Masalah Sinetron di Layar Lebar



Film-film bertema keluarga nampaknya menjadi tema yang banyak ditampilkan dalam beberapa film Indonesia. Tahun 2011 lalu, bisa kita nikmati Garuda di Dadaku, kisah seorang anak yang harus menerima ketika sang ibu menemukan sosok baru pengganti ayahnya. Ada Lovely Man, pencarian seorang anak perempuan ke ibukota demi bertemu sang ayah yang hadir dengan identitas baru. Masih seputar anak dan hubungan dengan keluarganya, awal tahun 2012 sosok ibu kembali hadir menyapa penonton film Indonesia lewat film Ummi Aminah. Kali ini, dalam konflik keluarga yang lebih luas dan rumit, anak-anak Ummi Aminah mengambil peran dalam segala masalah yang muncul sepanjang film ini.

Ummi adalah seorang ustazah alias penceramah yang populer di kalangan pengajian lokal. tentunya banyak imej yang menempel padanya sebagai tokoh agama yang menjadi panutan. Tinggal bersama suami keduanya dan anak-anaknya yang beranjak dewasa, Ummi merasa cukup bahagia meskipun aktivitasnya berceramah tidak membuatnya kaya harta. Anak-anaknya sigap membantu dan berada di sampingnya, meskipun di balik itu semua ketujuh anaknya mengemban masalahnya sendiri. Sebut saja Zainal (Ali Zainal) yang sudah menikah tetapi masih tinggal bersama kedua orangtuanya. Zainal memiliki kesulitan ekonomi dan memilih bekerja mengantar Ummi ke manapun Ummi membutuhkannya. Keadaannya makin terjepit ketika istrinya (Revalina S.Temat) mengandung anak kedua dan kebutuhan finansial tidak lagi terelakkan. Zainal pun mencari sambilan berjualan sepatu wanita yang laris manis dijual kepada jamaah Ummi yang hadir di acara ceramah. Zidan (Ruben Onsu) harus menghadapi ayah kandungnya yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa Zidan lebih terlihat kemayu dibanding saudara laki-laki lainnya. Zidan yang punya usaha salon memilih keluar dari rumah sambil perlahan-lahan mencoba memperbaiki hubungannya dengan sang ayah. Lain lagi dengan Zarika (Paramita Rusady), anak kedua Ummi yang masih melajang ini begitu ambisius mengejar karier dan menjalin hubungan dengan pria beristri. Keadaan makin merumit ketika berita seputar anak-anak Ummi muncul ke permukaan dan menjatuhkan nama Ummi sebagai ustazah. Berbagai problema terasa makin rumit dan tak asing lagi, seperti menonton kisah sedih sinetron lokal. Bagaimana masalah yang layaknya kita temui di layar kaca televisi ini bisa diselesaikan ala layar lebar Indonesia?

Ada banyak masalah yang berpusat pada kehidupan Ummi dengan anak-anaknya. Ummi digambarkan sebagai sosok yang tidak tahu menahu soal masalah anak-anaknya sampai mereka mengungkapkannya sendiri pada Ummi atau orang lain yang memberitahunya. Di sini begitu terlihat, Ummi diposisikan sebagai korban dari anak-anaknya sendiri. Korban yang hanya tahu kalau seisi rumahnya baik-baik saja ketika anak-anaknya memilih tidak menyakiti Ummi dengan kenyataan pahit yang mereka derita sendiri-sendiri. Sayangnya, efeknya justru lebih fatal. Ummi merasakan kesakitan tiga kali lipat karena merasa tidak mengenal anak-anaknya sendiri dan tidak bisa lebih sensitif merasakan kejanggalan yang terjadi serta berusaha mencegah kejadian lebih fatal terjadi. Penonton dibiarkan menikmati satu persatu masalah tiap anak muncul dan menyambangi kehidupan mereka. Sayangnya, ada pembagian yang tidak merata bagi ketujuh anak-anaknya. Kita tengok Ziah (Zee Zee Shahab), sebagai asisten Ummi ia digambarkan sebagai sosok yang cantik, digemari banyak laki-laki dan berpendidikan tinggi. Di tengah segala masalah merebut suami orang, tuntutan ekonomi, perdagangan narkoba, sampai sulitnya cari kerja, Ziah ‘hanya’ dibebani dilema meninggalkan pekerjaan sebagai asisten Ummi dan menyerahkan tahtanya pada sang kakak, Zubaidah. Ia juga sempat menjadi penghubung dari segala penilaian publik terhadap anak-anak Ummi yang dianggap gagal menjadi panutan. Ziah yang berada di posisi penting dan selalu berada di samping Ummi tidak dilibatkan dalam situasi signifikan. Duduk sepanjang 104 menit film ini membuat kita sejenak berpikir dan mencoba menghubung-hubungkan kisah Ummi dengan sinetron yang biasa tayang di layar kaca. Penuh plot masalah yang seolah tidak ada habisnya, akting pemainnya yang kadang berlebihan dan dibuat-buat, atau para pemainnya yang memang bisa kita temui di beberapa judul sinetron atau FTV. Satu hal yang menarik ketika judul utama bukanlah menjadi peran utama. Sosok Ummi memang seperti dijual dalam poster dan cerita sepanjang film tetapi masalah Ummi justru berpusat dari hal-hal di luar dirinya di sini, Ummi berperan penting sebagai pusat dari segala pergerakan yang ada dalam film. Bukan sekadar masalah saja. Dinginnya hubungan antara Zidan dan ayahnya, membuahkan keberanian dan turunnya gengsi ayah Zidan untuk menemui Zidan di salonnya. Tidak ada tendensi lain kecuali membuat Ummi merasa para supporting system dalam keluarganya bisa berjalan selaras. Tidak pernah diungkapkan secara verbal kalau Ummi mau ayah dan Zidan berbaikan. Sayangnya beberapa pemain berakting secara dipaksa dan berlebihan, inilah yang kembali membuat Ummi Aminah kembali dianggap layaknya sinetron, salah satunya adalah Paramita Rusadi.

Satu catatan penting, nampaknya sutradara Aditya Gumay perlu belajar bagaimana menyudahi filmnya tanpa harus mengungkapkan segala sesuatu secara eksplisit. Sesekali, biarkan penonton menikmati imajinasi yang ada di kepalanya ketika layar berubah jadi hitam dan masuk credit title. Harusnya akhir dari film inilah yang menjadi pembeda kisah sinetron yang kerap mengaduk-aduk emosi penonton secara eksplisit yang tidak menjadi akhir perjalanan atau masalah Ummi.

No comments: